pergerakan Jakarta

Jakarta itu bergerak cepat sekali. Semua orang seperti sedang lomba dan banyak yang curi-curi untuk mulai duluan. Tapi, memang harus begitu. Kalau menunggu bunyi peluit sebagai tanda mulai, kita seperti tidak akan pernah memulai. Setiap kali mau memulai sesuatu, orang-orang cenderung lihat kiri-kanan. Lihat aktivitas orang lain dulu. Ada banyak alasannya.

Pertama, mereka mau menyesuaikan dengan sekitar mereka. Kira-kira, mereka mau meyakini diri sendiri apakah yang mereka lakukan sudah ada di jalur yang benar. Padahal, jalur yang benar itu seperti apa? Setiap individu justru bebas memaknainya. Kedua, mereka mungkin menjadikan sekitar mereka sebagai motivasi. Mereka tidak mau kalah, selalu berusaha menjadi yang terbaik. Kembali lagi, terbaik itu bentuknya seperti apa? Kemudian, terbaik untuk siapa? Ketiga, mereka melihat sekitar mereka sebagai subjek-subjek yang bergerak bebas.

Alasan ketiga tersebut membuat mereka akan terdiam selama beberapa saat, bahkan untuk saat yang lama. Menikmati setiap gerakan di sekitarnya. Masuk bis, terjaga di dalamnya, bersesakan, turun bis, dan sedikit berlari di antara rintik hujan. Tujuan mereka satu, yaitu tempat yang menghasilkan uang, bisa rumah, kantor, kampus, jalanan, kafe. Apa pun itu namanya pasti menghasilkan uang untuk menyambung hidup di masa depan. Tapi, sekarang menyambung hidup sudah tidak cukup, tetapi harus juga bisa menyertai kefoyaan dan peningkatan status.

Bau hujan sudah tidak pernah dirasakan mereka. Rapat sana-sini, baca buku ini-itu, keluar-masuk gedung, angkat telepon ini, balas surat itu. Segala indera serasa dimatikan untuk mengejar waktu yang entahlah kenapa. Suara-suara kerikil tak pernah terdengar, mereka hanya dengar suara televisi, radio, bunyi telepon, alarm. Bahkan, tak jarang orang-orang pengamat itu merasa kesepian yang luar biasa menghujam. Tak bisa dipungkiri pula, mereka bisa merasa tertinggal jauh. Tak punya pengetahuan cukup, dikatakan tak punya semangat, tak bisa menjawab pertanyaan ini-itu, tak cakap membalas percakapan, tak pandai pula memadu perasaan.

Mereka merasa jauh tertinggal dari peradaban, padahal mereka ada di kota besar. Kota ini tak pernah mati sedetik pun. Pasti ada saja aktivitas jam berapa pun. Banyak pula sarana yang mendukungnya. Salah satu di antara mereka memilih untuk meninggalkan komunitasnya perlahan-lahan. Cipta masalah menurut mereka di sana-sini. Menepi di satu kotak kamar yang tak ada apa-apa untuk tidak melakukan apa-apa. Berdiam saja. Keluar dari arena lomba yang ditawarkan sejak ia lahir. Bukan untuk kalah, bukan pula untuk menang, apalagi hanya sekadar untuk berbeda.

Ia hanya ingin menjadi proses perputaran kota Jakarta. Diam di antara yang bergerak. Menerima segala yang menimpanya—yang disebut risiko bodoh oleh mereka. Menjauh dari segala sesuatu yang harus. Ia hanya mau diam. Diam di antara yang bergerak. Menikmati setiap lambatnya waktu. Menjalani setiap momen yang begitu datar.

Komentar