Benalu Publik

Apa keberhasilan Anda selama seminggu terakhir?

Pertanyaan tersebut sering saya tanyakan dalam pelatihan, lokakarya, atau bentuk forum lainnya. Sering kali, kita* mengalami kesulitan menjawab itu. Kita malah cenderung lebih mudah menjawab pertanyaan, “Apa masalah yang Anda hadapi selama dua hari ke belakang?”

Kita menganggap keberhasilan sebagai suatu hal yang begitu besar. Prestasi. Penuh perjuangan. Keseharian kita tidak dianggap sebagai bentuk keberhasilan-keberhasilan kecil yang mengajak kita menuju sesuatu yang lebih besar. Lagipula, apa pula yang membuat besar terasa lebih adekuat?

Kita menganggap keberhasilan memberikan pengaruh terhadap banyak orang. Kesibukan setiap hari dianggap miskin pengaruh. Apakah memberikan ASI setiap hari tidak memberikan pengaruh terhadap anaknya? Apakah berkata dan bertindak jujur setiap hari tidak memberikan pengaruh terhadap orang-orang yang kita temui?

Mengaku-aku keberhasilan merupakan bentuk dari kepongahan. Dan, kita diajarkan di sekolah dan di rumah untuk menjadi rendah hati. “Jangan sombong. Tetap rendah hati,“ begitu pesan ibu atau bapak.

Kita begitu khawatir mengakui keberhasilan karena takut merasa puas dengan keadaan sekarang dan tidak ada keinginan untuk mengembangkan diri lagi. Wong, begini saja sudah cukup, lantas buat apa melakukan lebih?

Apakah selalu demikian? Menurut saya tidak. Justru, semua anggapan itu begitu berisiko terhadap mutu kehidupannya sebagai manusia.

Mengakui keberhasilan bukan serta-merta menjadikan kita menjadi jemawa. Malah, mengakui keberhasilan merupakan salah satu tanda bahwa kita melihat kembali apa-apa saja yang telah dilakukan dalam hidupnya. Orientasinya bukan pada masalah, melainkan keberhasilan-keberhasilan kecil. Bisa jadi, ia malah tertantang untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Memang, memang, tidak semua orang begitu.

“Saya tidak menggunakan sedotan plastik hari ini.”
“Saya tidak membeli barang yang tidak saya perlukan, meskipun saya menginginkannya.”
“Saya mengirim pesan kepada ibu saya untuk menanyakan kabarnya.”
“Saya membaca beberapa artikel tentang isu yang saya tekuni.”

Keputusan-keputusan tersebut tidak dinilai sebagai keberhasilan karena seakan hanya aktivitas sehari-hari. Tidak ada perjuangan yang signifikan dibandingkan orang-orang yang susah payah bertahan hidup. Apakah kita selalu menilai kehidupan kita dari kacamata orang lain?

Menurut saya, bukan keberhasilan yang menakutkan bagi kita, melainkan alasan di belakangnya.

Ketiadaan keinginan untuk berkembang.




Ini bisa menjalar ke mana-mana.

Egocentric.
Alih-alih rendah hati, kita menganggap tidak memberikan pengaruh apa-apa. Kita merasa keputusan—yang dianggap—kecil tidak akan mengubah sistem yang sudah semrawut. “Kalau saya membuang sampah kertas sembarangan, itu tidak akan berpengaruh terhadap lingkungan. ‘Kan cuma satu orang.” Kita tidak merasa hidup sebagai bagian dari publik. Padahal, bukankah cukup jelas bahwa perilaku satu orang berpengaruh terhadap orang lain ataupun lingkungannya? Apakah kita harus mengubah orang lain ketika melakukan sesuatu? Bukankah perubahan dimulai selalu dalam diri kita sendiri? Ya, ya, ya, ini seperti kutipan-kutipan dalam Instagram.

Tidak profesional.
Karlina Supelli pada 2013 bilang bahwa profesi merupakan bentuk janji publik. “Seseorang disebut profesional bukan terutama dia pakar di bidangnya, melainkan karena dengan kepakarannya, dia menjalankan tugas dan pada saat bersamaan dia menjadikan keahliannya sebagai sumbangan hidup bersama.” (hlm. 91)

Saya sadar, kita bisa merasa sudah melakukan sumbangan yang berdampak ketika ada respons dari orang lain.
Apakah Anda selalu memberi tahu orang lain yang omongannya Anda kutip? Apakah Anda selalu mengirimkan surat kepada orang-orang yang ternyata memberikan inspirasi atau setidaknya penggugah pikiran Anda?
Tanggapan sering kali dilakukan diam-diam. Tanpa kita tahu.
Apakah kita melakukan sesuatu untuk melulu dianggap oleh orang lain dan bukan karena kita sendiri?
Saya tidak menampik kebutuhan untuk pengakuan eksistensi di hadapan orang lain. Hanya saja, itu tidak perlu menjadi selalu atau melulu.

Mandek.
Otak kita berada dalam status pause. Berhenti.
Pikiran kita tidak awas akan informasi yang kita terima untuk bisa digunakan sebagai bahan bakar aktivitas. Motif kita untuk melakukan sesuatu hanya berdasarkan target semata, impian karier. Kita terlalu takut untuk melakukan kesalahan karena kita tahu akan dinilai. Dan, biasanya oleh perusahaan. Atau, sayangnya, juga oleh organisasi—yang katanya beralaskan—kemanusiaan.
Otak kita tidak ada dalam keadaan haus akan pengetahuan dan berpikir kritis. Biasanya, kita bisa merasakan ini ketika memang dalam proses belajar. Ada keinginan untuk mengembangkan diri. Coba tonton video TedEx yang bicara soal ini.

