Berakhir Sudah Kesepianmu, Bapak Tua Sapardi Djoko Damono

"Sapardi meninggal," saya mengguncang-guncang kekasih saya yang masih mengorok. Ini kebiasaan saya setiap pagi menjelang siang. Beritanya bisa apa saja, mulai dari berita kali sudah berak pagi itu sampai kebingungan mau pesan makan apa siang itu. 
"Kamu sedih?" dengan suara parau.
"Nggak, kesepiannya sudah berakhir, dia sudah menyiapkannya," jawaban asal.

Jika seseorang begitu sering membayangkan sesuatu, apakah ia memang mempersiapkannya? Ah, mungkin tidak juga. Mungkin juga terlalu gegabah untuk menjawab pertanyaan itu dengan mengatasnamakan orang lain. Apalagi untuk Si Bapak Tua yang satu ini. Terlepas dari kematian merupakan obsesinya atau bukan, ia sudah membayangkan kematian sejak lama. Di dunianya.


Puisi adalah dunianya. Begitu lah ia ingin dikenang, katanya dalam wawancara yang pernah saya baca entah di mana. Ini contoh tidak baik untuk argumen kuat; sumber tidak jelas. Di dalam dunianya itu, ia begitu akrab dengan kematian. Ia pernah bercerita bagaimana orang-orang mulai berjalan beriringan di belakang jenazah yang ditandu, lengkap dengan daun-daun di pohon yang merunduk ketika jenazah lewat, seperti memberikana penghormatan terakhir. Bukan sekali-dua kali, ia mengulang-ulang kematian dalam dunianya. Mungkin ia sudah mati berkali-kali sehingga bisa memberikan gambaran apa yang akan terjadi ketika kematian itu tiba.



Pernah juga ia meracau tentang kematiannya. Bukan, ini bukan “Pada Suatu Hari Nanti” yang banyak muncul di media sosial saya. Ia mengucap syukur dengan alhamdulillah ketika membayangkan kematiannya. Ia meyakinkan banyak hal akan masih saja bersama istrinya—setidaknya begitu saya ingin mempercayai sebutan ia pada puisi “Segalanya”. Istrinya akan tetap batuk-batuk dan cari obh, mengecilkan suara ampli karena tetangganya yang sakit. Masih ada tumpukan buku yang seperti sampah dan tumpukan plastik di atas rak sepatu. Semuanya masih akan bersama istrinya. Kecuali Si Bapak Tua yang sudah tiada. Dan, masih sayang padanya.



Sialan betul. Apa yang lebih bisa dijanjikan daripada sayang yang menyisa pada akhir hidup? 

Mungkin karya yang tak mati-mati.

Sadar betul ia dengan tangan dan kakinya yang mulai gemetaran ketika menuruni tangga di “Sebelum Fajar”. Juga alisnya yang menjadi keperakan. Rumah kosong, tidak ada lagi istri dan anak-anaknya. Detak jantungnya sendiri terdengar ketika minum air putih. Hanya ada makanan basi dan cicak yang kemudian menjadi temannya. Obatnya lupa diminum. Mempertanyakan segala hal di sekitarnya: apakah benar ada atau sisanya hanya kesia-siaan lain yang dijalaninya? Tidak ingin menghidupkan harap karena memang tidak pernah menjalaninya. Ia kemudian memilih duduk di ruang tamu sambil melihat pintu, menunggu mungkin ada yang datang. Apakah itu kursi yang lain ketika istrinya menawarkan mau dibuatkan teh atau kopi pada “Hari Ulang Tahun Perkawinan”? Apa yang ia tunggu? Dogot? Bukankah ia “Ditunggu Dogot”?



"Apa yang membuatmu berpikir ia kesepian?" malam-malam pertanyaan itu muncul, tepat setelah saya berak ketiga kalinya hari itu. 

