Gagal Cerai
“Aku gagal cerai.”
“Lagi?”
“Lagi!”
Ini sudah ketiga kalinya ia ingin menceraikan suaminya. Dan,
gagal.
Kejadian ketiga ini terjadi dua hari lalu. Gara-garanya suaminya
menolak ajakan buka puasa bersama keluarganya.
Keluarga perempuan—yang berambut bondol dan sering dijumpai
mengenakan rok lebar selutut—merencanakan tradisi buka puasa bersama di
restoran-makan-sedikit-atau-banyak-bayar-sama-mahal.
Pengunjung harus datang ke rak penuh daging. Mereka perlu memilih
beberapa tampan daging pilihan untuk dibakar sendiri di mejanya. Menu lainnya
terbatas: kentang, nasi, dan lalapan—kata orang Sunda. Restoran favorit
keluarga Si Istri. “Bisa makan daging impor secara berlebihan dengan bayaran
setimpal.” Begitulah alasan yang selalu dielu-elukan.
“Ini ‘kan cuma setahun sekali. Kapan lagi kita bisa kumpul
bareng keluargaku?”
“Minggu depan pas lebaran.”
“Kamu bukan cuma menikah sama aku, tapi juga sama keluarga
aku. Kamu harus jadiin ini prioritas kamu juga, dong. Kalau kita beda
prioritas, gimana bisa jalanin pernikahan? Kalau nggak mau ikut, kita cerai
aja.”
“Bukan nggak menghargai keluargamu, tapi kalau aku ikut,
udah bayar mahal, aku nggak bisa makan apa-apa.”
Si Suami vegetarian. Seumur hidupnya.
Keluarga Si Istri membela suami dan membantu kasih penjelasan
kepada istri untuk meredakan amarah.
Mereka bahkan rela pindah tempat makan buka puasa bersama tahun
depan. Rencananya, mereka mau makan di restoran steak baru. “Di situ, sayurnya
ditumis, kok. Nanti Si Mas bisa makan sayur yang bukan lalapan doang.”
Ia urungkan niatnya.
*
Kejadian kedua sudah lumayan lama, setahun lalu, waktu
mereka baru menikah tiga bulan. Gara-garanya ia diminta membuatkan empat gelas minuman
untuk teman-teman suaminya yang sedang datang berkunjung ke rumah kontrakan
mereka. Cara Si Istri membuat minuman salah.
Cara bikin minumannya tidak terlalu sulit. Panaskan air.
Gunting kopi sachet. Tuang dalam
gelas. Tunggu air mendidih. Tuang air mendidih ke dalam gelas tadi. Aduk.
Si Istri mengaduknya dengan sachet bekas. Ia gulung-gulung kecil, memasukkannya dalam gelas
sambil diputar-putar. Si Suami—yang berambut perpaduan kelimis dengan skinhead dan suka pakai kemeja flannel—memergokinya.
“Ih, kamu jorok banget. Pake sendok,
dong.”
Si Suami mengambil sendok. Mengaduk gelas pertama. Menyendok
sedikit kopi di dalam gelas itu, menyeruputnya untuk icip-icip. Memasukkannya ke
dalam gelas kedua, aduk-aduk, icip-icip. Memasukkannya dalam gelas ketiga,
aduk-aduk, icip. Memasukkannya dalam gelas keempat, aduk, icip, aduk, icip.
Dengan sendok yang sama.
Si Suami keluar dapur sambil menggerutu, “Nyuci sendok satu aja males banget. Untuk tamu juga.”
Tamu pulang, pecah perang.
“Kamu marah-marah ke aku karena aku jorok. Padahal, kamu
lebih jorok. Kalau kamu cuma bisa marah-marah ke aku karena hal yang kamu
lakukan juga, kamu terlalu egois untuk punya rumah tangga sama aku. Aku mau cerai.”
Esoknya, Si Istri berurai air mata mencurahkan perasaan kepada
teman-teman arisan bukunya. “Lebay!”
Semua teman di meja kedai kopi-yang-segelasnya-setara-dengan-empat-mangga-gedong
bilang ia terlalu kekanak-kanakan untuk mempersoalkan itu di meja hijau.
“Nanti, kalau ditanya hakim kenapa mau cerai, lo mau bilang apa? “Suami saya jorok,
Yang Mulia.” Hahahaha.”
Ia urungkan niatnya.
*
Kisah awalnya terjadi pada malam pertamanya.
Sebelumnya, Si Istri bangun jam 02.00. Dandan. Ijab kabul jam
07.00. Makan pagi menjelang siang. Urus oleh-oleh untuk pengunjung pesta
malamnya. Dandan. Pakai Baju. Resepsi jam 19.00. Selesai jam 10.00. Macet.
Sampai rumah jam 12.00 malam.
Si Suami mengajak mendulang hasrat. Si Istri enggan. Capek.
“Kalau sayang, masa suaminya nggak dikasih?
Nanti dosa, lho.
Nanti aku cari yang lain, lho."
Si Suami menindih Si Istri. Penisnya sudah keras. Si Istri
terbujur lunglai. Kesakitan.
“Aku ingin cerai,” dalam hatinya.
-->
Komentar
Posting Komentar