Selamat Tinggal di Teras Rumah
Kalau ini sudah pasti
terjadi, mengapa kita terus membicarakan ini?
Kami bertemu di satu teras
rumah. Saya sudah menunggu sedari pagi. Ketika matahari mulai condong ke barat,
itulah saat pintu pagar terbuka tanpa aba-aba. Saya hanya bersandar di tembok depan
pintu melihat kedatangan dia. Saya tanya, “Bawa apa?” Dia kemudian menjawab,
“Bawa calon sampah. Kaleng, plastik, dan karton. Kita belum bisa menolak
sampah,” sambil tertawa. Saya tahu, itu adalah tawa ledekan.
Dia menaruh dua
kaleng minuman, dua camilan asin berbungkus, dan satu camilan manis berkotak di
meja teras. Kemudian, kami sama-sama duduk bersebelahan di kursi teras yang
memang hanya dua buah. Kami saling menatap dan mengakhirinya dengan tawa. Saya
siap memulai pembicaraan, “Jadi, apakah ini bentuk suap?” Dia kemudian
mengeluarkan rokok dari kantong jaketnya. “Mungkin. Saya perlu bantuanmu.”
Sambil menunggu dia membakar rokoknya, saya menimpali, “Ah, pasti ini
kesusahan. Tidak ada…” saya memberhentikan lanjutannya. Seperti biasa, dia menyelesaikannya,
“Tidak ada ruang untuk berbagi kebahagiaan. Hanya kesusahan." Sebenarnya, saya
ingin menambahkan bahwa imbuhan ke- dan –an yang dimaksud bukan membentuk makna
menjadi ‘perkara yang susah’, tetapi justru ‘terlalu susah’, semacam makna yang dibentuk oleh kebesaran atau kekecilan. Saya urungkan niat saya; jujur bisa jadi lucu, tetapi
terlalu jujur kadang malah bikin orang iba. Dan, siapa yang butuh iba? Kami
hanya tertawa setelahnya.
Saya membuka satu kaleng
minuman yang dibawanya dan meneguknya. Dia melanjutkan, “Saya butuh bantuanmu
untuk menjawab satu pertanyaan: bagaimana cara mengucapkan selamat tinggal yang
baik?” Minuman dari mulut saya tersembur. Dia tertawa. Anjing! Tanpa menanggapi
apa-apa lagi, ia melanjutkan, “Sebagai orang yang cukup ahli dalam soal perselamattinggalan,
saya merasa datang ke orang yang cukup tepat.” “Karena saya sering mengucapkan
selamat tinggal?” saya membersihkan sisa minuman di mulut dengan kaus yang saya
kenakan. “Karena banyak orang sering mengucapkan selamat tinggal kepada Anda,”
dia menjawabnya sambil membuka kalengnya dan menyodorkan kalengnya kepada saya
untuk tos.
“Selamat tinggal yang
baik itu seperti apa?” saya sungguh tidak paham maksudnya. Ia mengistirahatkan
punggungnya ke sandaran kursi dan menyelonjorkan kakinya ke depan, “Selamat
tinggal yang—misalnya dalam kasusmu—membuatmu baik-baik saja.” Saya mengikuti
gaya duduknya yang terlihat lebih nyaman. “Bagaimana cara kehujanan yang tidak
basah? Sebenarnya, pertanyaanmu adalah cara berpikir khas orang yang mau
meninggalkan. Seakan-akan sudah berpikir keras untuk membuat keadaan baik-baik
saja untuk orang lain. Lebih parah lagi, apakah Anda memang memikirkannya untuk
orang lain atau sebenarnya untuk diri Anda sendiri? Mungkin lebih tepatnya
begini, bagaimana cara mengucapkan selamat tinggal dan saya tetap baik-baik
saja.”
Dia membuka satu kotak
camilan dari meja. Kemudian, membaca pesan di kotak bagian depan, “Liburan ke Jepang bareng sahabatmu. Saya
akan ajak siapa, ya, kalau menang undian ini?” Saya tertawa mendengarnya. Ia
pun. “Ajak tetangga kali, ya? Saya begitu dekat dengan eM. Wah, liburan bersama
dia pasti seru banget,” sambil dia terus tertawa. Mungkin dia belum merasa
cukup hingga dilanjutkan lagi, “Kalau ajak Anda, nanti Anda malah kesusahan.
Duit makan dari mana? Bagaimana cara cuti dari pekerjaan yang sudah
menjemukan, tetapi pekerjaan yang wajib diselesaikan terus ada? Malah bikin repot. Konsekuensi kebahagiaannya
lebih besar daripada jalan-jalannya.” Dia diam sebentar, “Itu alasan kedua,
sih.” Saya menahan tertawa, “Alasan pertamanya karena kita kurang akrab, ya?”
Dia mengangguk. Kami tertawa. Dia menyodorkan camilan itu, sambil bertanya,
“Liburan?” Saya mengambil satu batang coklat, walaupun tidak begitu ingin.
“Kasih saya pilihan,
tetapi jangan banyak-banyak. Banyak pilihan justru tidak membantu, malah
membingungkan,” katanya. Saya bertanya ulang, “Cara yang baik buatmu?” Tidak
ada tanggapan. Dia malah minum dari kaleng lagi. Kali ini, saya mengajaknya
untuk tos. Dia berhenti minum dan meladeni ajakan saya. “Baiklah. Ada tiga
cara. Cara pertama adalah cara yang paling umum. Standar. Beri ruang dan waktu
khusus untuk mengucapkan selamat tinggal. Pendahuluannya adalah perbincangan
atau kegiatan yang menyenangkan. Kemudian, ditutup dengan cara yang sangat
sederhana. Bilang selamat tinggal tanpa pesan apa-apa di belakangnya. Hal-hal
yang diingat terakhir kali adalah hal-hal yang menyenangkan. Cukup ampuh bagi
Anda untuk berjalan menjauh dan tidak menoleh ke belakang,” saya menyerah juga
dan menanggapi pertanyaannya. “Cara kedua?” cepat sekali tanggapannya.
