Manusia Gunung


“To know love we have to tell the truth to ourselves and to others. Creating a false self to mask fears and insecurities has become so common that many of us forget who we are and what we feel underneath the pretense.” – Bell Hooks dalam All About Love (hlm. 48)

Kenalkan, dia adalah Manusia Gunung. Bukan, hobinya bukan naik gunung. Bahkan, katanya, ia tidak mengakrabi gunung. Pertemuan pertama kami juga bukan di gunung. Hanya di lembah. Tanpa sengaja. Tanpa rencana. Dan, saya menghampirinya tanpa api.

Tapi, saya kebakaran sendiri setelah membaca tulisannya. Dalam tulisan keduanya yang saya baca, dia (Jaluardi, 2017) menulis begini, “Komunisme yang telah lama diluluhlantakkan—kini jadi dongeng di belahan dunia mana pun—masih menghantui negara rupanya. Padahal[,] dulunya mereka juga yang memburu habis ideologi itu, partai dan orang-orang yang diseret-seret terlibat jadi hitungan statistik belaka.” Saya keluluhan dengan alur dan kata-kata yang mengalir. Alur yang ditawarkan membuat saya mengumpat dalam hati. Brengsek. Ia bisa mengawali dengan keresahan nasional untuk kemudian dihanyutkan dalam paparan album Melancholic Bitch. Lebih brengseknya lagi, tulisan itu ditutup dengan, ““Desember diusahakan pulang lagi ya, [L]e…,” pinta Bapak.” Ia mengembalikan tulisan pada pemikiran reflektif untuk kembali mengingat rumah.

Kala itu, saya menolak untuk langsung terbakar. Saya padamkan lagi apinya. Enggan untuk mempotensikan diri menjadi kesakitan. Sayangnya—atau mungkin untuk saat ini lebih tepat “untungnya”—saya tidak bisa memadamkan senyum-senyum sepulang dari pertemuan yang diakhiri nyaris adzan subuh. Sepertinya, tidak ada detik jarum jam yang mengingatkan kami untuk pulang. Tidak ada pesan-pesan dalam ponsel kami yang terlalu mengganggu obrolan untuk berhenti. Dan, saya membiarkan diri saya terbakar.

Manusia Gunung hadir dalam kehampaannya. Hampa yang—terasa—meresahkannya, tetapi mencoba berdamai. Setidaknya, pada dirinya sendiri. “Senyap di luar, namun riuh di dalam.” (Jaluardi, 2015) Saya merasa ada kesamaan. Ada resah yang perlu dirawat. Ada gelisah yang perlu didaulat. Selanjutnya, kami banyak berbagi belingsat. Tanpa siasat. Dan, kami terus membicarakan kekhawatiran yang bersemayam diam-diam. Saya jadi teringat tulisan Bell Hooks, “Our fear may not go away, but it will not stand in the way,” (hlm. 101).

Suatu pagi, saya pernah menanyakan siasat jika kekhawatiran kami menyata. “Diupayakan,” demikian jawaban Manusia Gunung. Bukan janji yang mengawang, bukan tenang yang menyayang. Seadanya. Dan, saya pun semakin terbakar. Brengsek.

Keresahan kemudian bukan menjadi milik saya seorang dan bukan miliknya pula—mungkin.
Kami mulai mencari perasat. Kekhawatiran juga tidak hilang, ia hanya berubah wujudnya. Kami semakin bersiasat. Pun jika nanti itu menjelma, saya mau mengingat Manusia Gunung sebagai sosok yang bisa menumbuhkan percaya. Mungkin terlalu cepat—tapi apakah waktu?—tapi saya teringat bagaimana Sartre begitu menaruh percaya kepada Simone de Beauvoir. 
“I had one special reader and that was you. When you said to me, “I agree; it’s all right,” then it was all right. I published the book and I didn’t give a damn for the critics. You did me a great service. You gave me a confidence in myself that I shouldn’t have had alone.” – Sartre kepada de Beauvoir dalam Adieux: a farewell to Sartre (1984, hlm.168)
Percaya ditaruh kepada pasangannya terhadap tulisan—sesuatu yang begitu berharga bagi Sartre. Percaya menjadi ujud dari perasaannya. Mungkin juga sebaliknya.  

Kenalkan, dia adalah Manusia Gunung. Kadang, ia masih sibuk dalam diamnya. Pun, tetap ada. Hadir. Toh, setiap orang memang tetap perlu mempunyai ruang kosong yang hanya milik dirinya sendiri. Kenalkan, dia adalah Manusia Gunung yang selalu ada, pun sedang tidak bersama.

Bacaan
de Beauvoir, Simone. 1984. Adieux: a farewell to Sartre. New York: Pantheon.
Hooks, Bell. 2001. All About Love. New York: Harper Perennial.
Jaluardi, Herlambang. 2016. “Numb#1” diambil dari www.terbengongbengong.wordpress.com yang diakses pada 14 Februari 2018.
Ibid. 2017. “Propaganda Usang, tapi Tak Hilang” diambil dari www.terbengongbengong.wordpress.com yang diakses pada 14 Februari 2018.


Komentar