Argumentasi Aborsi: Senjata Makan Puan?
Senjata adalah teman karib.
Ia tidak mendadak akrab, hanya dimulai dari chemistry. Kadang, tanpa pengalaman yang
sama. Ia perlu diasah terus-menerus. Bukan uji coba, melainkan demi semakin
paham celah-celahnya. Bisa dijadikan andalan. Dan, siap dihubungi kala canda,
juga kala genting. Kadang, siap dipertanyakan, tapi mencari tahu lagi dan lagi
menjadi cara untuk paham.
Salah satu teman karibnya adalah pengalaman perempuan.
Ke mana pun perginya, teman karibnya selalu diajak. Kadang dibiarkan
untuk memperkenalkan diri sendiri, kadang dikenalkan dengan lantang. Seringnya,
namanya tidak disebut alih-alih privasi.
Salah satu senjatanya adalah argumentasi.
Hukum di Indonesia seakan-akan membolehkan aborsi.
Padahal, aksesnya begitu susah. Untuk kasus perkosaan,
mereka harus pakai surat dari polisi, dokter. Tidak lupa menyebutkan, polisi atau
dokter akan mempertanyakan kejadiannya yang rentan seksis. Dan, mereka cuma
dikasih waktu 40 hari. Padahal, butuh waktu untuk tahu ada kehamilan. Apalagi, ada
perhitungan waktu trauma perkosaan yang bisa dilakukan oleh siapa pun: orang
tak dikenal, tetangganya, temannya, pacarnya, suaminya, bapak kandungnya.
Hukum aborsi yang sangat ketat tidak membuat kebutuhan aborsi
menurun.
Mereka malah bisa cari cara yang tidak aman untuk akses
aborsi.
Akar singkong.
Tongkat kayu.
Ujung gantungan baju.
Alat berkarat.
Semuanya masuk ke vagina perempuan.
Sistem di negara ini tidak membuat perempuan punya pilihan
lain. Perempuan hanya disisakan pilihan yang berisiko terhadap kesehatannya, kehidupannya,
bahkan nyawanya sendiri.
Padahal, aborsi aman itu ada. Sayangnya, aksesnya dibuat
jadi susah oleh negara, agama, sistem ekonomi, alur informasi, dan kebudayaan.
Neoliberalisme membawa negara membiarkan pemilik modal
seakan menguasai rahim perempuan. Perempuan terpaksa menandatangani kontrak
kerja dengan pemberitahuan lisan bahwa mereka tidak diperkenankan hamil selama
setahun kerja.
Perempuan dihadapi dengan persoalan bertahan hidup untuk
besok yang sudah terseret-seret atau aborsi. Kalau tidak melanjutkan kerja di
sini, dapat gaji dari mana? Bagaimana cara membayar utang kemarin? Bagaimana
cara membeli obat untuk bapak yang lagi sakit keras? Bagaimana cara bayar
sekolah anak? Ini bisa terjadi pada banyak perempuan. Menikah ataupun tidak.
Pernikahan menjadi tidak relevan untuk ditanyakan bagi
perempuan yang membutuhkan aborsi.
Salah satu simpulnya adalah pendidikan kesehatan reproduksi
dan seksualitas yang masih malu-malu kucing.
“Saya mengecek kehamilan dengan menggunakan urin yang dites
dengan pasta gigi dan gula. Meski sepertinya tidak ada tanda kehamilan karena
urin tidak berbusa, saya tetap merasa khawatir.”
Pesan melalui surat elektronik tersebut menunjukkan bahwa tes
kehamilan tidak mudah didapat. Perempuan merasa bisa menggunakan pasta gigi dan
gula untuk memastikan kehamilannya karena ia tidak mendapat informasi dengan
baik. Ia mungkin tidak punya uang yang cukup untuk bisa membelinya. Ia bisa
jadi harus berjalan jauh untuk ke tempat yang menjual atau memberikan tes
kehamilan. Ia juga bisa malu untuk membelinya; membayangkan tanggapan penjual
yang akan menatapnya sambil mengernyitkan dahi atau berbisik-bisik dengan
temannya. Bisa juga, ia membayangkan akan jadi buah bibir, “Tadi sore, anaknya Bu
RT membeli tes hamil.” Kikikan sudah terus berulang di kepalanya sebelum
berangkat membeli.
Bentolan bayangan semacam itu timbul dari gigitan stigma
masyarakat terhadap seksualitas yang tersimbolkan melalui kehamilan. Kalau
masyarakat mendapat akses terhadap pendidikan kesehatan reproduksi dan
seksualitas, stigma itu bisa jadi meleleh.
Alasan itu semua hanya sebagian teman karib yang diajak dan senjata
yang selalu dibawa.
Ia akan diperkenalkan ketika ada pertanyaan, “Kenapa kamu
mendukung orang yang melakukan aborsi?”
Juga, pernyataan-pernyataan yang tidak terbuka untuk
diskusi.
“Kamu melanggar hukum.”
