Aborsi Medis: Mengembalikan Otonomi Tubuh kepada Empunya

“Masuk, ayo, masuk.”



Suara lantang suster membuat perempuan ini bersama 7 atau 11 perempuan lain masuk ke dalam ruangan. Ada kasur sejumlah perempuan yang masuk dengan sekat berupa kain. Dengan mengenakan gaun rumah sakit yang belakangnya hanya berupa tali-tali pengikat, mereka menuju kasur yang sudah disiapkan. Tanpa pendamping.



“Buka celana dalamnya.”

“Ayo, cepat.”

“Tiduran di kasur.”



Kelantangan suara itu mendampingi suster dan dokter yang masuk ruangan. Dokter menghampiri satu per satu kasur dan melakukan kuret.



35 tahun setelahnya, perempuan itu mendapat pertanyaan dari anak perempuannya, “Waktu itu, Ibu dikasih obat bius, nggak?”

“Nggak tahu. Nggak inget. Ibu nggak mau inget-inget.”



Namanya Yanthie. Saat itu, beliau berusia 32 tahun, tepatnya tahun 1984. Sudah punya 3 anak: 10 tahun, 9 tahun, dan 6 tahun. Ia melakukannya di klinik aborsi Jakarta, kota tempat tinggalnya. Datang ke klinik ditemani mertuanya tanpa paksaan yang menggantikan kehadiran suaminya yang sedang di luar kota. Ia juga sudah kenal dengan dokter, pembantu kelahiran anak-anaknya. Tapi, dokter hanya bisa melakukan aborsi di klinik lain. Pun demikian, ia tetap harus menyajikan upah keahlian yang mahal.



Lihatlah, Yanthi. Hidupnya penuh dengan hak istimewa: status pernikahan, dukungan keluarga, kepemilikan atas waktu dan uang, kotanya memiliki klinik dan dokter, masih bisa diakses dengan transportasi umum dengan cepat, tidak hidup dalam disabilitas. Tetap saja, “Ibu merasa tidak diperlakukan sebagai manusia.”



Pun, pilihannya tidak banyak pada 1984. Aborsi di Indonesia hanya bisa dilakukan oleh dokter. Dokter—yang biasanya laki-laki—berstatus lebih tinggi (ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi, apalagi lama-lama?). Ia dianggap lebih mumpuni untuk menentukan mana yang bisa—bahkan mana yang baik—dilakukan terhadap tubuh perempuan atau juga identitas lain. Perempuan dan identitas lain dipandang sebagai orang yang tidak layak mengambil keputusan atas tubuhnya sendiri.



35 tahun berlalu, tetapi pandangan terhadap perempuan belum berubah. Bahkan, makin dilegitimasi oleh hukum. Di Indonesia, UU Kesehatan menghendaki adanya persetujuan suami atau keluarga ketika tindakan aborsi akan dilakukan terhadap perempuan. Lebih parah, perempuan yang sudah menjadi penyintas perkosaan perlu meminta keterangan dari dokter, psikolog, dan/atau polisi untuk meyakinkan bahwa ia benar diperkosa.



Situasi macam begini tidak hanya terjadi di Indonesia. Gerakan perempuan sudah muak dengan kontrol terhadap tubuh perempuan dan identitas lain.



Sebut saja Amerika Serikat—negara kebanggan temanmu. Mereka tidak bisa akses aborsi, alhasil memetakan dokter-dokter yang mau melakukan aborsi bedah. Mereka kasih tahu perempuan yang butuh dari mulut ke mulut, tepatnya melalui telepon. Selain biaya layanan dokter yang sangat tinggi, perempuan juga harus menyewa kamar. Dokter datang, melakukan tindakan, dan meninggalkan perempuan dan orang hamil. Demi keamanannya. Demi kariernya. Kalau ada komplikasi, dokter meninggalkannya begitu saja. Sudah banyak film Amerika Serikat menceritakan latar belakang ini, tentu lebih fokus pada drama-dramanya.



Biaya yang tinggi tentu saja membatasi perempuan dan orang hamil. Bagaimana dengan perempuan dan orang hamil yang dimiskinkan? Padahal, bagi mereka, aborsi kadang bukan soal pilihan, tapi soal bertahan hidup. Istilah pilihan kadang dilihat sebagai diksi yang bias kelas dan berjaket neoliberalisme. Itu omongan orang, saya hanya mengutipnya tanpa pertanggungjawaban.



