asap di benang tipis
Kepulan asap mengepul dan melambung tinggi di udara. Padahal, awan sedang memantulkan warna birunya yang paling cerah siang hari itu. Burung-burung tidak ada yang lewat di atasnya. Kosong saja hamparan di atas sana. Kepulan asap itu terlihat begitu jelas dari bawah.
Kita menatapnya saja dari bawah. Duduk di bangku lapuk depan took yang sudah tutup bertahun-tahun. Entah kenapa. Lama-lama, pegal juga kepalaku mendongak begitu. Akhirnya, kutidurkan kepalaku di atas pahamu itu. Sudah biasa kita tak peduli dengan omongan orang yang lewat dan melihat tingkah laku kita itu. Aku pun tak bermaksud untuk bermanja-manja siang itu. Aku hanya ingin merehatkan otot-otot leherku ini.
Diam kita terpaku memperhatikan kepalan asap itu sedari tadi. Setelah aku tiduran di pahamu, baru kita mulai perbincangan itu. Seperti biasa, perbincangan kita selalu berakhir dengan pertentangan makna yang kita ungkapkan. Padahal, tak jarang pada akhirnya ternyata maksud kita adalah sama, hanya penyampaiannya yang berbeda.
Sama saja halnya dengan siang itu. Menurutmu, kepulan asap itu berasal dari pembakaran sampah yang bisa segera dimatikan oleh air atau bahkan karung. Sayang, menurutku, asap itu merupakan tanda aktifnya gunung berapi di ujung sana. Gunung itu bisa sewaktu-waktu meletus begitu saja. Kita pun tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Bahkan, bila meletus nanti, kita jga tidak bisa berbuat apa-apa. Permasalahan yang tidak ada solusi. Itu kataku tegas.
Kau pun tak kalah sengit membantah itu. Semua asap berasal dari api dan api pasti bisa padam. Tak ada api yang tak bisa padam, begitu katamu dengan nada tinggi. Aku pun setuju, tetapi bukan kita yang bisa bikin api itu padam, kataku tak kalah tinggi nadanya. Setelah itu, kamu tetap bersikeras dengan pendapatmu. Kamu pun menambahkan bahwa banyak yang bisa kita lakukan sebelumnya yang bisa mengecilkan kemungkinan api itu menyala. Aku masih juga tak mau berhenti. Memang, namun, bukan berarti api sama sekali tidak bisa menyala. Mana kita tahu bencana.
Kita pun terlalu asyik berdebat hingga tidak memperhatikan kepulan asap itu. Asap itu lenyap begitu saja dari penglihatan kita karena kalah oleh keintiman kita. Ya, kita begitu dekat sekaligus hebat ketika berdebat. Bahkan, sampai kita sudah muak dengan isi perdebatan kita, sampai kita sudah dibuat kewalahan oleh perbedaan pendapat kita sendiri. Padahal, pada saat yang sama, sadar atau tidak, kita berdiri di satu benang tipis yang membuat kita terlalu mudah untuk jatuh. Tapi, kita tahu, kita percaya, tangan kita selalu saling menggenggam. Setidaknya, selama ini itulah yang terjadi.
031209
17:00
Kita menatapnya saja dari bawah. Duduk di bangku lapuk depan took yang sudah tutup bertahun-tahun. Entah kenapa. Lama-lama, pegal juga kepalaku mendongak begitu. Akhirnya, kutidurkan kepalaku di atas pahamu itu. Sudah biasa kita tak peduli dengan omongan orang yang lewat dan melihat tingkah laku kita itu. Aku pun tak bermaksud untuk bermanja-manja siang itu. Aku hanya ingin merehatkan otot-otot leherku ini.
Diam kita terpaku memperhatikan kepalan asap itu sedari tadi. Setelah aku tiduran di pahamu, baru kita mulai perbincangan itu. Seperti biasa, perbincangan kita selalu berakhir dengan pertentangan makna yang kita ungkapkan. Padahal, tak jarang pada akhirnya ternyata maksud kita adalah sama, hanya penyampaiannya yang berbeda.
Sama saja halnya dengan siang itu. Menurutmu, kepulan asap itu berasal dari pembakaran sampah yang bisa segera dimatikan oleh air atau bahkan karung. Sayang, menurutku, asap itu merupakan tanda aktifnya gunung berapi di ujung sana. Gunung itu bisa sewaktu-waktu meletus begitu saja. Kita pun tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Bahkan, bila meletus nanti, kita jga tidak bisa berbuat apa-apa. Permasalahan yang tidak ada solusi. Itu kataku tegas.
Kau pun tak kalah sengit membantah itu. Semua asap berasal dari api dan api pasti bisa padam. Tak ada api yang tak bisa padam, begitu katamu dengan nada tinggi. Aku pun setuju, tetapi bukan kita yang bisa bikin api itu padam, kataku tak kalah tinggi nadanya. Setelah itu, kamu tetap bersikeras dengan pendapatmu. Kamu pun menambahkan bahwa banyak yang bisa kita lakukan sebelumnya yang bisa mengecilkan kemungkinan api itu menyala. Aku masih juga tak mau berhenti. Memang, namun, bukan berarti api sama sekali tidak bisa menyala. Mana kita tahu bencana.
Kita pun terlalu asyik berdebat hingga tidak memperhatikan kepulan asap itu. Asap itu lenyap begitu saja dari penglihatan kita karena kalah oleh keintiman kita. Ya, kita begitu dekat sekaligus hebat ketika berdebat. Bahkan, sampai kita sudah muak dengan isi perdebatan kita, sampai kita sudah dibuat kewalahan oleh perbedaan pendapat kita sendiri. Padahal, pada saat yang sama, sadar atau tidak, kita berdiri di satu benang tipis yang membuat kita terlalu mudah untuk jatuh. Tapi, kita tahu, kita percaya, tangan kita selalu saling menggenggam. Setidaknya, selama ini itulah yang terjadi.
031209
17:00
Komentar
Posting Komentar