Postingan

Menampilkan postingan dengan label Surat

Berakhir Sudah Kesepianmu, Bapak Tua Sapardi Djoko Damono

Gambar
"Sapardi meninggal," saya mengguncang-guncang kekasih saya yang masih mengorok. Ini kebiasaan saya setiap pagi menjelang siang. Beritanya bisa apa saja, mulai dari berita kali sudah berak pagi itu sampai kebingungan mau pesan makan apa siang itu.  "Kamu sedih?" dengan suara parau. "Nggak, kesepiannya sudah berakhir, dia sudah menyiapkannya," jawaban asal. Jika seseorang begitu sering membayangkan sesuatu, apakah ia memang mempersiapkannya? Ah, mungkin tidak juga. Mungkin juga terlalu gegabah untuk menjawab pertanyaan itu dengan mengatasnamakan orang lain. Apalagi untuk Si Bapak Tua yang satu ini. Terlepas dari kematian merupakan obsesinya atau bukan, ia sudah membayangkan kematian sejak lama. Di dunianya. Puisi adalah dunianya. Begitu lah ia ingin dikenang, katanya dalam wawancara yang pernah saya baca entah di mana. Ini contoh tidak baik untuk argumen kuat; sumber tidak jelas. Di dalam dunianya itu, ia begitu akrab dengan kematian. Ia p...

Ditutup Air Mata

Dia adalah pencerita yang baik. Kejadian dalam hidupnya seakan layak diceritakan. Tanpa alur yang begitu sistematis, hanya mengandalkan sebotol bir, ia bisa bercerita tentang masa kecilnya. Sore-sore, kerjanya menunggu di teras mungil. Persetan dengan anak-anak main gundu atau masak-masakan. Ia menunggu bapaknya. Menyambut Bapaknya seperti sudah tidak bertemu mingguan. Setiap hari. Selayaknya seorang bapak yang berjaya pada Orde Baru, Bapaknya selalu pulang membawa koran. Bapaknya tahu anaknya suka baca. Bapaknya tahu tak bisa membelikan buku. Koran di kantornya dibawa pulang demi anak bungsunya. Ceritanya seolah bisa memercikkan inspirasi. Lain kali, ia menceritakan dirinya yang pelupa. Pulang kampus naik angkot. Tanpa uang di saku. Sampai rumah, ibunya bertanya, “Motormu mana?” Lucu. Sekaligus tragis. Setiap orang punya cerita beragam. Saya suka mendengar cerita-cerita orang dengan antusias. Entah cerita mereka yang memang seru, gaya penceritaannya yang menar...

Manusia Gunung

“To know love we have to tell the truth to ourselves and to others. Creating a false self to mask fears and insecurities has become so common that many of us forget who we are and what we feel underneath the pretense.” – Bell Hooks dalam All About Love (hlm. 48) Kenalkan, dia adalah Manusia Gunung. Bukan, hobinya bukan naik gunung. Bahkan, katanya, ia tidak mengakrabi gunung. Pertemuan pertama kami juga bukan di gunung. Hanya di lembah. Tanpa sengaja. Tanpa rencana. Dan, saya menghampirinya tanpa api. Tapi, saya kebakaran sendiri setelah membaca tulisannya. Dalam tulisan keduanya yang saya baca, dia (Jaluardi, 2017) menulis begini, “Komunisme yang telah lama diluluhlantakkan—kini jadi dongeng di belahan dunia mana pun—masih menghantui negara rupanya. Padahal [,] dulunya mereka juga yang memburu habis ideologi itu, partai dan orang-orang yang diseret-seret terlibat jadi hitungan statistik belaka.” Saya keluluhan dengan alur dan kata-kata yang mengalir. A...

Malam Penghargaan

Selamat malam. Yang saya hormati: Ibu dan Bapak Juri, juga Ibu dan Bapak RT serta RW, Bapak dan Ibu di rumah yang saya harap tidak mendengarkan ini, apalagi kakak-kakak saya; yang saya sayangi: teman-teman yang sudah membuang-buang waktu, saya ucapkan selamat malam. Saya tidak mempersiapkan omongan ini. Sama sekali tidak. Jadi, ini saya rada bingung harus bicara apa. Ini semua di luar dugaan. Untuk sesuatu yang terjadi di luar dugaan, tentu saja ini bukanlah yang pertama kali dalam hidup saya. Tapi, tetap saja, selalu ada efek kejut. Selalu terasa seperti yang pertama. Efek kejut itu bisa bermacam-macam. Yang satu ini, tentu saya merasa tidak pantas. Bagi saya, bisa dikatakan cukup seringlah—kalau tidak bisa dibilang banyak—saya mendengar kisah yang lebih tragis daripada cerita-cerita yang terjadi dalam hidup saya. Jadi, sebagai salah satu penerima Penghargaan Pecundang Andal, saya merasa sebenarnya saya kurang sepecundang itu. Pun, memang, memang benar, saya memang pecundan...

