Persapian Nasional
“…perpindahan itu membuat mereka stres dan mereka
itu gampang stres. Hanya pindah dari kandang ke tempat pemotongan saja, itu
bisa mengurangi berat badan mereka satu sampai dua kilo. Itu, kan, hanya…”
Saya kesusahan menahan air mata untuk keluar. Kaca
mata saya naikkan ke atas kepala, kemudian tangan kanan menghapus air mata di
mata kanan; tangan kiri menghapus air mata di mata kiri. Menutupi ketengsinan,
saya tertawa. Ia menghentikan ceritanya yang dari tadi terus berlanjut. Perkara
sapi. Peliharaannya. Entah peliharaan atau pembantaian, ia sayangi sedemikian
rupa semasa hidupnya untuk kemudian dihilangkan—kalau tidak mau bilang dibunuh
atau disembelih.
“Eh, Bontot. Kok sedih?”
“Kasian sapi-sapinya, Mas,” saya menjawabnya sambil
tertawa, tangan saya masih sibuk menghapus air mata. Tertawa hanyalah respons
spontan saya untuk mengelabui malun. Mungkin, saya memang lebih laknat.
Ketimbang perikemakhlukhidupan, perasaan malun saya lebih besar untuk ditutupi.
“Jangan sedih, dong. Berlebihan, ah,” ia tidak beranjak
dari duduknya di hadapan saya, menghisap rokok yang sudah dibakarnya sejak
pertengahan ceritanya tadi. Mungkin, seperempat ceritanya, saya tidak terlalu
menyimak sejujurnya.
“Hidupnya hanya untuk orang lain,” masih
cengar-cengir saya.
“Berfaedah, kan, hidupnya si sapi?” ia balas dengan
tawa. Usaha dia untuk berternak sapi sejak awal menggetarkan saya. Pembunuhan
massal atas nama pasar yang mungkin tidak memerlukan daging sapi sebanyak itu
mengganggu ketenangan saya. Itu baru dari perikemakhlukhidupan. Bagaimana
dengan energi yang digunakan untuk melanggengkan peternakannya? Berpuluh ribu
watt dibutuhkannya, hektaran rumput dipangkas untuk pangan sapi-sapi lucu nan
menggemaskan. Saya memang bukan antidaging, tapi kenyataan-kenyataan di video
dokumenter tentang peternakan sapi cukup membuat saya kalang kabut. Saya sadar,
saya termakan sebagai pasar pembuat video. Kadang, saya menyesali keuntungan-keuntungan
saya yang bisa mendapatkan akses. Tapi, saya ingat, teman saya pernah bilang,
akses justru memberdayakan, pun kadang bukan berarti memperkaya.
“Mbak Shinta masih di kantor, Mas?” saya yakin dia
paham usaha saya mengalihkan pembicaraan.
“Si Shinta sekarang dipindah divisi. Sekarang,
persoalan dia hubungan masyarakat. Jadi, malah lebih sering pergi ke luar kota.
Dia punya banyak program sebagai bentuk tanggung jawab perusahaannya kepada
masyarakat. Kapan-kapan kamu ajak dia bicara soal ini, dia pasti senang, sih,”
abu rokoknya dibuang di asbak di meja yang ada di hadapan kami. Saya
memperhatikan tangannya di atas asbak, juga memperhatikan tumpukan puntung di
dalam asbak itu, juga abu-abu yang berserakan di sekitar asbak.
“Kalau kamu, senang?” lelaki bertato gurita di
lengannya itu menanyakan sesuatu di luar perkiraan saya.
Saya tertegun. Melihat matanya. “Maksudnya?” bentuk
upaya saya meyakinkan arah pembicaraan.
“Sekarang, kamu sedang merasa senangkah?” diucapkan
dengan jauh lebih pelan-pelan seakan memberi waktu lebih lama bagi saya untuk
memproses makna pertanyaannya.
“Dibanding sapi-sapi itu? Jelas saya lebih senang,”
jawaban saya bisa digunakan untuk perkara perpindahan divisi kakak ipar saya
dan juga untuk hal-hal lain yang tidak disebutkan kakak saya, tapi mungkin
tersirat.
Tangannya melambai ke atas, memanggil pelayan ramah
di bar itu. Ketika pelayan menoleh kepadanya, dia mengangkat satu botol di
hadapan kami dan memberikan dua jarinya ke atas supaya terlihat dari jauh oleh
pelayan itu.
“Kamu menanggapi banyak hal dengan berbeda
sekarang. Sadarkah?” katanya setelah tatapan tajam ke mata saya selama beberapa
detik. Saya menunduk dan menghapus air mata lagi yang baru keluar. Dan, seperti
yang terduga, saya tertawa lagi.
“Ini ke mana arahnya, sih?” upaya gila-gilaan untuk
mengelak dari topik yang digiringnya.
“Saya ingat betul beberapa tahun lalu waktu pertama
kali saya bilang bahwa saya akan menikahi Shinta, kamu undur diri perlahan.
