Dikejar Tentara

"Berikan satu pelukan supaya saya bisa pulang."
"Kamu tidak punya jalan pulang. Jalanmu sudah dihadang tentara."
Berdiri dia, mengambil jaket abu-abu tuanya yang digantung di gagang pintu depan. Setelah mengenakannya, ia duduk di kursi teras, menarik sepatu di bawah kursi itu. Memakai kaus kaki dan memasukkan kakinya dalam sepatu. Pertama yang kanan, kemudian yang kiri.

Sambil mengikat tali sepatu kanannya, "Harus segera beranjak dari sini sebelum kau terseret-seret."
Saya menyandarkan bahu di daun pintu, "Jadinya ke mana?"
Ia beralih ke tali sepatu kiri, "Bukannya sebaiknya hanya saya yang tahu? Kalau mereka tanya, kamu betul-betul tidak tahu; tidak perlu berpura-pura."
Saya masih saja diam di daun pintu, "Dari mana saya akan tahu kamu baik-baik saja?"
Ia melirik saya sebentar, "Kemungkinan besar tidak ada yang lebih baik dari hari ini," kemudian melihat sepatunya lagi. Ia berdiri sambil mengambil tasnya yang sudah dari tadi di kursi teras sebelahnya.
Saya melihat matanya, "Bagaimana cara saya mengenangmu?"
Ia balas menatap, "Saya tidak perlu dikenang, saya hanya perlu dibiarkan. Itu keunggulanmu."
"Saya tidak perlu unggul, saya hanya mau diingat."
"Masuklah koran jika hanya ingin diingat."

Dia melangkah, saya memanggil namanya, "Jangan pernah berhenti marah."
Badannya memutar balik, "Mau masuk hidup saya dengan cara mulai mengatur?"
Mulut saya memonyong, "Maksudku bukan bikin orang marah."
Langkahnya menuju pagar. Dari balik pagar, ia menutupnya. "Kenapa aku harus terus marah?"
Tatapan saya mengikutinya terus, "Marah membuatmu terus berjalan. Walaupun terus dihadang."
Dia berdiam di sana. Tanpa suara, bibirnya terbaca "Peluk."
"Peluk," saya ikuti gerak bibirnya sambil masih bersandar di daun pintu.

Komentar