Postingan

Menampilkan postingan dengan label Ceracau

Pro-life atau pro-choice?

Gambar
Itu bukan pertanyaan macam truth or dare yang jadi seseruan kalau lagi kumpul bareng. Itu pertanyaan yang memerlukan tingkat keakraban tertentu untuk bisa ngobrol mengelupas nilai satu per satu. Mana ada sesuatu yang bebas nilai? Memang, pertanyaan tersebut identik dengan nilai seseorang terjadap aborsi. Umumnya, mereka yang mendukung aborsi disebut pro-choice . Mereka yang menolak disebut sebagai pro-life . Saya kenal dengan seseorang yang tiap kali dengar kata “ pro-life ” selalu nyeletuk, “ Pro-life tapi setuju hukuman mati?” Saya sudah mendengar pertanyaan dia yang sama persis di beberapa kesempatan: workshop berbau development , tongkrongan dengan bir di antaranya, dan kumpul-kumpul di taman belakang. Pertanyaan valid itu memang sering jadi argumentasi orang-orang yang mendukung aborsi. Mereka disebut atau—untuk memberikan agency—menyebut dirinya pro-life karena memandang fetus atau janin di dalam tubuh perempuan atau orang hamil (karena tidak hanya perempuan ya...

Teknologi Digital Meringkas Alur Akses Aborsi Aman

Gambar
Teknologi digital memungkinkan perempuan dan orang dengan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) untuk merenggut kembali otonomi terhadap tubuhnya sendiri. Keputusan terhadap tubuh perempuan—dan non-confirming gender —banyak ditentukan oleh hal di luar dirinya sendiri. Sumber informasi dibatasi. Pendidikan formal tentang kesehatan reproduksi di sekolah banyak memangkas hak dan kesehatan seksualitas dan cenderung menakut-nakuti alih-alih memberikan informasi utuh. Kebanyakan media memberitakan kejadian dengan sudut pandang moral dan nilai yang dominan sehingga memojokkan perempuan dengan pilihannya. Orangtua mengatur tubuh anaknya, seperti melakukan sunat perempuan atau menindik telinga anak perempuannya. Ditambah, hukum mengatur apa saja yang boleh dilakukan perempuan terhadap kesehatan seksualitas dan reproduksinya, seperti kapan kapan boleh mengakses kontrasepsi dan aborsi dan bagaimana caranya. Hukum itu juga membuat tenaga medis dan kesehatan memberikan layanan hanya sesuai...

Aborsi Medis: Mengembalikan Otonomi Tubuh kepada Empunya

Gambar
“Masuk, ayo, masuk.” Suara lantang suster membuat perempuan ini bersama 7 atau 11 perempuan lain masuk ke dalam ruangan. Ada kasur sejumlah perempuan yang masuk dengan sekat berupa kain. Dengan mengenakan gaun rumah sakit yang belakangnya hanya berupa tali-tali pengikat, mereka menuju kasur yang sudah disiapkan. Tanpa pendamping. “Buka celana dalamnya.” “Ayo, cepat.” “Tiduran di kasur.” Kelantangan suara itu mendampingi suster dan dokter yang masuk ruangan. Dokter menghampiri satu per satu kasur dan melakukan kuret. 35 tahun setelahnya, perempuan itu mendapat pertanyaan dari anak perempuannya, “Waktu itu, Ibu dikasih obat bius, nggak?” “Nggak tahu. Nggak inget. Ibu nggak mau inget-inget.” Namanya Yanthie. Saat itu, beliau berusia 32 tahun, tepatnya tahun 1984. Sudah punya 3 anak: 10 tahun, 9 tahun, dan 6 tahun. Ia melakukannya di klinik aborsi Jakarta, kota tempat tinggalnya. Datang ke klinik ditemani mertuanya tanpa ...

Amer Bersama Amal #1: Waktu di Belanda

Saya suka minum wine. Ini dimulai waktu saya sekolah di Belanda dulu. Wine di sana enak. “Semua hal yang dari Eropa itu enak,” kata teman saya. Itu bohong besar. Nggak semua hal—termasuk pemikiran—dari Eropa itu enak. Makanan, contohnya. Makanan mereka nggak ada rasanya. Buat saya, rasanya hambar. Roti dingin, daging dingin, dan keju dingin untuk makan siang. Beda dengan rendang atau gulai di rumah makan padang. Tapi, saya memang selalu makan di tempat-tempat yang sebisa mungkin tidak mengeluarkan uang, sih. Rumah dosen, tempat teman, dan masakan saya sendiri. Jadi, argumentasi saya juga payah. Bisa jadi, masakan dosen saya atau teman saya saja yang rasanya kurang enak. Kalau masakan saya, itu hampir pasti. Hampir pasti tidak enak. Mungkin memang ada makanan Eropa yang enak. Saya cuma nggak mampu beli saja. Atau, saya nggak diundang ke rumah dosen lain yang masakannya lebih enak. Atau, saya memang nggak punya teman lain yang masakannya enak. Mereka nggak masak,...

Argumentasi Aborsi: Senjata Makan Puan?

Gambar
Senjata adalah teman karib. Ia tidak mendadak akrab, hanya dimulai dari chemistry . Kadang, tanpa pengalaman yang sama. Ia perlu diasah terus-menerus. Bukan uji coba, melainkan demi semakin paham celah-celahnya. Bisa dijadikan andalan. Dan, siap dihubungi kala canda, juga kala genting. Kadang, siap dipertanyakan, tapi mencari tahu lagi dan lagi menjadi cara untuk paham. Salah satu teman karibnya adalah pengalaman perempuan. Ke mana pun perginya, teman karibnya selalu diajak. Kadang dibiarkan untuk memperkenalkan diri sendiri, kadang dikenalkan dengan lantang. Seringnya, namanya tidak disebut alih-alih privasi. Salah satu senjatanya adalah argumentasi. Hukum di Indonesia seakan-akan membolehkan aborsi. Padahal, aksesnya begitu susah. Untuk kasus perkosaan, mereka harus pakai surat dari polisi, dokter. Tidak lupa menyebutkan, polisi atau dokter akan mempertanyakan kejadiannya yang rentan seksis. Dan, mereka cuma dikasih waktu 40 hari. Padahal, butuh waktu unt...