Medan Merdeka sampai Sukarjo Wiryopranoto


Dan, Anda berada di balik kemudi, saya di sebelahnya. Kendaraan itu melalui jalan medan merdeka. Mendengarkan lagu yang itu-itu saja. Membicarakan hal yang sudah pernah kita bicarakan. Tertawa akan lelucon yang sudah diulang berkali-kali.

Kemudian, di lampu merah depan Museum Gajah, Anda bilang, “Kasihan sekali kamu, anak muda,” tentu dengan wajah sekaligus nada yang dibuat bijaksana. Jelang tiga detik, Anda melanjutkan, “Tapi, tahu kan bahwa ini belum seberapa?” Saya dan Anda menanggapinya dengan gelak tak berkesudahan. Sadar betul bahwa ini layak ditertawakan; kesadaran yang tak bisa dibendung.

Anda kemudian melihat ke luar dan bertanya patung apa itu di pinggir jalan harmoni. Saya jawab, “Itu patung Hermes. Cocok buat malam ini. Itu dipercaya membawa keberuntungan. Merasa lebih beruntung?” Tawa saya dan Anda lepas lagi. Saya dan Anda sama-sama tahu bahwa dalam keadaan terpuruk, bisa jadi yang dibutuhkan hanyalah keberuntungan. Pada saat yang sama, saya dan Anda juga tahu bahwa keadaan itu jauh dari keberuntungan. Kemudian, menggantungkan kehadiran keberuntungan dengan patung di pinggir jalan? Jika memang itu satu-satunya yang bisa dilakukan, kenapa tidak? Saya menertawakan betapa pada saat-saat tertentu, manusia menggantungkan nasibnya pada hal-hal di luar akalnya. Saya cukup yakin Anda menertawakan betapa malang keadaan saya dan Anda malam itu.

Tertawa itu sampai melupakan jalan kemudi. Saya dan Anda melalui jalan yang tidak semestinya. “Bisa, ya, lewat sini?” saya tidak meragukan pengetahuan Anda akan rute jalan di daerah sini. “Oh iya, harusnya tadi belok, ya?” respons Anda demikian. Saya melihat sekitar memahami keberadaan kendaraan ini. Anda berbisik, “Tidak ada yang harus, Bung,” meniru cara bicara saya. Saya dan Anda tertawa lagi. “Ya kan? Ya kan? Mau bilang itu, kan?” tuduh Anda. Saya tertawa karena kekesalan bahwa Anda begitu tahu kelanjutan omongan saya. Anda putar balik, kemudian ambil lajur kiri, berbelok di gang kecil demi menyesuaikan dengan tujuan awal.

Laju kendaraan kemudian memelan mendekati tujuan. Gelap. Saya melihat ke arah Anda. Anda pun demikian. Kemudian, tertawa lagi. Tempat tujuannya tutup. Apa lagi yang bisa terjadi pada malam-malam yang terasa buntung begini. “Ah, Hermes penipu, nih. Mana keberuntungan?” teriak saya. Anda tertawa semakin keras. Bahkan, ketika menaruh harapan pada hal yang sangat tidak masuk akal pun, itu terus menjadi kesalahan.

“Ke mana kita?” saya penuh harap. Anda balas, “Saya tidak mau pikir-pikir. Saya hanya mau menyetir. Eh, berima! Cocoklah saya jadi penulis.” Saya dan Anda tertawa lagi atas logika yang dibuat sesederhana mungkin sampai kemudian begitu hilang esensinya: menganggap penulis hanya sekadar bermain rima. Menertawakan kesadaran saya dan Anda bahwa menjadi penulis itu tidak ringan. “Kalau saya masih harus pikir-pikir, saya lebih memilih hari ini untuk sendirian. Anda ada di sini untuk berpikir.” Kemudian, saya mengangkat tangan saya tinggi-tinggi, telapak tangan saya ada di atas kepala Anda tanpa menyentuh. Dengan suara yang dibuat berat, “Berpikirlah maka kamu ada.” Anda tertawa terpingkal-pingkal.

Anda pun melajukan kendaraan kembali. Saya bertanya, “Jadi, ke mana?” Tampang Anda serius, “Diam saja, jangan banyak tanya! Anda tidak ada karena tidak mau pikir-pikir.” Saya terbahak. Omongan saya dilempar balik. Anda ikut tertawa dan ketika tuntas, “Mengoceh saja biar seolah-olah ada, walaupun ocehan Anda juga pasti tidak ada gunanya.” Perut saya sakit, tertawa terus. Mata Anda semakin menyipit setiap tertawa berlebihan.

