secangkir caramel latte, sebotol bir

Secangkit caramel latte panas dan sepiring calamari. Mari ceritakan aku tentang pemikiran orang-orang terhebat zaman dulu. Aku juga siap mendengar celoteh opini yang tak terlintas dalam benak ini. Pembicaraan mengawang-awang dan penuh kiasan ini membentuk senyum dan tawa kecil yang menyeimbangi seruput caramel latte yang mulai menghangat.

Sadarkah kau? Pembicaraan ini banyak menyimpan rahasia yang tak ingin diungkap. Banyak kiasan dan alih-alih pikiran orang yang kita luntarkan. Mencoba mengajak berpikir jernih, padahal hati ini sibuk menjernihkan apa yang dia bisikkan sejak semalam. Kemudian, kita sanggup pulang dan meredakan segala emosi beserta rasionalitas gegara obrolan tadi.

Sebotol bir dan sebungkus rokok. Asbak itu sudah penuh dan lelah mendengar tawa riang kita. Lelucon yang tak lucu pun bisa jadi pemicu gelak tawa kita. Mencoba keluar dari humor yang normal. Merendahkan selera sekadar ingin tertawa lepas. Omongan filsuf tak laku di sini. Dianggap merusak keadaan dan memaksa berpikir. Satu yang penting: berbahagia dengan tertawa. Tingkah laku orang pun kerap menjadi sasaran untuk bahan tawa.

Lagi-lagi, rahasia dalam hati ini masih tersimpan rapi. Sama sekali tidak disentuh. Hanya diperlakukan sebagai benda asing. Mencoba membujuknya untuk tenang dengan tawa yang terbahak-bahak. Kemudian, kaki kita melangkah pulang dengan sisa tawa yang seringkali masih terlihat. Hanya sisa itu yang ingin dibawa tidur tanpa dipikir ulang sesampainya di rumah masing-masing.

Ditulisnya naskah yang sederhana saja, tetapi mampu membuat berpikir lagi. Mengulang semua kejadian sehari-hari dan merombakya dalam sekejap. Berontak terhadap kepercayaan dan berusaha sepenuh tenaga untuk menenangkan hati dan ide. Setelahnya, diulang kembali undangan menyeruput caramel latte dan meminum bir bersama.

Komentar