Lapor, Komandan!
Tugas saya berat. Menerima
perintah dari atasan untuk menulis dalam semalam. Yak, benar, semalam. Dan, tentang
kehilangan. Yak, benar, kehilangan. “Komandan yang saya hormati, ini bukan
perkara hanya tentang waktu, tetapi juga soal tema yang diangkat. Berat.
Apalagi mengingat saya bukan penulis.” Saya lebih suka mendapat tugas
“selamatkan orang-orang yang termarjinalkan” atau “pergi ke pelosok untuk
mengedukasikan penduduk lokal”. Itu terdengar lebih heroik. Bisa menjadi tujuan
hidup dan bisa menjadi bahan untuk diceritakan ke orang-orang. Entah apa itu
artinya menyelamatkan dan mengedukasikan. Yang penting, seolah-olah berbuat
sesuatu. Tapi, buat apa bicara tentang sesuatu yang tidak terjadi? Akhirnya, saya
habiskan sepagian hingga sesiangan untuk belajar kilat—kalau memang belajar
bisa sekilat itu—bagaimana cara menulis.
Salah satu tulisan yang
saya baca selintas adalah tulisan Yusi Pareanom. Katanya, ada tiga hal yang
bisa membuat sesuatu layak dituliskan: kebaruan, keunikan, dan kedekatan. Asu!
Tema ini jauh dari ketiga itu. Pertama, apa yang baru dari kehilangan? Apakah
kehilangan sekarang bisa diobati hanya dengan mendengar lagu-lagu? Tidak.
Apakah kehilangan bisa dihilangkan dengan mengkonsumsi sesuatu? Doraemon saja
yang punya tampaknya. Kedua, apa yang unik dari kehilangan? Saya mati kutu.
Ketiga, lebih parah lagi, siapa yang mau dekat-dekat dengan kehilangan? Kecuali
orang-orang yang sedang percaya bahwa inspirasi datang dari keterpurukan. Tapi,
apakah orang-orang semacam itu perlu disediakan tulisan tentang kehilangan?
Bukankah mereka jauh lebih jago dalam menemukan dan mengorek-korek
kehilangannya masing-masing? Ah, komandan sialan.
Beda lagi dengan Keraf.
Dia bilang, ada dua hal yang membuat tema layak ditulis: jujur dan menarik.
Jujur begitu sulit. Cenderung tidak lucu. Menarik? Lebih membuat saya patah
arang lagi. Keraf menambahkan, penulis juga perlu memperhatikan masa, medium,
subjek, tempat, pembaca, dan tujuan untuk bisa melihat relevansi dalam tulisan.
Boro-boro. Komandan tidak memberi tahu konteks waktunya kapan, siapa yang mau
dibicarakan, konteks ruangnya di mana, pembacanya siapa, tulisan ini akan
ditaruh di mana, dan bahkan untuk apa. Bagaimana bisa melakukan sesuatu tanpa
tahu ini untuk apa? Tapi, banyak juga orang yang berpuluh-puluh tahun hidup
tanpa tahu tujuannya dan tetap hidup aman sentosa. Mungkin termasuk saya. Juga
Komandan.
Saya curiga betul ini
sebenarnya hanya untuk memenuhi hasrat komandan. Mungkin, ia baru saja
kehilangan. Anjingnya yang baru mati. Orangtuanya yang sekarat. Pasangannya
yang kabur. Temannya yang pergi jauh. Atau, bahkan, mungkin sekadar ponselnya
yang keselip dan belum ditemukan. Tapi, alih-alih mencari di internet—yang
sangat mudah—ia malah menugaskan anak buahnya. Toh, dia punya kuasa. Punya uang
juga untuk membayar orang untuk melakukan sesuatu yang mungkin tidak ada
gunanya.
Kalau hanya untuk
menunaikan tugas semata, sebenarnya tugas penulisan ini juga tidak perlu
hebat-hebat amat. Kalau sekilas lihat-lihat apa yang sedang digandrungi
orang-orang, isinya cuma angka dan akal-akalan yang terlintas. Tanpa pendalaman
yang menyeluruh. Demi memuaskan keinginan orang-orang yang tergila-gila dengan
sesuatu yang cepat. Ah, seperti Komanda. Misalnya, “5 Tips Mengatasi
Kehilangan”. Tanpa mencari lebih jauh, saya bisa meraba-raba: 1. Keluarlah dari
tempat tinggal Anda; 2. Temui orang-orang baru atau orang lama yang sudah lama
tidak ditemui; 3. Perbanyak kegiatan Anda; 4. Lakukan sesuatu yang belum pernah
Anda lakukan; 5. Cari pasangan. Apakah sudah sesuai dengan kebutuhan Komandan?
Entahlah. Oke, ini akan jadi cadangan. Kalau sudah mepet betul, senjata—yang
bukan andalan—ini akan saya keluarkan.
