Perempuan dan Patah Hati
Saya sedang merasa sedih.
Belakangan, saya
melihat orang di sekitar saya patah hati. Berkeping-keping. Saya memang baru
saja merasa patah hati, bahkan mungkin saya masih mengalaminya. Saya juga sadar
bahwa respons orang terhadap perasaannya sendiri berbeda-beda. Segala cara
dilakukan untuk melindungi dirinya sendiri dari sakit yang sudah pasti. Iya,
saya paham.
Namun, kali ini saya sedih. Orang itu
sering kali menyalahkan dirinya sendiri. Memang, kita tidak harus menyalahkan
orang lain atas segala yang terjadi. Meskipun demikian, menurut saya, tidak pantas juga
menyalahkan diri sendiri atas semua kejadian, apalagi penilaiannya dilakukan
berdasarkan kacamata sosial semata.
Maksud saya begini, saya sangat tidak
setuju bahwa patah hati sama juga pembuktian bahwa ada (dalam hal ini) perempuan lain yang
lebih cantik, lebih muda, lebih pintar, dan lebih-lebih lainnya yang lebih
dipilih oleh laki-laki idamannya. Hallloooo! Bukankah itu hanya kacamata sosial yang
selalu ada penuntutan tersembunyi terhadap perempuan? Perempuan harus cantik,
pintar, berbadan bagus, berdandan, tampak muda demi “dipilih” oleh laki-laki.
Pertama, bagi saya, cinta itu hampir tidak
beralasan. Bukan selalu, ya, hampir. Kadang, pilihan seseorang jatuh kepada
pasangannya yang bukan lebih gaya, lebih cantik, dan segala bentuk penampilan
kacamata sosial itu. Pilihan jatuh karena frekuensi yang sama secara
terus-menerus, keberhasilan untuk mengisi kekosongan, dan juga menampung
kepenuhan. Penampilan hanyalah pelapis dari segala isi. Pilihan jatuh pada rasa
haus untuk terus saling ingin diisi dan pencarian terhadap oase. Bukankah kita
akan memilih air minum yang menenteramkan dahaga meskipun dikemas sedemikian
rupa? Bukankah botol yang indah dan mahal tetap tak membuat kita meminum air
got yang ada di dalamnya?
Kedua, saya belajar tentang feminisme? Iya.
Saya menolak perempuan untuk bersolek dan tampil gaya? Sama sekali tidak! Saya
tahu bahwa saya berpakaian dan bahkan sekali-kali berdandan hanya untuk diri
saya. Segala itu memberikan identitas dan juga mengemukakan rasa percaya diri
saya (tidak pula menumbuhkannya). Saya bertindak untuk saya; bukan untuk
penilaian orang lain.
Kembali lagi. Saya pun pernah patah hati.
Masih bahkan. Saya tidak bilang cara saya lebih baik. Saya tidak bilang bahwa
saya bisa baik-baik saja. Saya hanya percaya bahwa saya punya identitas untuk
diri saya sendiri. Patah hati saya tidak membuat saya kehilangan identitas
karena identitas saya tidak dibentuk oleh pasangan saya. Memang ada pengaruh
pasangan saya dalam pembentukannya, tapi sayalah pemilik identitas itu. Bahkan, saya terus mengembangkan identitas saya.
Saya tidak mau berusaha mengarahkan orang
itu atau apa pun karena nasihat kadang hanyalah milik orang tua yang senang
bernostalgia. Kalau memang itu caranya, silakan saja. Saya hanya bilang mohon
jangan mengorbankan dirinya. Apalagi, kita tidak pernah tahu berapa kali kita
akan patah hati dalam hidup ini.
Saya sedang merasa sedih.
Saya sedang merasa sedih.
Aku patah hati juga nih melihat dirimu patah hati
BalasHapusuntung kamu turut mengobati
BalasHapus