Surat Samudra #7

Kepada Samudra, Kamu ada tanpa hadir. Di ujung Zadar, kamu menemuiku dengan damai sekaligus menyengat. Seorang bapak tua tetiba menopangkan tubuhnya di lantai. Beliau kapok dengan keadaan tanpa mau menyerah. Pasangannya membiarkannya dan kamu menyenggol lenganku. "Ingat siapa?" tanyamu berbisik dengan senyum menggoda. Aku membuang muka, menolak untuk menjawab sesuatu yang sudah kami ketahui. Kamu berhasil membuatku merasa egois atas nama segala keduniawian. Tapi, kamu tahu, aku memang tak pernah meninggalkanmu sepenuhnya. Makanya, di pucuk Plitvice pun, kamu masih ada. Tak perlu ke laut, katamu. Jika banyak hal memang berujung di Samudra, aku menemuimu dari cikal-bakal. Di tiap aliran air terjun yang menggoda untuk melepaskan apa yang tadinya aku anggap penting. Resah boleh saja, juga tak lupa bahwa perlu damai untuk menerima. Sejoli-dua joli renta berlomba mendaki, saling memberikan tangan untuk menguatkan. "Ingat siapa?" persis seperti di Zadar, kamu juga me...

Pejuang #1

Mas, apakah kamu pernah menilai segala apa yang kau lakukan merupakan bagian dari perjuangan? Banyak orang tahu, juga istrimu yang tak lagi lugu, bahwa kamu menolak segala bentuk perlakuan yang tidak memanusiakan manusia, bahkan jika itu tidak terjadi kepada dirimu. Tapi, apakah benar setiap bangun pagi, kau akan berkata: "Hari ini, aku akan berjuang!" Saya melihat guratan urat di lehermu ketika kau berteriak lantang. Kamu seperti orang marah, Mas. Atau, kau mungkin memang sangat marah. Kemarahan itu membuatmu mengakrabi segala tantangan. Tak ada yang jadi penghadang. Tapi, mereka juga tak segan untuk membuatmu hilang. Inginkah kau melepas keluarga dengan ucapan selamat tinggal yang layak, Mas? Kata-kata yang memang disadari akan diberikan untuk terakhir kalinya, bukan sekadar perpisahan ala Jakarta-Den Haag. Tidak diragukan bahwa apa yang kau lakukan memang diperlukan. Tapi, apakah itu perjuangan, Mas, sejak semula? Atau, itu menjadi perjuangan ketika baramu tak mati-m...

Dari Den Haag, Untuk Jakarta

Gambar
Senja kemerah-merahan dari Dorus (pukul 20.22 CEST) Saya mengutuk jarak sesiangan. Apakah jarak memang menimbulkan kerak? Jarak membuat rasa ketakberdayaan, kekalahan yang semestinya tidak terjadi, pun belum tentu demikian. Ada kekuatan untuk merasa melakukan lebih banyak hal yang membumbung ketika mengakrabi jarak. Ingat, hanya merasa, belum tentu demikian. Saya menanyakan diri saya sendiri. Apa yang bisa dilakukan dengan jarak yang tak bersekat? Sayangnya, saya tidak bisa memberi jawaban lebih. Sama saja, tidak banyak yang sanggup saya lakukan. Jadi, saya menarik rutukan saya terhadap jarak. Mungkin, saya memang bukan jagoan hiburan. Saya tidak punya kepandaian dalam meredam duka nestapa orang lain, jua diri sendiri tentu saja. Tapi, biarlah luka saya dibicarakan nanti-nanti saja, kalau ada waktu yang berlebihan. Satu kalimat yang saya keluarkan hanyalah, “Kesenangan orang lain bukanlah tanggung jawab kita. Berdamailah dengan itu.” Kira-kira, itu adalah kalimat andalan. Tapi...

Sepatu Merah

Sini, semuanya. Kita duduk-duduk manis di taman hijau membentang. Aku akan tetap mengenakan sepatu merah dan terlentang melihat rerimbunan pohon. Sekali-kali, aku akan melihat matamu bergantian ketika sedang cerita. Mohon jangan anggap aku tak peduli ceritamu, aku hanya mau terlihat seakan santai dan tidak menaruh perhatian penuh. Kadang, itu membantu orang untuk bercerita tanpa henti. Setidaknya, cara itu berarti bagiku ketika aku sedang ketakutan sampai menggigil dan memilih bercerita kepada Ibu. Bagaimana kalau kita mulai dengan cerita tentang teman-temanmu? Atau, mau cerita tentang mimpimu? Nanti, aku akan mulai bercerita tentang kegelisahanku. Kesusah-payahanku menjalani sesuatu yang tidak berarti. Keraguanku melakukan sesuatu yang tak ada guna. Satu-dua kali, aku akan ceritakan bagaimana orang tua kalian begitu membantuku dalam menghadapi semua. Apa-apa yang terjadi tentang hidup akan dilalui bersama. Aku pernah bilang kepada salah satu orang tuamu, “makin sekarat, makin ra...