tak ada kompor, maka tak ada mie

Cemburu. Bahkan, kata itu ada di imaji mental saja sudah terasa merinding. It was so silly! Rasa itu masuk dalam daftar salah satu rasa yang tidak bertujuan. Emang rasa punya tujuan? Ah, pertanyaan lain lagi itu, Kak.

Sadar betul, cemburu dekat dan erat dengan rasa kepemilikan, meskipun saya belum berani bilang ada hubungan klausal antara mereka. Tapi, rasa itu seolah tidak bisa ditolak. Datang tanpa mau pergi, padahal tidak ingin sangat. Mencoba tenang untuk sekadar melakukan pembenaran, tapi tetep ada di situ; semacam ada spidol permanen di muka yang meskipun hati yakin tidak ada cemong, tapi buktinya tetap dilihat ada.

Segala ketakutan atas kejadian yang tidak diketahui atau asumsi berlebihan yang entah mau atau tidak untuk ditemui kebenarannya menyelinap begitu saja. Muncul kayak tai yang mengambang di sungai entah dari pinggiran sebelah mana.

Padahal, saya menolak dengan tegas konsep kepemilikan dalam relasi romantis. Membiarkan sepasang tetap menjadi subjek; tidak tenggelam dalam eksistensi baru yang melenyapkan pribadi dan berubah menjadi eksistensi kita. Tapi, apakah cemburu sama saja dengan pertanda telah tenggelamnya saya dalam konsep kepemilikan yang menderu-deru?

Mungkin, inilah yang mereka sebut dengan jatuh cinta. Banyak hal tidak bisa dijelaskan. Pada saat yang sama, banyak hal pula yang perlu dikompromikan. Untuk kepentingan pribadi, saya menolak adanya hubungan antara percaya dan cemburu untuk beberapa waktu. Well, di sini mungkin saatnya belajar kompromi lagi. Inilah hasil konstruksi masyarakat tentang relasi romantis yang harus direkonstruksi, termasuk saya.

Selama tidak ada kompor, tak akan ada mie. Sekian.

Komentar