“Cara kedua adalah dengan
memupuk kebencian. Dibuat-buat saja. Tidak perlu masuk akal. Ini demi
merasionalisasi kepergian,” saya jawab tak kalah cepat. “Membuat selamat
tinggal menjadi masuk akal dengan sesuatu yang tidak rasional?” tanyanya menegaskan.
“Lupakan prinsip antidualisme. Tidak ada antara, tidak ada abu-abu,” saya
semakin menegaskan. “Dan, itu cara yang baik menurutmu?” dia masih berusaha
meyakinkan. “Sejak awal, saya tidak percaya bahwa ada cara yang baik,” saya
mulai mengambil rokok. Ia masuk ke dalam, mungkin pergi ke toilet.
Gerimis pun dimulai.
Semakin lama semakin deras. Saya memindahkan sepatunya yang mulai kena tampias
hujan. Saya sembunyikan di belakang pot di area teras yang tidak terkena hujan
dan tidak mudah terlihat sapuan mata. Sementara itu, sepatu-sepatu saya yang
juga ada di depan teras, saya pindahkan ke dekat tembok. Saya pun kembali duduk
di kursi teras sambil membuka Facebook di
telepon pintar saya—yang mungkin jauh lebih pintar daripada saya. Ia kembali
dari dalam rumah. “Apa kabar lelakimu?” ia bertanya sebelum duduk kembali di
singgasananya. “Sibuk. Sibuk menulis. Menulis status Facebook.” Tanggapannya hanya, “Bangsat kamu.” Kami punya banyak
cara untuk tertawa.
“Cara ketiga?” ia
mengembalikan lagi pembicaraan pada topik semula yang bikin mual. “Cara ketiga
adalah dengan mengajaknya naik kereta dari Selatan ke Utara,” saya tetap
menjawabnya juga. “Naik kereta? Maksudnya?” dahinya mengernyit. “Buatlah
perjanjian untuk saling meninggalkan di stasiun selanjutnya. Kamu jadi merasa
tidak meninggalkan; ada kesalingan di sana,” saya mematikan rokok dan meneguk
minuman kaleng. Ia mencodongkan badannya, tampak antusias, “Nah, ide semacam
ini, nih.” “Biasanya, Anda akan berkompromi. Satu stasiun lagi. Masih ada resah
yang belum dibagi. Satu stasiun lagi. Masih ada mimpi yang belum terucapkan.
Satu stasiun lagi. Masih ada yang belum selesai dibicarakan,” saya masih
menyandarkan punggung saya di sandaran kursi. “Asu! Ini bentuk lagi dari konsekuensi kebahagiaan, ya?” ia tampak kecewa. “Karena stasiun bukan tujuan Anda.
Anda tidak punya tujuan. Jadi, turun di mana pun tidak akan ada bedanya. Atau..
atau.. saya punya ide cemerlang kelanjutan dari opsi yang satu ini. Di tengah
perjalanan, Anda bisa pamit ke toilet. Tapi, alih-alih kembali ke tempat duduk
semula di kereta, Anda malah lompat dari perbatasan antargerbong ketika kereta
sedang melaju cepat-cepatnya. Anda akan patah tulang dan luka-luka. Setidaknya,
sakitnya bukan karena kehilangan, tetapi karena hal lain. Anda akan disibukkan
untuk menyembuhkan luka-luka dashyat, meminggirkan kehilangan akibat selamat
tinggal yang diselamatkan. Kemudian, tidak saling menahu akan keberadaan
masing-masing yang malah bisa jadi makin menyiksa. Anda pun akan merasa jauh
lebih baik karena mengalami luka berat. Luka sesungguhnya, bukan biru lebam
yang mengujur di tubuh tanpa tahu sebabnya.” Matanya melekat menatap saya. Saya
hanya mengangkat alis mata.
Hujan semakin deras. “Sialan,
sepatu saya kebasahan, nih.” Ia beranjak dari kursinya hendak menyelamatkan
sepatunya. Berdiri menuju tempat ia menaruh sepatunya semula. “Sepatu saya
mana, ya?” Saya diam saja. Ia memindahkan sepatu saya yang sudah kebasahan kena
tampias hujan. “Wah, sepatu baru saya kena hujan, ya?” saya mulai panik. Saya melihatnya
dari lebih dekat, sedangkan ia mencari-cari sepatunya. “Anda menyembunyikan
sepatu saya, ya?” Saya masih membolak-balik sepatu saya, melihat kebasahan yang
melandanya. Akhirnya, ia menemukan sepatunya di balik pot. “Oh, Anda maksudnya baik, ya? Mau menyelamatkan sepatu saya dari kehujanan?” ia terbahak.
Terkeras seharian itu. Saya manyun. “Saya kira Anda mau menyembunyikan sepatu
saya, ternyata hanya berbuat baik,” sambil terus terbahak. Saya semakin manyun
sambil menahan tawa. Kami memang punya banyak cara untuk tertawa.
Komentar
Posting Komentar