Teknologi Digital Meringkas Alur Akses Aborsi Aman


Teknologi digital memungkinkan perempuan dan orang dengan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) untuk merenggut kembali otonomi terhadap tubuhnya sendiri. Keputusan terhadap tubuh perempuan—dan non-confirming gender—banyak ditentukan oleh hal di luar dirinya sendiri. Sumber informasi dibatasi. Pendidikan formal tentang kesehatan reproduksi di sekolah banyak memangkas hak dan kesehatan seksualitas dan cenderung menakut-nakuti alih-alih memberikan informasi utuh. Kebanyakan media memberitakan kejadian dengan sudut pandang moral dan nilai yang dominan sehingga memojokkan perempuan dengan pilihannya. Orangtua mengatur tubuh anaknya, seperti melakukan sunat perempuan atau menindik telinga anak perempuannya. Ditambah, hukum mengatur apa saja yang boleh dilakukan perempuan terhadap kesehatan seksualitas dan reproduksinya, seperti kapan kapan boleh mengakses kontrasepsi dan aborsi dan bagaimana caranya. Hukum itu juga membuat tenaga medis dan kesehatan memberikan layanan hanya sesuai dengan koridor yang ditentukan, walaupun mesti menafikan kemajuan teknologi dan penelitian medis yang menguntungkan perempuan. Padahal, tenaga medis dan kesehatan kerap dianggap sebagai orang yang patut dipercaya oleh perempuan. Perempuan mendapat informasi terbatas yang mengakibatkan pilihan terhadap tubuhnya sendiri kian menyempit. Teknologi digital dapat memutus mata rantai tersebut dengan memberikan akses langsung terhadap informasi dan hak atas kesehatan dan reproduksi langsung ke tangan perempuan, termasuk aborsi aman.

Celah terhadap hukum. 

Hukum di Indonesia hanya memungkinkan perempuan yang mengalami perkosaan dan kondisi darurat medis untuk akses aborsi[1]. Belum lagi, ada persyaratan lain tentang usia kehamilan dan persetujuan pihak lain, baik itu suami, keluarga, para ahli, dan/atau aparat penegak hukum.[2] Pembuat kebijakan merancangnya berdasarkan asumsi hanya dua alasan itu yang mungkin dialami perempuan atau orang dengan KTD. Namun, pengalaman lain tidak diindahkan, seperti kontrak kerja yang mengharuskan perempuan tidak hamil pada masa tertentu, pertimbangan ekonomi dan sosial karena dimiskinkan secara sistematis, kealpaan dalam memberikan pendidikan kesehatan seksualitas dan reproduksi yang mumpuni, pengaduan kasus perksoaan yang makan banyak waktu dan berbelit-belit, pemutusan hak untuk sekolah jika hamil, kekerasan yang dialami dalam hubungan atau rumah tangga, belum lagi identitas dirinya yang rentan dengan stigma dan diskriminasi. Perempuan atau orang dengan KTD yang punya pengalaman berbeda tetap mempunyai hak atas informasi lain untuk mendukungnya mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik atau bahkan menyelamatkan nyawanya. Perempuan dapat melatih kekuasaan terhadap tubuhnya sendiri dengan mempraktikkan kepercayaan terhadap dirinya sendiri.

Akses terhadap informasi.  

Website—seperti www.womenonweb.orgdan aplikasi Safe Abortion[3] memberikan informasi tentang aborsi medis yang sudah terbukti aman dan efektif berdasarkan petunjuk dari World Health Organization (WHO-Badan Kesehatan Dunia)[4]. Informasi dalam bentuk teks dan video mengutamakan kesehatan dan keselamatan perempuan atau orang dengan KTD. Melalui situs dan aplikasi, mereka juga bisa menggunakan kalkulator kehamilan yang membantu menghitung usia kehamilan dari hari pertama siklus menstruasi terakhir. Itu bisa membantu mereka dalam pengambilan keputusan terhadap tubuhnya sendiri. Aborsi bisa dilakukan dengan aman—tidak merisikokan keselamatan, diliputi rasa lega—tidak melulu traumatis, dan memungkinkan untuk ditangani selayaknya keguguran spontan. Teknologi digital ini menjadi petanding di antara wacana tentang kriminalisasi aborsi dalam berita dan bahaya medis yang dominan di lingkungan sekitar.

Akses terhadap tenaga kesehatan dan klinik kesehatan

Surat elektronik (surel) yang ditujukan kepada info@womenonweb.org memungkinkan orang untuk berkomunikasi langsung dengan helpdesk terlatih maupun dokter berlisensi. Mereka bisa mendapatkan jawaban dan petunjuk yang sesuai dengan situasi medis mereka. Melalui surel, perempuan atau orang dengan KTD bisa berkomunikasi langsung tanpa dipandang berdasarkan status pernikahan, usia, gender, maupun alasannya. Tanpa adanya pertemuan langsung juga memungkinkan perempuan untuk tidak mengeluarkan biaya transportasi jika layanan kesehatannya berjarak jauh dari tempat tinggalnya. Selain itu, ketidakhadiran di klinik juga mengurangi risiko untuk bertemu orang sehingga meminimalisasi kekhawatiran merasa dihakimi oleh orang sekitar. Situasi ini lebih rentan terjadi di daerah yang berpenduduk sedikit dan tempatnya merapat sehingga kemungkinan saling mengenal antarpenduduk tinggi. Apalagi, di situasi wabah Covid-19 yang memaksa orang untuk diam di rumah dan mempersulit akses ke layanan kesehatan, layanan telemedis menjadi alternatif efektif bagi perempuan atau orang dengan KTD.

