Akrab: Aman dan Percaya


“Hai! Sudah berapa hari di ruangan itu-itu saja?”

Seorang teman lama yang entah kapan terakhir kali kami bertukar cerita kehidupan menyapa. Pesan bertukar tanpa mempersilakan canggung di antara jeda. Salah satunya terlihat dari tidak adanya pertanyaan “kenapa?” atau “ada apa?” untuk menghentikan pertanyaan di kepala kenapa tiba-tiba menghubungi. Mungkin hubungan pertemanan ini tidak diliputi kecemasan.

Kami lantas saling beradu cerita tentang keadaan masing-masing. Kadang, bahkan sering kali, tidak saling menanggapi, hanya saling menimpali cerita masing-masing. Kami bahas soal korona yang menggerogoti mental, hampir menyikat habis tabungan, dan merampas hak perempuan yang sedang mengalami kehamilan tidak diinginkan. Tapi juga merasakan kelegaan karena tak perlu bertemu orangtua. Ia  nyaris menutup pesannya dengan meminta saya tidak sungkan mengirim pesan kepadanya ketika keinginan untuk lompat dari lantai atas menyergap sebelum didului korona. Belum sempat dibalas, dia sudah kirim pesan lagi, “Jangan khawatir untuk dilarang. Siapa tahu saya malah mau bergabung.”

Saya pikir kedekatan kami memungkinkan perbincangan yang tak disertai ketakutan. Tidak takut untuk merasa salah, payah, marah, juga senang-senang. Termasuk senang di atas penderitaan orang lain yang mungkin dianggap politically incorrect. 

Saya mengenali kedekatan dari cerita yang bertukar. Selama ini, semakin sering bertukar cerita, akrab semakin terasa.

***

“Ambil kerang-kerang ini semaumu. Taruh di dalam kotak pasir,“ eyang putri menyodorkan wadah penuh dengan kerang besar-besar.

Saya mengambilnya.

“Itu siapa saja?” tanyanya setelah saya selesai menaruh kerang-kerang itu.

“Ini aku, ini papa, ini mama, ini kakak-kakakku.”

“Kerang kamu sama kerang papa nempel terus. Kamu sama papa memang selalu dekat?”

“…”

“…”

“Eyang… Aku paling jarang ngobrol sama papa. Tapi… saya paling khawatir kalau dia sakit. Kata kakak-kakakku, aku itu anak kesayangannya. Aku nggak ngerasa itu soalnya aku nggak pernah tahu harus ngomong apa kalau lagi sama dia. Aku merasa canggung. Dan, dia itu… dia itu adalah satu-satunya orang yang nggak pernah nyuruh kawin, nggak pernah nyuruh ganti pekerjaan, nggak nanya-nanya gaji berapa, nggak pernah ngelarang-larang.”

“Jadi, kamu merasa dekat dengan papa?”

“Waktu itu, aku pernah nyetir dan nabrak, mobilnya rusak parah. Pas tahu aku selamat, dia peluk aku. Dia bilang, “jangan trauma nyetir, ya. Tapi, sekarang kamu harus belajar prihatin, nggak nyetir dulu dan ngurusin sendiri mobilnya sampai nggak rusak lagi.” Aku nggak dimarahin, tapi sekalian diajarin cara bertanggung jawab yang sesuai dengan kemampuanku.”

“Oh gitu.”

“Aku nggak tahu itu bisa dibilang dekat atau enggak, ya.”

“Apa yang kamu rasakan dari hubunganmu dengan papa?”

“hmm…” Saya memainkan jari-jari.

“Santai aja. Nggak perlu buru-buru. Ambil waktu semaumu.” Eyang putri tidak menatap mata saya.

“Aku merasa aman, Eyang. Dipercaya.”

Dan, air mata saya keluar.

***

Kedekatan bukan perkara tentang kehadiran terus-menerus. Juga bukan soal obrolan yang tiada habis sampai burung berkicau melepas malam pada musim korona. Juga bukan tentang rahasia yang terlipat rapi di genggaman masing-masing.

Kedekatan adalah rasa aman dan percaya. Gawatnya, aman itu seperti rumput liar. Dia bisa terus tumbuh tanpa dirawat. Sedangkan percaya perlu disiram dan dipupuk.

Dan, keduanya perlu berkesalingan. Kalau tidak, ia akan jadi racun yang mengendap. Diam-diam menggerogoti aman dan percaya terhadap diri sendiri.


Komentar