Kain Renta
Ini malam sudah di tengah-tengah, menjelang pagi bahkan.
Gelap berkawan sudah dengan gulita. Remang-remang, dengan cahaya kuning tak
seberapa, lampu di atas meja makan itu menyala. Seseorang duduk di bawahnya,
dikelilingi pendaran sinar menguning. Sepi sudah menjadi sunyi, tak henti-henti
sedari tadi.
Bila makin dekat, makin jelas pula wajahnya menunduk.
Beberapa langkah mendekat, tak salah kemudian. Ia sedang menyatukan dua kain
renta yang sudah menguning. Entah karena cahaya; entah juga karena usia.
Disambungnya perlahan-lahan dengan benang yang dimasukkan
dalam jarum. Tangannya bergemetaran, tak mudah melihatnya menusukkan
jarum-jarum itu. Kain itu kebasahan. Di tangannya, juga ada setetes air. Ia
menangis tanpa suara; tanpa berhenti pula, terus menusuk jarum.
Aku bertanya berbisik, takut mengusik sepi. Jawabannya
lirih tanpa lupa tersenyum, pun air matanya masih juga mengalir. “Tuk
menyatukan, memang butuh tusukan berulang kali yang tak terbayang sakitnya.
Tapi, toh, kalau hanya itu yang bisa dilakukan, tak akan seberapa sakitnya.”
Masih dengan gemetar, tangannya memasukkan jarum itu lagi pada kain renta,
tanpa menyeka air mata.
Raja Ampat, 30 Oktober 2013
Komentar
Posting Komentar