Gunung Kapur di Pulau Dewata

Di sana serasa hanya ada kita bertiga. Aku, kamu, dan dia. Di antaragunung kapur yang terbelah. Terkesima dengan kelihaian pikiran manusia berikut kepanjangan tangannya dari besi untuk membelah alam. Meilhat karya manusia yang aduhai tinggi dan besar. Dibuat untuk dinikmati dengan cara dilihat, dicermati, dikagumi prose’s pembuatannya dalam bayangan. Tertegun saja kita bertiga di sana. Kirim senyam-senyum sana-sini. Berjalan beriringan menyusuri anak tangga. Naik dan turun semaunya. Tak ada garuda yang bisa kita tunggangi dari sini. Diam saja dia terpaku menanti Wisnu Kencana duduk di atasnya dengan gagak berikut setangkai teratai yang tak pernah luput dari tangannya.

Tak ada pelukan di antara kita bertiga. Tak terlihat mesra seperti yag dibayangkan orang-orang dengan gambaran bahagia. Cukup bersebelahan dan membiarkan satu sama lain saling menikmati. Apa saja yang bisa dinikmati. Suasana yang hanya milik kita bertiga saja, kehancuran alam yang dikagumi, lirikan lirih orang-orang, patung yang maha besar dan masih ingin menjadi yang terbesar adanya. Apa saja. Yang penting, kami saling menikmati dan tak saling mengganggu.

Mari, Ap, Am. Kita lupakan semua yang sudah tertanam dalam pikiran kita. Semua keharusan kita biarkan saja di sana. Jangan usik pula seperti kita yang tidak pernah slaing mengusik di atas gunung kapur itu. Rasakan semua kasih. Besok adalah rencana lain. Tak pernah lari walau kita kejar kencang. Tak bisa diam walau kita berusaha sekuat tenaga untuk memperlambat kedatangannya. Gunung ini pun sudah tak bisa kita satukan kembali. Besok adalah rangkaian cerita yang tinggal kita tunggu bisa dikisahkan dengan ekspresi apa. Tak perlu takut dengan hidup. Hidup terjadi. Begitu saja. Tanpa dipaksa dan tanpa diminta pula.

Komentar