Sisir Tanah, Karya, dan Kipas

 
Kiri…. Kanan…
Kiri…. Kanan…
Kiri…. Kanan…
Begitu saja kerjaku seharian ini. Semestinya bukan pakai saja; ini tugas berat. Antibosan. Antipegal. Konsistensi.

Demi menunda keringat mereka.
Demi memutar asap rokok yang mereka kepul.
Demi mengibas rambut mereka di panggung.

“Tolong matiin kipasnya. Dingin.” Seorang laki-laki melontarkan kejujuran yang ditangkap sebagai lelucon. Di tengah lagu yang sedang ia nyanyikan.

Ya ampun, Mas. Suwun, Mas. Jasamu besar, Mas. Mas siapa tadi? Maklum, aku tidak bisa melakukan dua hal dalam satu waktu yang sama. Aku tak bisa memperhatikan apa-apa yang terjadi ketika ngiri-nganan-ngiri-nganan-ngiri.

Tuntas sudah tugasku, sekarang aku bisa melihat sekeliling. Bukan. Bukan sekeliling. Melihat lurus ke depan.

Mas Danto, namanya. Sisir Tanah, sebutannya. Dia penyelamatku malam ini. 

Foto: Dokumentasi Jaluardi (2017)

Dia tidak melantunkan kebisingan, melainkan kelirihan. Suara gitarnya pelan. Suaranya ikut-ikutan. Apalagi, dia mengambil jarak dari mik. Lembutnya suara seolah meminta orang untuk mendekat, menyenyap, mencermat.

Kehangatan bisa membuat jadi dekat. Juga sebaliknya. Kehangatan Sisir Tanah bisa membuat orang merasa lebih dekat, padahal mungkin kenal juga tidak. Bikin intim. Juga sebaliknya. Orang-orang mendekat supaya bisa lebih mendengar, malah jadi semakin “hangat”.

Sisir Tanah memanggil “Mbak dari Tangerang”. Perempuan berambut pendek itu maju. Sisir Tanah memintanya menemani nyanyi di panggung. Ketika Mbak dari Tangerang menyanyikan lirik lagunya, Mas Danto mundur. Mbak dari Tangerang mencari-cari pakai mata minta ditemani menyanyi. Mas Danto malah mojok. Membiarkan panggung menjadi milik Mbak dari Tangerang.

Ada mbak lain yang sebelumnya sudah nyanyi. Kalau tidak salah, namanya Melanie. Waktu dia nyanyi, Sisir Tanah masih saja di belakang. Matanya tidak mencari, malah tertutup. Juga, mbak ini maju-maju ke depan. Panggung jadi arenanya. Begitu pula dengan orang-orang yang lain yang dipanggilnya ke panggung untuk menyanyi: musisi, aktivis, penonton. Ketika mereka mulai menyanyi, Sisir Tanah masih saja mojok.

Bukan hanya urusan menyanyi, ada juga mas yang membantu Sisir Tanah bermain gitar. Bukan satu gitar dimainkan berdua, masing-masing pegang satu gitar. Bukan hanya memegang, tapi memainkannya. Bukan ada perlakuan berbeda, Sisir Tanah tetap saja mempersilakan orang-orang memiliki panggungnya. Bukan seperti trik penyanyi yang kelupaan lirik atau kelelahan akibat panggung-panggung sebelumnya, melainkan memang mengajak berbagi panggung. Berbagi kekuasaan terhadap panggung.

Pun, tetap saja ada kemungkinan ini bagian dari trik kalau tidak bisa mutlak mengatakan kolaborasi. Mungkin, ini masih bagian dari lompatan yang mesti Sisir tanah ambil risikonya, seperti kata-katanya sendiri yang pernah dikutip oleh Jaluardi dalam Harian Kompas (10 November 2017).

Maaf, aku khilaf. Tak semestinya aku memasukkan kutipan dari koran. Toh, aku hanya kipas yang HANYA ngiri-nganan-ngiri-nganan-ngiri.

Sisir Tanah benar suka adu tanya. Seperti lirik lagu-lagunya yang memancing pertanyaan.

“Ada masalah apa di sana?”
“Belajar apa?”
“Film apa?”
“Film yang bagus seperti apa?”

Rentetan pertanyaan itu diajukan Sisir Tanah kepada seorang penonton yang dipanggil ke atas panggung. Penonton lainnya menanggapi dengan tawa.

Aku malah berpikir. Pertanyaan bertubi-tubi yang diajukan—setidaknya kepada diri sendiri—bisa membantu melerai alur pikiran.

Lagi, penonton terbahak.

Asu, sastra banget!” Sisir Tanah mencaci dirinya sendiri. Umpatan itu disampaikan di tengah lagu "Konservasi Konflik" sampai bikin dia berhenti memainkannya sejenak. Jujur. Dan, bukankah jujur mengundang kelucuan? Aku mungkin ketularan Mas Danto; mulai suka tanya-tanya, sayangnya bukan ketularan lucu.

“Roy, naik ke sini sebentar. Saya mau tanya. Kenapa kebanyakan tulisan di Remotivi tentang Jakarta?”

Roy Thaniago sebelumnya memotong nasi tumpeng dalam rangka ulang tahun Remotivi ke-8 di Wapres, Bulungan. Dia adalah Direktur Remotivi yang punya hajat malam itu. Maka, jadi pantas kalau ia diberi kesempatan untuk menanggapi kritik Sisir Tanah.

“Berencana ke sana, tapi keterbatasan jumlah orang dan dana,” artinya Roy juga menjelaskan alasannya kepada banyak orang pada Sabtu malam, 22 September 2018 itu. Masih di depan banyak orang, Roy juga menjanjikan usahanya untuk bukan Jakarta melulu.

Ya, Sisir Tanah lantas menjadikan panggungnya sebagai milik bersama. Penampilannya tidak berhenti di memainkan lagu. Panggungnya menjadi arena dialog.

Itu tadi tiga alasan karya Sisir Tanah menjadi milik bersama.

Pertama, intim.
Kelirihannya membuat orang-orang mendekat sehingga terasa akrab.
Kedua, kolaborasi.
Sisir Tanah tidak membiarkan panggung menjadi miliknya sendiri.
Sisir Tanah membagi kuasanya terhadap panggung, bahkan karyanya sendiri.
Ketiga, kritis.
Lirik lagunya mengharuskan orang berani terhadap orang serakah dan orang yang menyakiti—tanpa harus merasa diteriaki dengan urat leher menguat atau mengepal tangan di udara.
Sisir Tanah juga mengadu tanya demi mengeja alur berpikir.
Siapa saja. Empunya hajat. Penonton. Penampil lain. Dirinya sendiri.

Satu lagi, yang paling penting bagiku. Dia mengistirahatkanku.
Dari kerja panjang dengan atau tanpa imbalan. Dari pekerjaan itu-itu saja dengan atau tanpa jeda. Dengan atau tanpa penghargaan.

“Tolong matiin kipasnya. Dingin.”
-->

Komentar