Belok-belokan
Sebuah catatan sudah saya
persiapkan sebelum duduk manis di meja itu. Isinya adalah daftar apa-apa saja
yang perlu saya bicarakan dengan dia terkait satu proyek kami. Dia memberi
kabar, kemacetan membuatnya terlambat hadir. Saya tak ambil pusing. Setidaknya,
hari ini, saya bertemu dia. Saya sudah tidak sabar untuk meluapkan beberapa ide
yang saya tahu betul akan menambah deretan daftar tugas yang perlu saya
lakukan.
“Saya punya pengakuan. Ini
pacar saya,” ia menunjukkan layar di ponselnya. Ia bersama seorang perempuan
yang saya tidak kenal. Itu adalah kalimat pertamanya ketika duduk semeja dengan
saya. Catatan yang sudah saya persiapkan jauh-jauh hari saya tutup dan saya
geser dari hadapan. Ini adalah akan menjadi pembicaraan panjang. Mungkin, kami
sama-sama sudah mempersiapkan pertemuan itu. Tapi, persiapan kami berbeda.
Dia kemudian menceritakan
rentetan kisah cintanya sebagai lesbian. Atau biseksual. Dia belum memutuskan.
Dalam ceritanya, ia berkali-kali menyebut dirinya sebagai “belok”. Kesekian
kalinya ia menyebut komunitasnya sebagai komunitas “belok”, saya lantas
bertanya. Mungkin dahi saya sedikit berkerut.
“Apa yang membuat kamu
menyebut diri sendiri dengan ‘belok’?”
“Karena mereka kami memang
menyebut diri kami dengan ‘belok’.”
“Bukankah itu justru
semakin menegaskan bahwa ada pembagian straight
sebagai yang lurus dan LGBT sebagai yang belok?”
“’Kan memang begitu dengan
pikiran orang kebanyakan.”
“Tapi, ini bukan persoalan
lurus atau belok. Yang lurus kemudian dianggap yang benar, misalnya, dan yang
belok dianggap yang tidak benar. Dua-duanya benar.”
Ia melanjutkan ceritanya.
Saya kadung kegirangan dengan ceritanya, memberhentikan beberapa pertanyaan
yang masih berputar di kepala. Bagaimana tidak? Kisahnya komedi tragis. Tak
kalah lucu dari tragedi maling yang tertangkap tangan sedang mencuri pakaian
dalam, tapi besoknya maling itu malah ditunggu-tunggu kedatangannya hanya
karena ingin pamer punya pakaian dalam baru oleh si empunya. Atau, tak kalah tragis
dengan terus membayar cicilan barang mewah yang sudah diberikan kepada kekasih
hati yang telah bersama orang lain.
Setelah gelak tawa yang
nyaris tak selesai-selesai, kami menyudahi perjumpaan kami. Catatan saya hanya
bertambah satu kata: “belok”. Ini menjadi satu topik tanya-jawab saya dengan
diri saya sendiri selama berjalan kali dalam jalanan pulang. Saat itu, saya
mempertanyakan istilah “belok” karena seakan melegitimasi dua kutub yang
berseberangan. Bagi saya, saat itu, istilah “lurus”—yang justru jarang
digunakan untuk merujuk identtias karena dianggap sebagai status dominan—dan
istilah “belok” perlu disingkirkan. Bisa jadi, cari padanan baru. Namun, saya
juga belum menemukan padanan yang lebih tepat.
Saya salah menakar diri
sendiri. Saya mengira tanya-jawab itu selesai ketika saya sampai di tempat
tinggal saya, setidaknya sampai malamnya. Salah besar. Kata “belok” yang saya
catat di buku catatan saya menggentayangi saya.
Suatu malam, beberapa hari
setelahnya, saya sedang duduk bersandar di sofa menghadap tumpukan buku. Saya
mengoceh sendirian dalam hati tentang subjektivitas. Mengingat-ingat “omongan”
Cixous, Irigaray, Mohanty, dan Escobar. Percayalah, saya hanya menyebutkan
nama-nama ini tanpa ingat betul apa yang mereka bicarakan. Kemudian, saya
merasa bersalah. Bukan karena lupa persisnya omongan mereka, ini soal lain.
Kenapa saya mempertanyakan identitas yang justru sudah diberikan oleh si
empunya? Bukankah itu cara komunitas memberikan identitas kepada dirinya
sendiri? Bukankah itu malah sudah mencapai kehakikian? Saya terjebak dalam
pengetahuan dominan, lebih parah lagi, saya mengajukannya. Mau tahu yang lebih
parah? Saya masih membela diri dengan pikiran semacam, “Tapi, waktu itu, saya
hanya mempertanyakannya, bukan memaksakannya.” Omong kosong, tentu saja. Saya
merasa sedang berusaha menipu diri sendiri untuk seakan membuat keadaan lebih
baik.
Saya melakukan sesuatu
yang sering saya tentang. Menjilat ludah sendiri. Dan, belum kapok juga, saya
masih membela diri. “de Beauvoir saja pernah bilang, tidak apa melakukan
kesalahan dalam menentang pengetahuan dominan, kita terlahir dan dididik dengan
keadaan dominan. Salah itu biasa, setidaknya sadar akan kesalahan.” Saya merasa
perlu berhenti membela diri. Tidak perlu ada tawar-menawar. Kesalahan adalah
kesalahan.
Mungkin, ini serupa dengan
perjuangan para transgender yang selalu menyebut dirinya dengan “waria”. Juga,
serupa dengan seorang aktivis LGBT yang kerap memberikan identitasnya sebagai
“bencong” atas nama ingin merebut kembali makna kata itu agar menjadi miliknya.
Makna yang jika digunakan terus-menerus bisa bebas nilai. Mungkin, bebas nilai
juga tidak begitu tepat. Apakah ada kata yang memang benar-benar bebas nilai?
Setidaknya, maknanya dibentuk oleh pemilik identitasnya sendiri, bukan
merupakan hasil konstruksi sosial. Penyebutan “belok” merupakan perjuangan
untuk merebut kembali apa yang sebenarnya milik mereka.
Saya mencoret kata “belok”
dalam catatan saya. Catatan lainnya masih menjadi catatan. Saya malah menambah
daftar catatan kesalahan saya. Mungkin, karena saya sendiri adalah kesalahan.
Tapi, kesalahan adalah kebenaran yang tertunda. Dan, lagi-lagi, saya masih
berupaya maksimal untuk membuat situasi seakan menjadi lebih baik. Mungkin,
saya memang suka yang seakan-akan. Semuanya hanya serba akan. Seakan-akan.
Komentar
Posting Komentar