sepakat

Malam menjelang pagi tadi aku dan dia sepakat bahwa waktu seperti berkejaran. Aku dan dia sudah enggan harus menanti waktu dan menanti lagi. Aku dan dia duduk berjarak, masih cukup dekat, sepuluh sentimeter mungkin. Eh, lima sentimeter mungikn lebih benar. Duduk tanpa berpandangan di bangku tanpa senderan.

Kemudian, sambil menghisap rokoknya itu, ia bertanya, seperti asal. “Apa kita menikah saja?” Aku buru-buru menutupi keterkejutanku. Pandangan aku dan dia tetap ke depan, tak saling tatap. “Untuk apa?” jawabku sekenanya juga. “Biar menang dari waktu. Biar ada kepastian bisa sama kamu terus. Memang, sih, kita tidak mengejar kepastian. Aku cuma mau merasa menang saja dari waktu,” tanganmu terlihat dari ujung mataku sambil membuang abu rokok. “Mau diisi apa?” tanyaku spontan. “Diisi kayak gini aja terus. Yang beda cuma nikah ama nggak nikah,” jawabnya.

Setelah itu, tak ada kata apa pun lagi. Yang terdengar hanya berisiknya kota dari ketinggian, suara korek, hembusan asap rokok, dan desahan napas. Tidak sebentar aku dan dia dalam suasana seperti itu. Bukan jadi canggung, aku dan dia memang biasa seperti ini, membiarkan pikiran aku dan dia ke mana-mana. Dulu, aku dan dia pernah bertukar pikiran tentang hal ini. Aku bilang bukannya tidak menghargai adanya, aku jadi diam. Dia bilang, dia justru yakin kalau aku adalah orang yang bisa menghargai dia apa adanya, termasuk suka menerawang jauh. Aku dan dia pun tertawa menemukan kesepakatan lain lagi saat itu.

Kemudian, aku mengatakan isi pikiranku, asal saja, semauku.

“Duduk lama seperti ini tanpa kata-kata.”
“Boros di rokok dan kopi, tapi dapat nyaman.”
“Masih berdebat panjang tentang dalang skenario politik.”
“Ngambek dikit karena taro baju berantakan.”
“Sebel karena susah dibangunin.”
“Kesel setengah mampus karena lebih mentingin temen.”
“Kerja ampe pagi dan biarin kamu nunggu di rumah sendirian.”
“Makan seadanya.”
“Trus, berantem makan apa ya? Apa makan ini aja? Hahaha.”
“Haha. Belom jorok-jorokan.”
“Trus, marah karena banyak rambut nyangkut di kamar mandi.”
“Sebel karena nggak dibikinin kopi pagi-pagi.”
“Kena omelan mama karena laki-laki ngerjain kerjaan perempuan.”
“Siapin 1000 alasan ditanya istrinya kenapa pulang malem mulu.”
“Tutup kuping untuk punya anak sampe saatnya.”
“Berantem tentang kapan saatnya punya anak. Hahaha.”
“Hahaha. Good one. Diakhiri dengan diam tanda marah.“
“Dibecandain dikit ampe semuanya baik-baik aja.”
“Atau, senderan karena udah capek berantem.”
“Kalau nanti kamu males mandi trus bau, gimana?”
“Ya udah, marah aja.”
“Orang nikah kok malah isinya berantem mulu.”
“Nggak mungkin nggak berantem juga, kan?”
“Apalagi kalo udah lupa masukin lagu baru ke mp3.”
“Paling pusing kalau udah PMS, ya kan?”
“Lupa nge-charge ampe nggak bisa dihubungin.”
“Tapi, kan, kalo nikah, malemnya lebih sering pasti ketemu.”
“Aku mau tetep nginep di luar kota ama temen-temen.”
“Aku ikut.”
“Nggak, kamu ada kerjaan.”
“Kabarin aja. Jangan terlalu mabuk. Hehe.”
“Kamu cerewet.”
“Kamu bawel.”
“Marah mulu.”
“Ngambek mulu.”
“Tetep mau nikah?”
“Yuk. Kalahin waktu.”
“Bikin yang lain cemburu.”
“Tanpa menikah, udah banyak yang cemburu.”
“Tanpa menikah, kita udah menang dari waktu. Gak ada yang perlu dikalahin.”
“Apa susahnya menikah kalau begitu caranya?”
“Susahnya? Hmm…, takut mungkin.”
“ Kenapa kita takut kalau hanya ingin berbincang sampai subuh tanpa dikejar waktu pulang?”
“Baiklah. Sepakat.”
“Sepakat.”

Pekat hadir lagi. Aku dan dia tersenyum. Kemudian, kalah dengan waktu karena harus kembali ke rumah masing-masing. Nanti,

Komentar

Posting Komentar