Dunia Pembangunan bagi Orang yang Tidak Lihai Bicara
Perempuan berambut kecokelatan ini perlu makan waktu lebih
dari 20 jam untuk sampai di Jakarta. Jauh-jauh terbang dari New York, ia datang
di ruang rapat berukuran kurang lebih empat kali enam meter untuk menjelaskan
penelitian yang sedang diusungnya. Selepas penjelasannya, orang-orang pilihan
yang ada di dalam ruang itu menimpalinya dengan masukan dan komentar. Saat itu
lah, ia berbisik kepada saya, “Speak up.”
Dunia pembangunan ini mungkin memang bukan tempat nyaman
bagi orang-orang yang tidak punya kelihaian berbicara.
Di aksi Kamisan, orang-orang bergantian memegang mic atau toa. Di Bundaran HI,
orang-orang naik ke atas mobil atau panggung. Di depan Gedung KPK atau Gedung
DPR, mereka berteriak lantang. Mereka menyuarakan keadlian dengan urat di
lehernya yang mengeras. Saya beberapa kali hanya memegang poster atau
membagikan selebaran kepada orang yang berlalu-lalang. Lebih sering, saya hanya
hadir. Ada.
Suatu kali, di salah satu aksi, orang-orang setengah dipaksa
untuk bersuara. “Ngomong apa aja.
Ngomong keresahan lo aja!” Tawaran
itu sudah sampai pada orang di sebelah saya. Saya melipir pelan-pelan, memesan motor
untuk mengantarkan saya menjauh dari tempat itu.
Di konferensi, banyak orang mengajukan pertanyaan sekaligus “mencuri
waktu” menjelaskan apa saja yang sudah ia lakukan demi kebaikan, ceunah. Caranya sudah saya formulasikan:
sebut nama, organisasi, “waktu saya melakukan…”, “waktu saya bekerja bersama…”,
“waktu saya pergi ke…”, kemudian diakhiri dengan pertanyaan relevan nan
penting. Kadang, tidak relevan, tapi penting. Kadang lagi, tidak ada relevansi dengan
tema panel dan tidak penting. Namun, setidak-penting-tidak-pentingnya, ia
berhasil menyebutkan kontribusinya di bidang kemanusiaan. Saya pulang dengan
membawa catatan lengkap berisi omongan-omongan orang di panel itu. Setidaknya,
saya hadir. Ada.
Oh, ini mungkin persoalan bahasa. Bahasa Inggris menjadi
semacam bahasa keharusan untuk orang bisa berkiprah lebih luwes di dunia
pembangunan. Lihat saja buku-buku yang tersedia, juga jurnal-jurnal di dalam
jaringan, apalagi obrolan-obrolan dengan orang-orang yang dianggap sebagai
panutan pembangunan. Ketidakpiawaian berbahasa Inggris bisa membuat orang berpikir
ulang untuk mengutarakan pendapatnya.
Sayangnya, argumentasi soal bahasa langsung kandas ketika
dalam konferensi berbahasa Indonesia pun, saya sanggup bertahan tanpa
pertanyaan dan komentar apa pun yang diucapkan.
Di lokakarya, orang-orang bertukar kartu nama dan berbicara
panjang-lebar. Orang-orang dengan frekuensi bicara yang lebih banyak cenderung
diingat oleh orang lain. Entah apa yang diingat, tetapi biasanya membekas. Selain
itu, mereka juga menunjukkan siapa saja yang mereka tahu, tanpa kenal, “Mohanty
pernah menulis…”, “Sarah Mahmood juga bilang begitu…”.
Mereka memberikan nama-nama yang bisa dicari tahu lebih jauh
oleh peserta lokakarya lain, hanya jika mau. Saya hanya bisa membolak-balik
catatan saya sebelunya ketika membaca tulisan nama-nama yang disebutkan.
Biasanya, saya menjadi ragu atas pemahaman saya atas bacaan-bacaan itu. Apakah
saya kurang paham sampai tidak bisa mengungkapkannya? Selebihnya, saya hanya
hadir. Ada.
Dunia pembangunan, bagi saya, merupakan dunia yang penuh dengan
cerita ketidakadilan. Keadilan bisa disuarakan oleh orang-orang yang terampas
haknya. Namun, orang-orang itu juga punya keterbatasan.
Waktu, misalnya. Mereka cenderung menggunakan waktunya untuk
bertahan hidup alih-alih bersuara lantang di depan gedung wakilnya. Ada
keluarga dan urusan domestika yang tetap perlu dipertimbangkan prioritasnya
daripada urusan publik yang hampir bikin putus asa.
Energi, misalnya. Mereka lebih memilih energi untuk menjaga
kesehatan mental dan keberlangsungan hidupnya alih-alih menceritakan berulang
kali trauma kekerasannya.
Informasi, misalnya. Sistem edukasi dan arus informasi di
negara ini membuat mereka teralienasikan dari informasi yang sebenarnya menjadi
hak mereka demi kehidupan yang lebih berkualitas.
Jarak, misalnya. Roda ekonomi ini semakin membuat
orang-orang ini semakin terpinggir. Hanya orang-orang yang berakses baik
memusat di suatu tempat. Sebut saja, Jakarta.
Keadilan juga bisa dilakukan oleh mereka yang menyediakan
waktu dan energi atas nama keadilan itu sendiri dan terbungkus solidaritas.
Mereka bersuara. Pertikaian soal seberapa pantas siapa menyuarakan aspirasi
siapa, itu persoalan lain.
Mungkin, dunia pembangunan bukan untuk orang-orang yang
tidak lihai berbicara. Dia tidak memberikan kontribusi apa-apa. Tidak juga pemikiran.
Oh, mungkin ada kontribusi dalam bentuk berbeda bagi
orang-orang tersebut. Sudah ada artikel yang coba menawarkan bentuk
lain. Tulisan, misalnya.
Sayang, saya tidak menulis apa-apa.
Saya tidak hadir. Tidak ada.
Komentar
Posting Komentar