Sibuk pergi sama teman-teman yang lain, sibuk basket sampai lupa pulang, sibuk
bermain teater sampai badan kurus. Tidak ada waktu untuk saya dan Shinta, tidak
satu hari pun. Segala ajakan kami kamu tolak mentah-mentah. Entah kesibukan
yang dibuat-buat atau memang kamu hanya melanjutkan hidup. Saya dan Shinta
sadar betul. Saya kakak kamu, Shinta sahabat kamu. Bagaimana mungkin kami tidak
sadar?” Saya kontan tertawa. Saya kira saya sudah menutupi rahasia kesedihan saya bertahun-tahun dengan manis, eh, ternyata terbongkar sejak awal. Jadi, orang yang
kena tipu itu siapa? Saya atau mereka?
“Saya memang punya kegiatan itu,” keras juga usaha
saya untuk berdalih pada saat yang sudah kadung merasa malun. Sadar dengan
usaha sia-sia, saya tertawa lagi.
“Kamu kecenderungannya kabur untuk memulai
kesedihan lebih awal sendirian dan menyudahinya belakangan sendirian. Saya
tidak paham betul waktu itu kamu lebih merasa takut kehilangan saya sebagai
kakak atau kehilangan Shinta sebagai sahabat. Padahal, itu ketakutan yang
sia-sia. Pernikahan kami justru melanggengkan segala hubungan yang kamu punya.
Nyaris bisa dijadikan jaminan. Kamu jelas punya alasan lebih banyak untuk terus
bersama kami, seperti yang sudah-sudah. Kesedihan kamu waktu itu setengah bisa
dipahami, setengah lagi sama sekali tidak masuk akal. Kami tahu kamu antara
sedih atau kesal, tapi kamu tidak pernah bilang apa-apa kepada kami,” ia
melanjutkan lagi lanturannya.
“Eh, ini kita sedang membahas apa, ya?” saya gigih
berusaha mengalihkan duduk perkara.
“Kali ini, kamu menanggapinya dengan cara yang
berbeda. Jauh berbeda. Kamu hadapi sampai titik akhir, tanpa kabur sebentar
pun. Justru menyediakan waktu sebanyak mungkin. Kamu menyatakan kesedihanmu.
Kamu garap segala ketakutanmu. Satu yang sama, Bontot: ketakutan kehilangan
kamu sama sekali masih tidak masuk akal.”
Pelayan datang mengantarkan dua botol dingin di
hadapan kami. Setelah bilang terima kasih, dia menyodorkan korek kepada saya.
Saya membakar rokok yang sudah saya taruh di mulut saya.
“Paham. Saya paham. Tapi, paham bukan berarti perlu
mengelabui segala yang ada, kan? Paham bukan serta-merta juga menghilangkan
kepedihan. Saya tidak bisa tidak sedih. Saya merasa akan kehilangan momen. Masih banyak yang seharusnya bisa dilakukan. Dan, saya merasa kehilangan orang yang …
pengkritik terkejam sekaligus penabur bara yang membangkitkan,” akhirnya saya
mengikuti arah pembicaraannya.
“Orangnya boleh hilang, pun sebenarnya tidak, tapi
baranya terus membakar,” ia mematikan rokoknya di asbak.
Ia melanjutkan, “Saya masih akan menyelimuti kamu
kalau kamu ketiduran di ruang tamu, saya masih mengantarkanmu pulang kalau kamu
kemabukan, saya masih bisa diajak minum bir seperti ini, Shinta masih
mempersiapkan kejutan ulang tahunmu, dia juga masih mengajakmu makan siang
berdua. Ketakutan yang semu, bukan?”
Saya menatap matanya tajam. Tersenyum. Mati kutu.
Padahal, saya tidak tahu bagaimana keadaan kutu yang mati.
“Mas, jadi sapi bagaimana, Mas?” Saya harus
berusaha lebih keras untuk keluar dari percakapan ini.
“Sekarang, bukan hanya daging, Bontot. Kami juga
akan berjualan susu sapi segar. Nanti, saya kirim, ya, biar kamu coba. Ada rasa
strawberry dan coklat. Enak, deh,” dia sepertinya pasrah mengikuti kemauan saya
untuk mengalihkan topik.
“Memang manusia membutuhkan susu sebagai asupan
sehari-harinya?” tanggapan saya. Dia tidak menjawab. Kemudian, yang terjadi
adalah air mata saya tak berhenti turun.
“Jangan sedih, dong, Bontot.”
“Saya tidak mungkin tidak sedih, Mas. Kasian
sapinya,” ia terbahak.
Dua botol di hadapan kami akhirnya ludes. Kami memutuskan
untuk beranjak. Bukan karena waktu, tapi persediaan rokok yang terbatas ikutan tuntas.
Kemudian, kami melangkahkan kaki ke parkiran.
Seperjalanan pulang ke tempat parkir, ia merangkul
saya. Mungkin, ini upaya dia juga untuk meyakinkan saya bahwa banyak hal akan
baik-baik saja. Kecuali si sapi.
Komentar
Posting Komentar