Ditutup Air Mata
Dia adalah pencerita yang
baik. Kejadian dalam hidupnya seakan layak diceritakan. Tanpa alur yang begitu
sistematis, hanya mengandalkan sebotol bir, ia bisa bercerita tentang masa
kecilnya.
Sore-sore, kerjanya menunggu
di teras mungil. Persetan dengan anak-anak main gundu atau masak-masakan. Ia
menunggu bapaknya. Menyambut Bapaknya seperti sudah tidak bertemu mingguan. Setiap
hari.
Selayaknya seorang bapak yang
berjaya pada Orde Baru, Bapaknya selalu pulang membawa koran. Bapaknya tahu
anaknya suka baca. Bapaknya tahu tak bisa membelikan buku. Koran di kantornya
dibawa pulang demi anak bungsunya.
Ceritanya seolah bisa
memercikkan inspirasi.
Lain kali, ia menceritakan
dirinya yang pelupa. Pulang kampus naik angkot. Tanpa uang di saku. Sampai
rumah, ibunya bertanya, “Motormu mana?”
Lucu. Sekaligus tragis.
Setiap orang punya cerita
beragam. Saya suka mendengar cerita-cerita orang dengan antusias. Entah cerita
mereka yang memang seru, gaya penceritaannya yang menarik, atau kehidupan saya
yang terlanjur datar.
Andalan saya cuma satu, “Yah,
begitu-begitu saja,” ketika ditanya apa yang terjadi dalam hidup saya. Saya merasa
banyak hal berlalu tanpa ada kelucuan yang menggelora. Atau, kesedihan yang
menyeret.
Alih-alih merasa rendah diri
macam padi yang merunduk, saya malah merasa tidak pernah melakukan apa-apa. Tapi,
lama-lama, saya muak juga dengan kebencian terhadap diri sendiri ini.
Lama-lama, orang-orang dekat
saya bisa muak juga. Atau malah sudah terlanjur. Dasar humble brag. Maksudnya humble,
tapi malah ada embel-embel brag.
“Kamu terlalu keras dengan
dirimu sendiri.”
Begitu ujar seorang teman
dekat. Padahal, pengingat macam itu pernah saya sampaikan untuk dirinya
beberapa bulan sebelumnya.
Tanggapan saya? Tentu saja
bilang tidak. Bagaimana menanggapi kritik dengan cara lain?
Tapi, itu mengendap dalam
pikiran saya. Mungkin benar. Saya mencoba berperan menjadi kritikus paling
kejam terhadap diri sendiri. Belakangan, kritik-kritik orang terasa biasa.
Bukan karena tidak saya dengarkan, melainkan sudah pernah saya muncul dari diri
saya.
“Belum pantas untuk main di
level itu kali.”
“Mau bikin apa kalau sendiri?”
“Banyak hal tidak sesuai dengan
nilai-nilai yang selalu dibicarakan.”
“Segitu doang?”
Kadang saya malah menantang
dalam hati. “Kritik lagi, dong! Masa cuma bisa kritik gitu doang ke gua? Lo
nggak ngeliat bagian ini dan itu?
Ayolah, jangan mikirin perasaan gua!”
Pun, kalau mereka memang melampiaskan
segala kritiknya yang sangat mungkin bisa lebih tajam dari mulut ibu sendiri—alih-alih
pisau, saya tidak yakin bisa bertahan. Saya tidak yakin untuk tidak ambruk dan
enggan keluar rumah. Saya bisa jadi malah semakin merasa tidak ada hal yang
benar dan minim faedah.
Mungkin saya menghukum diri sendiri
terlalu kejam.
Mungkin saya terlalu
mendalami kepelikan sebagai canda tawa sehingga merasa tidak ada yang layak untuk
diceritakan. Tapi, apa iya saya menertawakannya? Jangan-jangan saya malah
mengasihani diri saya keterlaluan.
Itu membuat orang-orang dekat
saya perlu mengeluarkan energi lebih. Mereka harus terus-menerus meyakinkan
saya.
Sialnya, kebencian tersebut menampak
pada cara saya bertingkah. Kepercayaan diri menurun. Sering merasa orang-orang
di hadapan saya selalu punya sesuatu yang lebih untuk ditawarkan. Tapi, saya
tidak menawarkan diri saya. Tidak menawarkan apa yang saya tahu.
Jadi, saya menunjukkan—sekalian
terlihat—sebagai orang yang tidak menarik, tidak punya ketertarikan, walaupun
pendengar yang baik. Bukankah kota ini memang membutuhkan lebih banyak
pendengar?
“Saya pernah berkelahi waktu
SMP. Dengan perempuan lain. Dia nggak salah apa-apa. Saya hanya merasa sok
jagoan. Nyaris dikeluarin dari sekolah. Orangtua dipanggil. Pulang-pulang,
Bapak menghampiri saya, “Kamu menang,
nggak?””
Itu saja saya punya cerita. Tanpa
perpanjangan kata. Ditutup air mata.
-->
Komentar
Posting Komentar