Itu semua bukan berasal dari pengakuan terhadap keberhasilan. Tapi, hal-hal yang melandasinya. Bahkan ketika begitu rendah diri, ketiga hal itu justru bisa mendasarinya pula.

Kita ini merupakan bagian dari publik. Silakan tentukan sendiri publik yang mana. Publik juga bukan satu entitas seragam.

Keputusan hidup kita bisa saling berkelindan dengan kehidupan orang lain.

Contoh dari luar Indonesia. Perempuan di Irlandia bisa lebih mudah untuk mendapatkan akses aborsi aman karena advokasi yang dilakukan orang-orang yang peduli. Keputusan mereka untuk meluangkan waktu dan energi bisa berpengaruh terhadap kehidupan perempuan lain yang memang perlu akses aborsi aman, misalnya.

Keputusan orang untuk melakukan bom bunuh diri bisa berakibat pada kehidupan orang lain. Mereka membatalkan ibadah demi alasan keamanan. Bukan hanya di kota itu. Teman saya memutuskan untuk tidak beranjak dari rumah karena rasa takut yang mencekam. Sangat masuk akal.

Ketika kita merasa tidak menjadi bagian dari publik yang bisa memberikan pengaruh, mungkin perlu lihat daftar kemewahan yang kita kantungi. Mengeyam pendidikan formal? Mempunyai uang yang cukup—mungkin sebagian lebih besar? Menjalani pekerjaan yang akan diberi bayaran? Masih punya waktu luang yang cukup banyak? Merasa tidak punya isu dengan kesehatan mental? Masih punya safety net yang akan menampung kita ketika kesusahan?

Kemewahan adalah bentuk kekuasaan atau kekuatan. Kita perlu sadar akan hal itu dan membagi kekuasaan itu. Jika kita tidak membaginya, kita akan menjadi penguasa yang tidak dermawan.

Kita perlu memanfaatkan kekuasaan dengan melakukan sesuatu yang kita bisa sebagai bentuk tanggung jawab sebagai publik dalam kehidupan sehari-hari. Foucault menunjukkan hubungan antara kekuasaan-pengetahuan (teori dan praktik)-diri. Ketiganya berkelindan. Pun tidak akan keluar dari kekuasaan dominan, tetapi dengan mengetahui bagaimana kekuasaan bekerja dan menggunakannya untuk mengambil keputusan, di situ lah letak kebebasan kita sebagai manusia. Foucault mengatakan bahwa ini bukan perkara mencari kebenaran absolut, melainkan melerai kekuasaan kebenaran dari bentuk yang hegemoni, sosial, ekonomi, dan kebudayaan yang berlaku. Untuk melakukannya, kita bisa, setidaknya, berbuat sesuatu sebagai bentuk sumbangan kepada publik.

Lerailah kekuasaan dominan itu.

Kalau pengetahuan Anda terkait dengan tulis-menulis, menulislah. Itu dibaca atau tidak, urusan lain. Kalau belum ada yang membacanya, artinya Anda perlu mengembangkan diri lagi. Pengetahuan dan keterampilan Anda. Tulis lagi. Tulis lagi. Tulis lagi.

Saya jadi teringat satu adegan dalam film The Young Karl Marx. Seseorang mengatakan bahwa ia sudah membaca artikel yang disebutkan Marx. Di situ, Marx dengan penuh kesatiran bilang, “Anda sudah baca? Kenapa tidak menulisnya?” Nah!

Alasan ketiadaan waktu hanyalah omong kosong. Kita harus memaksakan waktu.

Karlina Supelli (hlm.  92) juga bilang, “ciri kematangan seseorang adalah ketika dia sanggup melaksanakan suatu pekerjaan bukan karena dia suka, melainkan karena dia berkomitmen.”

Komitmen bukan hanya di atas kontrak kerja, apalagi surat nikah.

Apakah kita perlu abai dengan omongan seperti ini?
“Saya tidak perlu peduli karena saya tidak pernah merasakan itu. Hak asasi manusia hanya untuk mereka yang membutuhkan. Apalagi feminisme.”

Itu adalah tanda-tanda orang yang ngomong sedang melatih kekuasaan dan kekuatan dengan cara yang berbeda dengan yang saya tuliskan di atas. Bersantai-santai dengan kemewahan yang dimilikinya. Orang lain? Sekarep-nya.

Practicing power.

Kekuasaan bisa menjadikan Anda makhluk keji.
Berdarah dingin.
Melakukan kekerasan tanpa tangan yang penuh darah.
Tanpa senjata.
Melainkan diam-diam menjadi benalu yang mematikan tanaman tumpangannya.



Bacaan lebih lanjut:
Supelli, Karlina. (2013). “Kebudayaan dan Kegagapan Kita” dalam Imajinasi Kebudayaan: Kompilasi Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta 1998—2013. Penyunting: Mirwan Anda dan Martin Suyajaya. Jakarta: Perhimpunan Koalisi Seni Indonesia.**
Foucault, Michel. (1980) Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings (1972—1977). Editor: Colin Gordon. New York: Pantheon Books.

Tontonan lebih lanjut:
Eric Liu. “How to Understand Power” bisa diakses melalui https://www.youtube.com/watch?v=c_Eutci7ack


*Saya menggunakan “kita” karena saya menjadi bagian dari orang-orang yang saya kritik. Anda saya libatkan karena Anda mungkin juga merasakannya; belum tentu.
** Saya juga menemukan Pidato Kebudayaan Karlina Supelli ini yang diunggah oleh salah satu akun Facebook. Saya belum berani untuk menyertakannya di sini karena belum meminta izinnya. Artinya, Anda bisa mendapatkannya dengan mudah kalau mau mencari tahu lebih lanjut.
-->

Komentar