Hai yang Sederhana
Akhirnya, ajakan
itu datang juga. Saya akan diperkenalkan kepada dunia dari kacamatanya. Bagi
banyak orang, ini adalah jawaban atas penantian terpanjang. Pengakuan atas
perasaan yang seharusnya hanya milik kami saja. Banyak orang bangga dengan
momen ini padahal terasa seperti dipamerkan oleh seolah-olah si empunya. Bagi
saya, ini adalah awal dari penderitaan. Saya dan dia harus melebur dalam
mereka.
Saya seakan tidak
punya pilihan lain. Saya seharusnya sudah tahu ini sejak awal. Namun, tahu
tidak serta-merta membawa siap. Alhasil, saya persiapkan hari itu sejak pagi.
Mengira pakaian yang pantas untuk dipamerkan. Saya begitu mencoba memanjakan
keinginan mereka yang sedang haus menilai. Saya seakan siap untuk menjadi
boneka.
Sore pun tak
menunggu lama untuk hadir. Ia membawa segenggam kekhawatiran. Keresahan saya
menggila. Saya hampir menghindar seperti kebiasaan saya. Tak boleh lari kali
ini, pikir saya. Saya hanya butuh paham sore ini untuk tenang. Tak ada orang
yang sepaham ini selain dia.
Saya ketik
huruf-huruf hingga menjadi kata-kata bermakna. Tak ada penggalan menit, pesan
terbalas. Tak ada kecanggungan meskipun sudah hampir selamanya kami nyaris tak
berbalas kata atau mata.
“Saya tak pernah
bisa bertemu dengan orang-orang yang tidak dekat.”
“Hai yang
sederhana sudah cukup. Lebih dari cukup.”
Tak ada balasan
lagi dari saya. Balasannya lebih dari cukup untuk menguatkan saya hadir pada
malam itu, menyanggupi ajakan yang begitu ingin ditolak.
Malam itu berjalan
begitu saja. Tak ada yang saya ingat betul; mungkin karena tidak ada yang
terlalu berkesan. Bukankah ingatan hanya terdiri dari kesan?
Saya masih ingat
betul. Saya dan dia tidak pernah punya hai yang sederhana, bahkan sejak awal
pertemuan.
Komentar
Posting Komentar