Ia berkali-kali menyebutkan bahwa kesendirian merupakan peran penting dalam pembuatan karya. Memang, kesendirian berbeda tipis dengan kesepian, tapi tetap saja berbeda. Bahkan, ia percaya bahwa setelah karyanya jadi, ia kemudian menghilang jika tidak mau dibilang mati.



Ah, sialan. Ia merayakan kesepian. Entah memang itu caranya untuk bertahan hidup atau tidak ada pilihan lain selain menjalankannya, mungkin juga tidak menikmatinya. Tapi, ia jug apernah bilang bahwa sendiri lah yang membuatnya bisa menulis. Lihai pula. Apakah kematian menyudahi kesepiannya?  



Kesepian malah mungkin menghidupinya, termasuk bayar tagihannya. Tapi, ini bagi saya, entah bagi dia. Menurutnya, keterbacaan lebih penting daripada kebenaran. Bagaimana kita membaca karya ini menjadi jauh lebih relevan daripada apa yang dimaksud pengarang.  

Kami menghabiskan malam itu dengan kesepian. Menolak mentah-mentah bujukan orangtua untuk maju ke pelaminan demi tidak kesepian di masa tua karena kesepian justru merupakan situasi istimewa ketika berpasangan. Bukankah membiarkan pasangan merasa kesepian tanpa merasa tersinggung atau mempertanyakan makna keberadaannya sebagai pasangan justru menjadi tingkatan lain dari hubungan? Memberikan ruang untuk sendiri sampai kesepian bisa merupakan bentuk kepercayaan kepada pasangan. Membiarkannya untuk berkeliaran sendiri, bahkan dalam pikiran dan perasaannya. Atau, sekaligus mempersilakannya terpuruk mengamini ketiadaan arti dari apa-apa yang ada, termasuk dirinya sendiri. 

Kesepian mungkin memang semenakutkan itu, tapi kita bisa belajar untuk mengatasi takut.


Bapak Tua, ternyata bagaimana rasanya? Apakah memang seperti yang dibayangkan? Apakah ini yang kita sebut-sebut dengan “kemakan karya sendiri”? 

Saya pernah berada dalam satu pembicaraan dengan teman saya. Kami membahas tentang karya-karya kecil kami yang kemudian menjadi nyata perlahan-lahan. Luka yang kami deskripsikan menyata dengan kehilangan yang tak bisa dinyatakan. Serapah kepada mereka yang menginjak nilai-nilainya sendiri kami nyanyikan sampai kami ternyata berada di barisan mereka. Bapak Tua, apa kami harus berhenti untuk menuliskan kegelisahan agar tidak memimpa kami? Atau, karya sebenarnya merupakan petanda yang kami ciptakan untuk mempersiapkannya?



Dalam obrolan panjang kali lebar malam itu, saya membacakan ulang puisi-puisi Bapak Tua di hadapan kekasih. Niatnya hanya pembuktian bahwa puisi Bapak Tua memang bau tanah, bukan hanya tentang Hujan di Bulan Juni. Puisi lain tentang Marsinah, tentang perempuan sekolah yang hamil dan dikeluarkan dari sekolah, tentang berita di koran. Bapak Tua, Anda ada benarnya juga. Berita di koran memang bisa membuat kita mencintai orang yang tidak dikenal, seperti cerita Anda pada “Tentang Mahasiswa yang Mati, 1996”. 
Tapi, saya lupa, saya penyangkal yang ulung. Ada sesak yang mengingatkan saya untuk karya-karya yang berusaha dimatikan, untuk kerja-kerja rakyat demi ketidakadilan. Sekaligus membayangkan kematian bapak sendiri dalam kematianmu. Dia mungkin sama sepinya. Duduk di teras, membayangkan anaknya yang tidak pulang-pulang, cucunya yang tidak nongol-nongol. Hanya cicak dan makanan basi yang tidak pernah ia keluhkan.


Anda sudah terlalu piawai membayangkan kematian. Kami masih belajar menerka kesepian untuk bertahan dalam hubungan.





Komentar