Pro-life atau pro-choice?


Itu bukan pertanyaan macam truth or dare yang jadi seseruan kalau lagi kumpul bareng. Itu pertanyaan yang memerlukan tingkat keakraban tertentu untuk bisa ngobrol mengelupas nilai satu per satu. Mana ada sesuatu yang bebas nilai?

Memang, pertanyaan tersebut identik dengan nilai seseorang terjadap aborsi. Umumnya, mereka yang mendukung aborsi disebut pro-choice. Mereka yang menolak disebut sebagai pro-life.

Saya kenal dengan seseorang yang tiap kali dengar kata “pro-life” selalu nyeletuk, “Pro-life tapi setuju hukuman mati?” Saya sudah mendengar pertanyaan dia yang sama persis di beberapa kesempatan: workshop berbau development, tongkrongan dengan bir di antaranya, dan kumpul-kumpul di taman belakang.

Pertanyaan valid itu memang sering jadi argumentasi orang-orang yang mendukung aborsi. Mereka disebut atau—untuk memberikan agency—menyebut dirinya pro-life karena memandang fetus atau janin di dalam tubuh perempuan atau orang hamil (karena tidak hanya perempuan yang bisa hamil, transman juga) sebagai kehidupan yang harus dibela. Logika itu digunakan juga dalam penulisan UU Perlindungan Anak yang melihat anak sejak dalam kandungan.

Dalam buku Fetal Subjects, Feminist Positions, diceritakan bahwa tadinya manusia menganggap fetus sebagai manusia karena karya seni yang menggambarkan kehamilan dengan bentuk manusia dewasa mini di dalam perut. Teknologi belum mengantarkan imajinasi manusia tentang apa yang ada di dalamnya. Karena ketika lahiran keluarnya manusia, ya mereka jadinya menggambar manusia utuh dalam bentuk kecil. Teknologi kemudian memungkinkan kita untuk paham bahwa bentuk fetus atau janin tidak seperti itu. Dengan asumsi serupa, orang-orang yang tidak mendukung aborsi menggunakan kebudayaan popular dengan tidak menampilkan bentuk fetus, melainkan bayi. Ini jelas penggiringan opini. Padahal, tanpa tubuh perempuan, fetus itu tidak bisa hidup sendiri di luar sana.

Lantas, bagaimana dengan kehidupan perempuan atau orang yang mengandung? Ia seakan-akan tidak dilihat sebagai individu yang perlu diperhatikan kualitas hidupnya.

“Kalau laki-laki memperkosa perempuan dan menyebabkan kehamilan. Lo setuju ia melakukan aborsi?”
“Engga. Itu kan hak hidup anaknya. Perempuan punya pilihan lain.”

Hasil obrolan saya dengan seorang teman peneliti hak anak menjadi salah satu alasan kenapa orang-orang yang mendukung aborsi disebut pro-choice. Asumsinya jelas; perempuan dianggap punya pilihan lain: aborsi atau tidak aborsi.

Padahal, para aktivis aborsi juga mempertanyakan istilah “pro-choice” yang dinilai kurang tepat karena tidak menggambarkan situasi perempuan atau orang dengan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) secara inklusif.

Keputusan perempuan atau orang dengan KTD sering kali bukan melulu soal pilihan. Kerap ini adalah jalan yang harus diambil. Contohnya adalah perempuan yang dimiskinkan dan tidak bisa menghidupi anak-anaknya yang lain, dikucilkan orang sekitar karena ia berasal dari kelompok minoritas tertentu, tidak punya akses ke layanan kesehatan—bisa karena tidak punya kartu identitas atau jarak, terjerat adat-istiadat sehingga tidak diperbolehkan punya anak perempuan atau tidak diperbolehkan menikah beda suku atau agama. Banyak keputusan perempuan diambil karena tekanan dari sistem yang lebih besar.

Secara sistematis, mereka ditinggalkan keputusan satu-satunya, yaitu aborsi. Bukan karena keinginan mereka, melainkan ini cara mereka bertahan hidup. Ini juga pernah ditulis di sebuah buku, nani saya susulkan referensinya. Kalau saya lupa, mohon ingatkan. 

Pilihan adalah privilese. Dan, tidak ada yang benar-benar bebas dalam pilihan. Seringnya, pilihan juga tidak gratis.

Pro-choice jadi terlihat sebagai slogan untuk perempuan atau orang dengan KTD yang punya privilese saja.

Jadi, apa yang tepat untuk menyebut diri sebagai individu atau kelompok yang mendukung perempuan melakukan aborsi aman yang inklusif?
Saya tidak tahu. Sayangnya.

Pro-abortion juga terasa kurang tepat. Tidak semua aborsi diinginkan perempuan. Sedangkan, nilai dasarnya adalah mendukung perempuan.

Nanti-nanti, kalau ada lonjakan jumlah penduduk dan membuat negara semakin padat sehingga memerlukan anggaran besar, bisa jadi regulasi berubah arah. Aturan aborsi dilonggarkan. Ini sudah pernah terjadi di beberapa negara, termasuk Indonesia, waktu zaman baby boomer. Demi hajat hidup orang banyak, ceunah.

Jadi, kapan, dong, hajat hidup perempuan dan orang atas tubuhnya ditentukan sendiri?
Ini jadi kayak alat untuk mengukur moral atau kontrol kepadatan pendudukan.
Bukan kayak, tapi emang, sialannya.

*Tulisan ini dibuat untuk zine gagasan Igna.  

Komentar