Akses terhadap farmasi. 

Konsultasi dalam jaringan (online) memungkinkan dokter berlisensi mengeluarkan resep berdasarkan situasi medis perempuan dan meneruskannya kepada farmasi di negara lain yang tidak membatasi akses aborsi aman. Kemungkinan ini membuka peluang perempuan atau orang dengan KTD untuk mendapatkan paket aborsi medis asli yang dikemas dalam bungkusan obat dan dikirimkan langsung dari farmasi ke rumahnya. Mereka tidak lagi perlu mengeluarkan ongkos untuk mencari apotek yang bersedia memberikan akses pil aborsi aman dan merisikokan privasinya selama masa pencarian, seperti ditanya-tanya atau dicatat untuk dilaporkan kepada apat penegak hukum atau kepada desa. Selain itu, mereka tidak lagi perlu khawatir untuk mendapatkan obat palsu yang dijual dalam jaringan

Akses terhadap perlindungan identitas. 

Tidak semua orang yang mengakses aborsi aman bisa mengakses layanan kesehatan. Mereka yang tidak mempunyai dokumen sebagai syarat akses kesehatan jelas mengalami kesulitan, misalnya transgender, pencari suaka, pekerja dari negara lain, pernikahan siri, masyarakat adat, penganut kepercayaan lain, dan remaja di bawah 17 tahun. Teknologi digital tidak mensyaratkan kartu identitas, akte lahir, maupun surat pernikahan untuk akses informasi dan layanan.  Situasi lain yang bisa terbantu dengan layanan telemedis ini adalah mereka yang terjebak dalam siklus kekerasan di rumahnya. Mereka dengan kehamilan di bawah 12 minggu bisa melakukan aborsi aman di rumah dengan ditemani satu pendamping yang mereka percaya atau mereka kasihi. Prosesnya bisa menjadi begitu privat tanpa intervensi dari lingkungan yang intimidatif.

Akses terhadap solidaritas. 

Stigma dan diskriminasi terhadap aborsi kerap meninggalkan perempuan atau orang dengan KTD dalam situasi yang merasa dirinya terisolasi. Pengalamannya kerap dibungkam untuk menghindari penghakiman dari orang yang mengenalnya dan menghindari pemangkasan akses lainnya, seperti melanjutkan sekolah atau mendapatkan pekerjaan. Ini membuat mereka yang membutuhkan akses aborsi merasa sendirian, merasa tidak banyak orang dengan pengalaman yang sama. Satu fitur dari webite dan media sosial mempersilakan orang menceritakan pengalaman aborsinya membuat suara mereka tidak lagi dibungkam. Pertanyaan yang terjawab melalui surel juga membuat mereka merasa mendapat dukungan dari orang lain dan tidak merasa sendirian. Fitur donasi dalam website memungkinkan orang untuk mendukung perempuan atau orang lain dengan KTD bisa mendapatkan paket aborsi dari negara lain. Mereka juga bisa ikut menyuarakan bentuk solidaritasnya secara anonim dalam gerakan global, termasuk menjadi bagian dari penelitian jika berkenan.

Pembatasan dari Empunya Kekuasaan

Meskipun membuka peluang baru, layanan aborsi telemedis masih perlu bertarung dalam wacana dominan tentang aborsi, yang diperkuat oleh institusi hukum, agama, pendidikan, sosial, ekonimi, budaya, dan politik. Wacana dominan itu diperkuat oleh kekuasaan yang berkelindan sehingga membuat hubungan antara pengguna internet tidak setara dengan pihak yang berkuasa, seperti pemerintah yang mengatur internet, perusahaan yang berorientasi pada keuntungan, dan pelaku .

Pemerintah bisa menggunakan kekuasaannya untuk mengatur apa saja yang bisa diakses oleh masyarakat. Melalui kebijakan internet positif, Pemerintah Indonesia memblokir akses tanpa pemberitahuan www.womenonweb.org  dan www.womenonwaves.orgsister organization Women on Web—pada Juli 2018. Atas nama Women on Web, kami melayangkan surat mempertanyakan alasan di balik pemblokiran kedua situs tersebut. Mereka—atas nama Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika—membalas Women on Web dengan alasan “adanya artikel atau kegiatan tentang aborsi” dan kepada Women on Waves menyebutkan ketidaksesuaian dengan UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 Pasal 75 ayat 1. Surel tersebut kami balas dengan penjelasan pelanggaran hak terhadap kesehatan seksual dan reproduksi dan mendasarkan diri pada UU HAM No. 39 Tahun 1999 tentang hak penerimaan dan penerimaan informasi. Tanpa balasan lebih lanjut, kedua situs bisa diakses kembali, meskipun sempat tidak bisa diakses oleh provider yang merupakan BUMN. Pemblokiran ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi di negara-negara lain[5].

