Kalah Mati di Medan Perang Sendiri
Kenapa diam saja?
Kenapa diam saja?
Kenapa diam saja?
Bisikan-bisikan
itu. Tanpa aba-aba. Seketika. Dan, lagi.
Lagi.
Lagi.
Belum
berhenti.
Perempuan
itu meringkuk di sofa. Ini adalah kali pertama ia merasa dilecehkan oleh
laki-laki itu, teman lamanya. Tindakan tanpa persetujuan. Kejadian yang membuat
dirinya merasa terhina. Ia tidak berani masuk ke dalam kamarnya sendiri setelah
pelukan dari belakang dan ciuman tanpa consent.
Bencana seakan menanti di sana. “Cepat
pagi. Cepat pagi. Cepat pagi,” ia merapal mantra. Sayang sekali, waktu
memang bukan penyembuh yang baik. Seharusnya, ia belajar dari pengalaman. Dan,
ia memilih melakukan hal yang sama: diam.
***
Avery
(1990) menulis, “We live in in a
conspiracy of silence.” Dan, itu adalah bagian dari petaka yang
berkelanjutan. Selain memang bisa menjadi strategi dalam beberapa kasus, diam
bisa jadi pembenaran atas hal-hal yang tidak berkenan. Pembungkaman atas
pengalaman subjektif. Pembiaran atas kekerasan, bahkan terhadap diri
sendiri.
Diam saja
kadang membuat gemas orang lain. Layaknya film thriller, penonton kadang merasa lebih tahu apa yang harus
dilakukan, “Kok nggak teriak? Kok nggak ditonjok aja?” Mungkin, penonton—termasuk saya—perlu mempertanyakan lagi untuk
mempertegas bahwa ada jauh lebih banyak kemungkinan selain diam saja. Bisa juga
penonton berasumsi bahwa tokoh di dalam tidak dibekali dengan informasi yang
cukup.
Masih
Avery (1990), “It’s not just about giving
information; people need something else.” Iya, tapi apa? Entahlah. Menyalahi
aturan penulisan fiksi yang tidak membolehkan penulis untuk tahu pikiran
mendalam tokoh—ketika penulis sebagai orang ketiga, kita bisa membuat kira-kira
saja. Apa yang setidaknya berseliweran di benak perempuan itu? Pertama, apakah itu merupakan sebuah
pelecehan? Ia menentang pengalaman subjektifnya. Ia masih berusaha mencocokkannya
dengan konsep pelecehan pada umumnya. Padahal, jelas sudah bahwa pelecehan
merupakan bentuk apa pun yang tidak disetujui oleh kedua belah pihak. Ini juga
mungkin terjadi karena ia melihat, membaca, mendengar bentuk pelecehan yang
jauh lebih kacau. Adakah kekacauan mempunyai tingkatan?
Terkait
dengan itu, masuk dalam kemungkinan kedua.
Membandingkan pengalamannya dengan
pengalaman perempuan lain. Banyak perempuan mengalami kekerasan seksual dan
pelecehan di ruang publik. Kalau masih perlu data yang lebih valid (apalah
makna data yang tidak berasal dari pengetahuan dominan, bukan?), ini bisa
dilihat dari laporan Komnas Perempuan setiap tahun. Itu masih kejadian-kejadian
yang terekam, tersalurkan, dan tercatat. Belum cerita-cerita di meja makan, di
tempat tidur pelatihan, di kamar hotel sebelum lokakarya. Belum cerita-cerita
melalui email, curi dengar di pasar atau kantor lurah. Padahal, seperti yang dipaparkan
oleh Mohanty (1991), perempuan dipandang sebagai satu entitas dengan opresi
yang sama. There is no us in feminism.
Setiap perempuan—manusia tepatnya—punya keterpurukan masing-masing.
Mendengar
langsung cerita-cerita pelecehan dan perkosaan malah membuat perempuan merasa
pengalaman—yang dialaminya sendiri—masih bisa dikompromi. Parahnya, oleh diri
sendiri. Adakah pelecehan yang masih bisa dikompromi? Apakah kompromi merupakan
hasil perbandingan atau karena pelecehan itu dilakukan oleh orang dekat?
Ketiga, kepercayaan. Perkenalan yang sudah lama dan
kadung akrab sama sekali bukan jaminan untuk menghindari pelecehan. Kepercayaan
pupus. Menyeramkannya, kepercayaan terhadap diri sendiri. Pertanyaan-pertanyaan
yang muncul dari diri sendiri dan untuk diri sendiri. Kenapa diam saja? Kenapa
bisa percaya dengan orang lain selain diri sendiri? Kenapa membiarkannya?
Apakah hal yang sama akan dirasakan jika dilakukan oleh orang lain? Layakkah kejahatan dibalas dengan kebencian?
***
Sejak
itu, banyak pesan tak berbalas. Puluhan telepon tak diangkat. Hanya sedikit
pesan yang dijawab, itu pun penuh dengan kedinginan. Sejak itu juga, perempuan
itu menanam keberanian, menyiraminya, hingga benih-benihnya bermunculan. Sepuluh
bulan kemudian. Perempuan itu mencabut satu dan membawanya ketika mengirimkan
pesan kepada laki-laki itu. Pertemuan.
Kenapa diam saja?
Kenapa diam saja?
Kenapa diam saja?
***
Satu
pesan masuk dari orang dekat saya. Tawaran berplesir dengan menggunakan mobil.
Perjalanan jauh. Berhari-hari. Berdua. Saya petik apa yang sudah saya tanam.
“Tidak. Saya takut. Saya takut kamu apa-apain
saya.” Dia menawarkan saya untuk mengajak beberapa teman. Saya pertimbangkan.
Satu pesan masuk lagi, “Kalau ramai-ramai, memangnya kamu tidak akan saya apa-apain?”
Yang saya
tanam mati. Kekuasaan menggerayangi.
Silakan
tanya saya “kenapa saya diam saja?” Silakan teriakkan kembali apa yang selalu
berulang sebelum tidur saya. Mohon tegaskan kembali kepengecutan saya. Ketika
orang-orang memilih pertarungannya, saya kepayahan untuk perang di arena
sendiri. Saya bertarung di arena orang. Berdiam di gubuk sendiri. Berteriak
lantang di padang orang.
Komentar
Posting Komentar