Mimpi di Jakarta

-->
Jakarta menyimpan segerombolan mimpi yang tersembunyi dalam kekhawatiran—kalau belum sampai ketakutan. Mimpi-mimpi itu seperti tidak pernah ditemukan kembali ketika sedang bermain petak umpet; entah karena penghitungan yang terlalu lama atau pemilihan tempat bersembunyi yang semakin piawai. Mimpi itu menakutkan, seperti merencanakan kekecewaan. Mimpi yang menjadi nyata diceritakan berulang kali tanpa pernah dialami, seperti mitos yang ditawarkan turun-temurun.

 Apakah mimpi perlu dikabulkan? Berita yang berceceran menunjukkan bahwa mimpi hanya untuk orang-orang yang bisa memilih, punya kelebihan hingga memunculkan kesempatan. Bagaimana dengan orang-orang yang bukannya tak sanggup bermimpi, tapi tak ada waktu untuk melakukannya? Setiap detiknya dihabiskan untuk berjibaku dengan strategi bertahan hidup: makan apa, tidur di mana, lupakan baju menguning yang tinggal tunggu waktu sobek, apalagi kesendirian yang sudah akut.

Beberapa tahun lalu, seseorang yang dibesarkan dengan idealisme yang mengikis habis kesempatannya mengatakan, “Butuh menjadi besar untuk melakukan perubahan.” Ia cukup muak dengan orang-orang yang bertahan dengan mimpi. “Mereka bermimpi, tetapi kamilah yang menyapu kesalahannya, kamilah yang menambal kebocoran di mana-mana akibat mimpinya.” Orangtuanya pindah ke Jakarta untuk menjahit mimpi, tetapi kalah oleh sistem kekuasaan. Maka itu, anak laki-laki itu kecewa dengan tanggung jawab yang terpaksa diembannya akibat orangtua dan kakaknya yang menghidupi mimpi hingga merasa layak untuk berontak ketika ditawarkan hidup dari mimpi. Sampai saat ini, ia belajar untuk memakamkan mimpi di Jakarta. Tidak pernah keluar karena di luar Jakarta hanya tempat pemimpi. Omong kosong, katanya.

Bukankah mimpi tidak perlu muluk-muluk? Ia menakisnya, konon, mimpi seperti candu. Tidak bisa sebentar, juga tidak mungkin dicicil; apalagi di Jakarta yang selalu menuntut kesempurnaan. Jakarta tidak bisa selalu dilihat dari puncak Monas. Ia perlu dilihat pada tengah malam. Lampu-lampu kota yang menguning redup di antara kegelapan. Enyahkan gedung-gedung tinggi. Ia perlu diikuti kisah yang masih disuarakan di warung kopi. Juga kata-kata di teras rumah.

Komentar