Pembatasan juga dilakukan oleh perusahaan teknologi besar maupun pihak-pihak yang mencari keuntungan dari situasi rentan perempuan atau orang dengan KTD. Perusahaan teknologi besar, seperti Facebook[6], Instagram[7], Twitter[8], dan Youtube[9], juga pernah membatasi distribusi informasi Women on Web dan Women on Waves. Setelah mengajukan penangguhan, mereka membuka kembali aksesnya, kecuali Instagram yang tidak pernah menyetujui kampanye face filter Women on Web. Beda lagi ceritanya dengan pihak yang memperjualbelikan obat-obat palsu. Mereka mengeruk keuntungan dengan mengenakan biaya tinggi kepada perempuan melalui e-commerce, website, dan Instagram. Prosesnya tidak ramah perempuan dan orang dengan KTD, seperti meminta mereka mengirimkan hasil konsepsi untuk dijadikan bukti kepada calon pembeli lain, memberikan dosis yang tidak sesuai anjuran WHO tidak mempertimbangkan situasi medis perempuan, tidak membalas pesan setelah obat dikirimkan, bahkan tidak mengirimkan obatnya.

Kekuasaan wacana dominan juga mempengaruhi pertarungan informasi. Perempuan atau orang dengan KTD yang hendak mencari informasi tentang aborsi bisa masuk ke lama yang memberikan keterangan tidak berbasis kemutakhiran pengerahuan dan penelitian.[10] Artikel yang tercantum justru menyudutkan perempuan dengan wacana dominan yang sarat stigma dan diskriminasi. Media sosial, seperti Instagram[11], juga mendistribusikan wacana serupa yang tidak melihat dari perspektif ramah gender. Ditambah, media juga memberitakan kasus aborsi dengan memperkuat stigmanya[12]. Hal itu menunjukkan bahwa semakin berkapital (baik sumber berdaya manusia, finansial, maupun sosial), mereka semakin punya kekuasaan untuk membatasi hak kesehatan seksualitas dan reproduksi perempuan dan atau orang dengan KTD.

Siapa yang tidak bisa akses?

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa masyarakat cenderung mendapatkan informasi dari wacana dominan yang diperkuat oleh hukum, tenaga medis dan kesehatan, orangtua, dan media. Informasi dan layanan aborsi telemedis belum bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat. Ada beberapa batasan. Pertama, informasi dan layanan ini hanya bisa diakses oleh mereka yang punya koneksi internet dan akses terhadap gawai telepon pintar. Kegagapan infrastruktur di Indonesia belum mumpuni untuk memberikan akses itu kepada seluruh warga negaranya, apalagi yang berada di daerah yang dipinggirkan. Belum lagi, untuk mengakses keduanya, perlu biaya yang tidak sedikit dibandingkan kebutuhan pokok. Artinya, informasi dan layanan cenderung diakses oleh masyarakat kelas sosial menengah dan menengah atas. Kedua, informasi dan layanan ini hanya mungkin diakses oleh orang dengan tingkat literasi tertentu. Melek huruf adalah salah satu persyaratan mutlak. Ini membawa pada batasan ketiga, yaitu mereka yang punya keterbatasan disabilitas penglihatan.

Semakin terbatas akses terhadap sistem dan infrastruktur, perempuan dan orang dengan KTD semakin merisikokan privasinya. Privasi seakan merupakan hak istimewa yang hanya dimiliki oleh segelintir orang.



[1] UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, PP No. 61 tahun 2016 tentang Kesehatan Reproduksi, dan Permenkes No. 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Aborsi atas Indikasi Kedaduratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan
[2] Nababan, Frenia dkk. Problem Aturan Aborsi: Ancaman Kriminalisasi Tenaga Kesehatan, Korban Perkosaan, dan Ibu Hamil dalam R KUHP, Ed. Supriyadi Widodo Eddyono  dkk, Jakarta, 2017. Bisa diakses melalui http://icjr.or.id/problem-aturan-aborsi-ancaman-kriminalisasi-tenaga-kesehatan-korban-perkosaan-dan-ibu-hamil-dalam-r-kuhp/ diakses pada 5 April 2020.
[4] WHO, Medical Management of Abortion (2018), https://www.who.int/reproductivehealth/publications/medical-management-abortion/en/ diakses pada 5 April 2020.
[10] Contohnya adalah aborsi.org diakses pada 5 April 2020.
[11] Contohnya adalah @mahasiswamuslim yang memposting ulang milik @bidadarisurga)27 pada 2 Oktober 2016, diakses pada 5 April 2020.

*Tulisan ini dibuat untuk ELSAM sesuai dengan kebutuhannya dalam melakukan penelitian terkait privasi dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan seksualitas. Penelitian itu dilakukan oleh ELSAM dengan bekerja sama dengan Privacy International. Laporan penelitian lengkapnya bisa dibaca di sini.

Komentar