“Memang tidak ada gunanya, toh banyak orang lebih senang melakukan banyak hal yang tidak ada gunanya. Salah satunya cari kopi malam-malam begini tanpa guna dengan orang tak berguna macam saya. Tapi, toh, tetap dilakukan, walaupun mungkin memang tidak ada pilihan lain.” Anda tertawa. Saya menertawakan kesepian Anda. Anda menertawakan nasib sendiri. Saya melanjutkan, “Jalan-jalan tidak ada juntrungannya begini buat apa coba?” Hampir berbarengan, saya dan Anda berkata dengan nada serupa, “Semua juga buat apa?”. Saya dan Anda terbahak luar biasa keras. Saya hapal betul respons Anda akan pertanyaan itu.

Sebelum perempatan, Anda menyalakan lampu sign kiri. Berhenti di pinggir jalan di depan Alfamart, tepat sebelum mobil van yang menjual aneka minuman ringan dengan kursi plastik berjejer untuk pembelinya yang ingin menikmati di tempat. Saya senyum-senyum ketika sadar keberadaan kendaraan ini. “Miskin referensi tempat. Tertebak,” celoteh saya. “Ada dua hal. Pertama, kemiskinan saya tidak hanya tentang referensi dan Anda tahu betul itu. Kedua, apa lagi yang tidak bisa ditebak selain kemalangan nasib?” Saya tertawa sampai mendongakkan kepala. Anda ikut tertawa sambil berberes barang-barang yang mau dibawa turun.

Saya langsung memilih satu bangku plastik di tengah. Anda memesan minum. Seperti biasa, saya percaya dengan pesanan Anda. Anda juga pasti sudah hapal apa yang akan saya pesan tanpa menanyakannya kepada saya. Tidak berapa lama, Anda kembali membawa dua minuman di gelas plastik. “Pisang, madu, lemon, nanas, dan apel,” kata Anda sambil menyerahkan gelas plastik itu. Saya menerima sambil melongo. Anda tertawa. “Sudah, minum saja. Bagus saya tidak minta dimasukkan jahe ke situ,” sambil menunjuk ke gelas pastik di tangan saya dengan dagunya. “Fuck!” saya mengumpat dilanjutkan tawa. Ini jauh dari kebiasaan pesanan saya dan Anda tahu betul kebencian saya akan jahe.

“Semua sudah tertebak. Sekali-kali merasakan yang di luar dugaan,” Anda mengatakannya sambil menaruh gelas plastik Anda di bawah kursi. Saya melanjutkan, “Iya, sih. Semua tertebak. Keluarga, ada atau tidak ada saya, tidak ada bedanya. Justru memudahkan mereka karena tidak perlu menuntut banyak hal. Pekerjaan, semua pekerjaan saya bisa dilakukan orang lain, saya tidak ada pengaruhnya. Pasangan, sudah punya pacar. Giliran ada kesempatan selingkuh, saya juga bukan pilihannya. Tabungan, kosong melompong. Teman-teman, sibuk dengan hidupnya yang sepertinya baik-baik saja juga. Negara, tidak mengurus rakyatnya. Pengetahuan, begini-begini saja. Mimpi, kebanyakan dan ketinggian. Sibuk cari arti. Sementara, orang-orang yang justru mencari arti di saya malah tidak punya arti bagi saya. Sombong lagi. Sombong tanpa kapasitas untuk sombong.” Anda menjawab, “Tabungan tidak habis-habis. Keluarga baik-baik saja. Pasangan setia dan mendukung semuanya. Karier melejit. Tulisan sudah jadi semua. Utang nyaris nol. Mimpi tercapai semua.”

Kesatiran itu saya dan Anda jawab dengan tawa meledak, sulit berhenti. Lelah tertawa, saya dan Anda terdiam. Saya membakar rokok, menyerahkan korek kepada Anda. Anda pun membakar rokok putih itu. “Sedih juga ternyata.” Jawaban selanjutnya, “Banget.” Saya dan Anda sangat paham bahwa kesedihan ini bukan karena kemalangan nasib yang dikisahkan barusan. Ini lantaran sebentar lagi saya dan Anda kehilangan saat-saat seperti ini. 

Komentar