“Kamu membahayakan perempuan.”
“Itu dosa.”
“Itu membunuh.”
Pernyataan maupun pertanyaan semacam itu biasanya disebutkan
untuk memperluas nuansa asumsi terkait aborsi. Aborsi tidak melulu membahayakan
perempuan. Aborsi tidak melulu dilakukan oleh pasangan yang belum mau punya
anak.
Namun, apakah senjata yang digunakan untuk menarik empati si
empunya pertanyaan maupun pernyataan tadi bisa malah berbalik ke pelipis teman
karib?
Argumentasi yang diberikan cenderung memposisikan perempuan
pada posisi rapuh. Pada saat yang sama, argumentasi itu juga meniadakan
pengalaman perempuan yang cenderung punya previlese, yaitu memang memilih
dengan sadar untuk mengatur waktu kehamilannya. Kalau perempuan yang belum
menikah memang mau melakukan aborsi, ia juga punya kelayakan dan kepantasan
yang sama dengan perempuan lain yang dalam situasi rentan. Pendekatan macam ini
juga disetujui oleh Lisa A. Martin (2017) sebagai pendekatan yang hanya menekankan
kembali tentang aborsi mana yang layak dan perempuan mana yang pantas untuk
meraih simpati.
Jadi, apakah artinya argumentasi tersebut justru melegitimasi
pemikiran pendukung halus (soft
supporters)? Mereka seolah-olah hanya membolehkan aborsi untuk orang
tertentu dan untuk alasan tertentu yang mereka tentukan sendiri; bukan
perempuan hamil bersangkutan yang menentukannya.
Senjata makan puan?
Padahal, berbicara tentang hak perempuan wajib menyertakan keragaman
pengalaman. Inklusif. Intersectional.
Jika mau beragumentasi dengan melibatkan beragam pengalaman perempuan,
argumentasi perlu ditarik pada “hak perempuan”. Dan, hak perempuan tidak bisa bergerak
sendiri. Ia bertopang pada hak-hak dasar lainnya, seperti hak kesehatan seksual
dan reproduksi, hak atas informasi, hak ekonomi, hak sosial, hak berbudaya, dan
hak berkeyakinan. Jika salah satu haknya belum terpenuhi, perempuan tidak bisa
secara utuh menikmati haknya sebagai perempuan.
Perjuangan melawan kekerasan berkorelasi dekat dengan
perjuangan keadilan sosial yang terjadi secara sistematis.
Sayangnya, pernyataan macam itu tidak meluluhkan simpati kelompok
anti-aborsi. Padahal, simpati dibutuhkan. Simpati kadang menggeret pilihan
politik mereka.
Meskipun demikian, pernyataan macam itu bisa membantu
perempuan untuk memahami dirinya sendiri. Di tengah terpaan konstruksi sosial
yang hanya mengizinkan perempuan begini dan begitu, kita sebagai perempuan
perlu sadar bahwa keputusan kita bukanlah keputusan akibat kegagalan individu. Keputusan
atas pilihan itu merupakan dampak dari hidup dalam masyarakat seksis (Sarah
Buttenweiser dan Reva Levine, 1990).*
Merlene Gerber Fried (1990) pernah menuliskan pendekatan
yang menyortir beberapa alasan bisa berbahaya. Katanya, kita sering kali menggunakan
strategi yang mempertaruhkan aspek dasar hak aborsi, yaitu hak fundamental
perempuan untuk memutuskan kapan dan demi alasan apa saja. Pun, ia juga mempertanyakan
bahwa strategi itu mendasar pada ketakutan untuk kehilangan pada semua akses,
maka menggunakan pendekatan yang setidaknya tetap berterima bagi banyak orang.
Namun, teman karib juga punya peran masing-masing. Ada teman
untuk menonton film, ada teman yang asyik diajak diskusi, ada teman yang bisa
diandalkan untuk membantu ketika ban mobil bocor jam 2 pagi di jalan tol.
Senjata juga memilih medan perang masing-masing. Ia akan
keluar dengan menyesuaikan senjata lawan.
Kesadaran untuk terus mempertanyakan teman karib atau
senjata boleh dipertanyakan. Kita jadi tidak cinta buta hanya karena terbiasa.
Bacaan lanjutan:
· Lisa A. Martin, PhD, Jane A. Hassinger, MSW, Micehelle
Debbink, MD, PhD, dan Lisa H. Harris, Phd. (2017) “Dangertalk:
Voices of Abortion Providers” dalam Social
Sciende & Medicine.
· Marlene Gerber Fried (1990) “Transforming the
Reproductive Rights Movement” The Post-Webster Agenda” in From Abortion to Reproductive Freedom.
· Sarah Buttenweiser dan Reva Levine (1990) “Breaking Silence:
A Post-Abortion Support Model” dalam From
Abortion to Reproductive Freedom.
*Ini mengingatkan diskusi antara Foucalt dan
Chomsky.
Komentar
Posting Komentar