Gerakan perempuan di sana putar otak; tidak mau membiarkan keadaan begitu terus. Mereka berkumpul di satu ruang tamu, belajar melakukan aborsi bedah sendiri. Buka kelas lain karena ternyata banyak perempuan lain yang tertarik. Relawan. “Kami tidak melakukannya kepada Anda, melainkan bersama Anda.” Perempuan dan orang hamil jadi lebih mudah untuk mengakses aborsi dengan segala keterbatasannya.



Pada 1980-an, seorang peneliti Prancis—Étienne-Émile Baulieu—menemukan RU 486. Sekarang, ini disebut Mifepristone. Salah satu kombinasi obat aborsi yang gunanya menahan hormone progesteron—yang biasanya merawat kehamilan. Obat lainnya adalah Misoprostol. Ia akan membuat perut berkontraksi dan mengeluarkan produk kehamilan. Pun sebenarnya, perempuan juga bisa melakukan aborsi medis hanya dengan Misoprostol dengan tingkat keberhasilan tinggi juga. Aborsi medis, begitulah penemuan ini mengubah jagat peraborsian secara global.



Kehadiran Mifepristone dan Misoprostol mengembalikan kekuasaan perempuan dan orang hamil[1] terhadap tubuhnya sendiri. Perempuan dan orang hamil adalah satu-satu-satunya orang yang berhak menentukan apa yang akan dilakukan tubuhnya.



Tanpa perlu keputusan dokter.

Tanpa perlu surat keterangan ahli: polisi dan psikologi.

Tanpa perlu persetujuan keluarga.

Tanpa perlu bertemu dokter atau suster yang mencibir.

Tanpa perlu membayar mahal untuk layanan dokter.

Tanpa perlu pergi ke klinik.

Tanpa perlu memikirkan biaya transportasi ke klinik.

Tanpa perlu takut ditanya tetangga mau ke mana atau dari mana.

Tanpa perlu takut sendirian di ruang operasi.



Perempuan bisa melakukan aborsi medis di rumah bersama orang terdekatnya. Perempuan bisa mengaksesnya melalui laman internet terpercaya, seperti Women on Web. Setelah melakukan konsultasi dalam jaringan, paket berisi Mifepristone dan Misoprostol akan dikirim ke rumah peminta bantuan langsung.

Ini mengembalikan otonomi tubuh kepada empunya. Ini mengamini pengalaman perempuan dan orang hamil atas tubuhnya. Ini memberdayakan perempuan. Ini menerobos gulungan kawat yang menghalangi orang-orang minim hak istimewa: dimiskinkan, tinggal di pelosok, mengalami kekerasan seksual dan masih tinggal dengan pelaku kekerasan, tidak berstatus menikah, berusia muda yang masih butuh wali secara hukum.



Self-managed abortion.



Membuat pengalaman aborsinya menjadi begitu privat. Tanpa campur tangan orang lain.



Pertanyaan berikutnya yang tidak relevan terhadap layanan aborsi medis secara mandiri:

Apakah pengalaman yang begitu privat ini—karena stigma dan ketabuan—menjadikan perempuan dan orang aborsi terisolasi?



Pertanyaan itu penting untuk terus digaungkan supaya perempuan tetap berbagi pengalamannya. Merajut solidaritas. Banyak metode untuk berbagi. Banyak organisasi juga sudah memberikan ruang perempuan untuk berbagi pengalamannya.



Patriarki dan neoliberasime berkelindan mengisolasi perempuan dan identitas lain. Kita dibuat terpuruk sendirian. Tanpa sadar banyak orang merasakan hal yang sama. Salah satu jalan: solidaritas.



“Bu, sekarang perempuan sudah bisa melakukan aborsi di rumahnya sendiri. Lebih nyaman. Bisa ditemenin anaknya sendiri.”





[1] “Perempuan dan orang hamil” merupakan diksi inklusif dalam narasi aborsi. Pilihan ini dilakukan dengan sadar karena bukan hanya perempuan yang mengalami kehamilan, tetapi juga transman.

Komentar