Kelimpungan dengan tugas
yang terasa berat, saya memutuskan untuk bersantai sejenak. Saya menyalakan
sebatang rokok sambil tiduran di lantai. Tidak lupa, ada lantunan lagu-lagu
yang tidak saya kenal siapa penyanyinya. Baru satu-dua khayalan tentang tinggal
di Benua Eropa sambil kedinginan, saya dengar ada ketukan pintu. Saya kira itu
bagian dari khayalan saya. Saya lanjutkan khayalan: ada orang ketuk pintu
sambil bicara bahasa asing yang tidak pernah saya mengerti, pas dibuka ternyata
mengantarkan sebotol anggur merah. Tapi, ketukan itu berlanjut. Ternyata,
ketukan ini betulan. Nyata.
Saya berjalan ke arah
pintu. Dan, benar. Ada suara ketukan. Saya membukakan pintu. Ternyata, Si
Gemblung datang. Di tangannya ada makanan, sayangnya tanpa anggur merah. “Wah,
kok tumben baik? Saya kebetulan sudah makan,” kata saya sambil memberikan ia
jalan masuk. “Saya belum makan,” jawabnya nyelonong. Saya perhatikan lagi
barang bawaannya. Hanya satu. Memang Gemblung. Pasti itu bukan untuk saya. Dia
langsung taruh bawaannya di atas meja beserta dompet, kunci—entah kunci apa,
uang receh, dan ponselnya. Ia membuka kulkas, menungging, dan mengambil sebotol
teh dingin yang sudah saya simpan dan sayang-sayang. Ia taruh di atas meja
makan botolnya. Ia melakukan itu semua tanpa melihat saya yang masih di ambang
pintu. Belum selesai. Ia ambil piring dan gelas, kemudian duduk di meja makan.
Buka makanannya dari bungkusnya, menuangkan teh ke gelas, dan mengangkat satu
kakinya. Saya cuma bisa melihatnya. Kenapa saya tidak pernah punya kuasa untuk
memprotes perlakukan orang yang semena-mena? Atau, ini mungkin masih di ambang
sangat bawah dari garis kesemena-menaan saya. Saya duduk di kursi hadapannya.
Melihatnya menuangkan sambal ke piring, mencocol ayam di atas sambal itu,
menaruhnya di atas nasi yang penuh bawang goreng, dan memasukkannya ke mulut
dengan tangan. Tangan dia tentu. Dan, dia tidak cuci tangan.
“Mau?” tanyanya dengan
mulut penuh makanan. Saya melengos ogah. Lebih pilih untuk bakar rokok lagi
sambil ambil satu gelas untuk ikut minum teh. Dia melotot melihat saya menuang,
“Jangan dihabisi. Nanti saya seret,” dahinya berkerut, tanpa protes atas
tindakan saya. “Bajingan,” umpat saya. Dia tertawa. “Serius. Jangan
banyak-banyak,” dia melanjutkan sambil melirik gelas saya, mungkin memastikan
saya tidak menuang sampai gelas penuh. Anehnya, saya saja mengikuti maunya.
Tapi, orang-orang semacam ini tidak bisa dikasih enak terus. Dia harus dengar
keresahan saya. Sampai kebosanan. Siapa suruh datang ke tempat saya semaunya
kalau tidak mau dengar lanturan? Di bawah ini adalah lanturan saya dengan dia.
Detil sudah saya lupakan. Saya hanya ingat percakapan omong kosong kami.
“Komandan kacau, nih,
Mblung. Dia kasih tugas untuk diselesaikan dalam waktu semalam. Tadi pagi kasih
tugas, besok harus dikumpulin.”
“Tugas apa?”
“Menulis.”
“Menulis? Hahaha. Kamu
disuruh menulis? Memang bisa?”
“Nah, itulah. Kacau, kan?
Komandan macam apa? Kasih tugas yang dia sendiri pasti tidak bisa.”
“Kata siapa dia nggak bisa?
Kamu nggak pernah tahu bukan berarti dia nggak bisa. Bagus, dong, masih ada
yang kasih tugas. Kasih uang juga, kan?”
“Gemblung. Tidak semua
bisa dinilai dari duit.”
“Toh, kamu juga butuh.
Tentang apa memangnya?”
“Kehilangan.”
Ah, kali ini, saya ingat
detil. Dia batuk-batuk. Langsung tersedak. Saya terbahak.
“Mungkin Komandan kasih
kamu tugas itu bukan karena kamu ahli dalam menulis, tapi ahli dalam
kehilangan.”
“Asu! Saya bahkan tidak tahu
rasanya kehilangan itu seperti apa.”
“Yah, kamu bilang saja nggak
bisa. Paling temanya diganti jadi kepura-puraan.”
“Maksudmu?”
“Copy-paste aja dari tulisan bahasa Inggris. Paling dia juga nggak tahu.”
“Pembaca?”
“Memangnya ada yang baca?”
“Mblung, kamu ‘kan belum
lama merasa kehilangan. Ceritakan, dong, tentang kehilangan. Apa saja rasanya,
bagaimana cara mengatasinya, apa saja yang kamu lakukan untuk membatalkan
kehilangan…”
“Bagaimana caranya nggak mengaku
sedang kehilangan?”
