tahta bahasa isyarat

Dia memang tidak bisa bicara banyak. Bahkan, dia sama sekali tidak bisa bicara. Tak pernah satu kali pun mengeluarkan suara atau bunyi-bunyian. Meskipun begitu, semua orang mencarinya, termasuk aku. Sebagian menyerahkan seluruh hidupnya demi meilikinya. Sebagian lagi tak kunjung berhasil mendapatkannya. Aku pun menghabiskan pagi sampai malamku untuk bertemu dengannya.

Sering kali kudengar cerita tentangnya dari orang-orang di sekitarku. Betapa dia bisa membahagiakan banyak orang dengan sikapnya yang penuh kuasa. Sebagian lagi mengatakan dia tidak penting, banyak yang lebih penting di dunia itu. Aku? Hanya bisa termangu. Aku telah dibutakan untuk bertemu dengannya. Begitu banyak mimpiku yang digenggam erat olehnya. Dalam saat yang bersamaan, mimpiku pun membuatku semakin jauh darinya.

Ia bagaikan bintang di langit luas yang cerah. Ada di mana-mana dan tak akan berhenti untuk ditunjuk satu-satu. Tak bisa pula ia menghitugn jumlahnya sendiri. Semakin diperhatikan, semakin pula ia memudar rasanya.

Pernah aku iri betul pada mereka yang selalu bertemu dengannya. Membuat janji dengan mudah dan menghabiskan bertumpuk tiket perjalanan tanpa harus takut tak bertemu lagi dengannya.

Tak lepas juga iriku dari mereka yang bahkan tak mau begitu kenal dengannya. Hanya tahu, tanpa kenal. Bicara seperlunya. Dan, mereka tetap bisa menjadi seseorang. Eksistensi bukan dilihat dari seberapa jauh mengenal dia, tetapi seberapa lihai memanfaatkan kesempatan.

Apakah setiap kesempatan harus diambil? Kesempatan itu kadang menajdi jebakan belaka yang justru menjerumuskan kita pada jurang terdalam.

Aku terlalu lama dibuatkan janji setiap bertemu dengannya. Sekarang, aku sendirilah yang harus menentukan untuk bertatap muka dengan intim atau justru bicara seperlunya. Bahkan, tidak lama lagi, ada kemungkinan besar bahwa aku harus mengejar batang hidungnya hanya demi mempertemukannya dengan orangtuaku.

Dia adalah pemegang tahta bahasa isyarat. Tanpa bunyi dan gerakan, ia sanggup menciptakan makna yang bahkan mengaburkan kenyataan, mimpi, dan ideologi yang terpancang.

Komentar