“Ya, itu juga boleh. Apa
pun, lah.”
“Kamu paling tahu lah soal
itu. Tulis saja.”
“Saya tidak pernah merasa
kehilangan. Dan, tidak ada hal baru yang bisa ditulis tentang kehilangan.”
“Malam pertama kepikiran.”
“Nah… trus…”
“Eh, salah. Bulan pertama
kepikiran.”
“Trus…”
“Bulan kedua makin
kepikiran.”
“Hahaha. Sampai berapa
bulan?”
“Mboh. Masih sampai
sekarang.”
“Rasanya apa?”
“Nggak ada rasa.”
“Apa yang berbeda sebelum
dan sesudah kehilangan?”
“Sama saja.”
“Tidak ada yang beda?“
“Nggak. Kehilangan
sekarang adalah hasil dari kehilangan sebelumnya.”
“Maksudnya?”
“Paling kadang-kadang suka
bingung. “Lho, ini saya ada di mana? Saya ngapain?” Itu saja. Kalau tiap
belokan jalan jadi ingat apa yang pernah terjadi, itu sudah biasa. Bukan
sesuatu yang oke untuk diceritakan.”
“Jadi, apa yang oke untuk
diceritakan? Lagu yang mengingatkan? Acara yang menjadi kenangan?”
“Standar itu, sih.”
“Jadi, apa?”
“Aroma.”
“Aroma?”
“Waktu lagi naik sepeda,
di tengah jalan raya, saya merasa nyium bau yang familiar. Saya putar balik.
Coba lewat jalan itu, aromanya sudah hilang.”
“Aroma apa?”
“Ah, tadi siang, ibu saya
kirim pesan dan belum saya balas. Saya lupa.”
“Gemblung! Ini lagi bicara
soal kehilangan.”
“Paling parah adalah
pertanyaan dari orang-orang.”
“Pertanyaan apa?”
“Pertanyaan tentang orang
yang hilang. Nanya, kok, ke orang yang nggak tahu jawabannya juga. Aneh. Tapi,
kalau nggak dijawab, dikira sombong. Dikira menutup-nutupi. Lebih susah
menjelaskan sesuatu yang memang nggak tahu jawabannya daripada menjelaskan
sesuatu yang memang kita tahu, tapi pura-pura nggak tahu. Dan, kita harus
menjawabnya. Dijawab nggak tahu, malah dibilang bohong.”
“Jadi, lebih baik bohong
dan dikira benar?”
“Eh, kamu sudah nonton Civil War?”
“Dokumenter? Tentang
kehilangan?”
Si Gemblung tidak menjawab
pertanyaan saya. Dia membereskan sampah-sampah makanan yang sudah ludas.
Beranjak dari kursinya dan membuang sampah di tempat cuci piring. Wajahnya
datar saja sedari tadi. Dia pun duduk lagi setelah ambil satu batang rokok
milik saya dan membakarnya. Saya masih penasaran.
“Jadi, apa yang kamu
lakukan untuk mengatasi kehilangan?”
“Ke tempatmu. Melihat
orang yang lebih kacau tanpa merasa kehilangan. Itu bikin hati jadi lebih
adem.”
“Sialan. Jadi, apa yang
sebaiknya saya tulis tentang kehilangan?”
“Tulis saja dulu judulnya:
Kehilangan. Paragraf pertama, kamu tulis saja: rasani. Selesai.”
Obrolan selanjutnya sampai
subuh dengan Si Gemblung sudah tidak ada hubungannya dengan kehilangan. Dia
malah ngelantur soal Captain America dan Iron Man. Entah kenapa. Saya dengar
dia ngomong saja. Toh, saya juga sudah tahu apa yang saya kasih ke Komandan
nanti pagi.
Setelah ditinggal ngorok
duluan oleh Si Gemblung. Saya menulis judul, “Lima Langkah Menghadapi
Kehilangan”. Isinya basa-basi yang padahal tidak bisa mengatasi kehilangan sama
sekali. Tapi, daripada tidak ada? Siapa tahu ini berlaku bagi orang lain.
Setelah selesai, saya tidur di sofa. Kasur sudah diokupasi oleh Si Gemblung.
Menyelip pun tidak bisa.
Telepon saya berdering.
Saya lupa mematikan suaranya. Jadi, saya terbangun. Saya lihat nomornya,
ternyata nomor kantor. Saya diamkan saja. Saya tidur lagi. Niatnya demikian,
tapi ternyata tidak bisa. Saya baru ingat. Saya belum mengirimkan tulisan saya
ke email Komandan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di tempat saya. Suara ngorok
Si Gemblung masih terdengar.
Dengan mata sepet, saya
buka email di laptop. Satu pesan masuk. Judulnya: Berita Duka Cita. Sialan, Si
Komandan meninggal. Dia ternyata mempersiapkan kehilangan untuk dirinya sendiri
yang ternyata datang lebih cepat. Mungkin, sekarang, saya bisa menulis
kehilangan dengan lebih baik. Ada unsur kebaruan. Begitu nasihat Yusi Pareanom.
Komentar
Posting Komentar