beasiswanya
"Sayang, aku berangkat, ya. Aku mau ketemu sama Mas Ahmad dan istrinya."
"Lho, kok tumben? Ketemu di mana?"
"Iya, tadi dia telepon. Belum tahu ketemu di mana. Apa rencana kamu?"
"Aku mau pergi sama Bapak-Ibu. Makan malem mungkin."
"Bertiga aja? Kakak nggak ikut?"
"Kakak masih ada acara di kantornya, mungkin nyusul."
Setelah telepon itu ditutup, saya bergegas. Saya tidak sabar untuk menerima surat yang nanti dikasih oleh Mas Ahmad. Mas Ahmad adalah senior saya waktu di kampus. Sekarang, ia bekerja di salah satu lembaga donor internasional.
Seminggu yang lalu, saya memberikan abstrak skripsi dan surat motivasi kepada kantor Mas Ahmad. Mereka akan memberikan hibah untuk digunakan sebagai biaya sekolah di negaranya, Australia. Namun, abstrak dan surat motivasi itu bukan punya saya, melainkan punya pacar saya, Ben. Jadi, surat keputusan diterima atau ditolaknya diberikan langsung kepada saya.
Sejak pertama kali kenal, Ben mengerahkan usaha terbaiknya untuk melanjutkan sekolah lagi. Bahkan, akhir-akhir ini dia sudah hampir putus asa. Jadi,saya diam-diam mengirimkannya ke beberapa tempat yang menawarkan beasiswa. Saya tidak mau kasih tahu dia karena kalau ditolak, saya tidak tahan melihat kekecewaannya. Kalau berhasil, biarlah itu menjadi kejutan yang tidak akan dilupakan. Saya harap surat nanti bukanlah surat penolakan kelima yang saya terima diam-diam. Secara diam-diam pun, saya menaruh kekecewaan juga.
Saya masuk ke satu restoran yang baru saja dibuka. Dari parkiran, tempat itu terlihat sepi. Waktu saya masuk, saya hanya lihat ada dua meja yang terisi dan jaraknya berdekatan. Salah satu meja itu diisi oleh Mas Ahmad dan istrinya. Ia melambaikan tangannya ketika saya masuk.
Saya melempar senyum ke meja itu dan berjalan mendekatinya. Kemudian, saya melihat meja sebelahnya. Ada Ben, bapaknya, ibunya, dan satu perempuan yang saya pernah lihat. Ternyata mereka makan malam di situ. Saya menghampiri meja itu terlebih dahulu. Saya memberi salam. Di situlah saya terdiam. Berusaha tidak menghilangkan senyum. Perempuan itu bukan kakaknya. Saya tidak pernah melihat perempuan itu. Namun, mereka terlihat sangat akrab berempat.
Saya berjalan dengan penuh tanda tanya ke meja Mas Ahmad. Mas Ahmad langsung mengeluarkan surat yang masih tertutup rapat. Saya buka pelan-pelan, padahal pikiran saya masih bertanya-bertanya tentang perempuan di sebelah meja itu.
"Bagaimana?" tanya istri Mas Ahmad tak sabar. "Diterima. Berangkat dua minggu lagi," dengan wajah bahagia yang saya buat-buat karena pada saat itu saya ingat siapa perempuan itu. Perempuan itu adalah kekasih Ben sebelum saya yang hanya mengisi kehidupannya selama tiga bulan.
Saya bilang terima kasih kepada Mas Ahmad dan istrinya. Kemudian, saya pergi ke rumah Ben yang masih kosong dan memberikan surat yang baru saya terima kepada pembantunya. Ben berusaha menelepon saya, tetapi tidak pernah saya angkat. Saya hancur.
"Lho, kok tumben? Ketemu di mana?"
"Iya, tadi dia telepon. Belum tahu ketemu di mana. Apa rencana kamu?"
"Aku mau pergi sama Bapak-Ibu. Makan malem mungkin."
"Bertiga aja? Kakak nggak ikut?"
"Kakak masih ada acara di kantornya, mungkin nyusul."
Setelah telepon itu ditutup, saya bergegas. Saya tidak sabar untuk menerima surat yang nanti dikasih oleh Mas Ahmad. Mas Ahmad adalah senior saya waktu di kampus. Sekarang, ia bekerja di salah satu lembaga donor internasional.
Seminggu yang lalu, saya memberikan abstrak skripsi dan surat motivasi kepada kantor Mas Ahmad. Mereka akan memberikan hibah untuk digunakan sebagai biaya sekolah di negaranya, Australia. Namun, abstrak dan surat motivasi itu bukan punya saya, melainkan punya pacar saya, Ben. Jadi, surat keputusan diterima atau ditolaknya diberikan langsung kepada saya.
Sejak pertama kali kenal, Ben mengerahkan usaha terbaiknya untuk melanjutkan sekolah lagi. Bahkan, akhir-akhir ini dia sudah hampir putus asa. Jadi,saya diam-diam mengirimkannya ke beberapa tempat yang menawarkan beasiswa. Saya tidak mau kasih tahu dia karena kalau ditolak, saya tidak tahan melihat kekecewaannya. Kalau berhasil, biarlah itu menjadi kejutan yang tidak akan dilupakan. Saya harap surat nanti bukanlah surat penolakan kelima yang saya terima diam-diam. Secara diam-diam pun, saya menaruh kekecewaan juga.
Saya masuk ke satu restoran yang baru saja dibuka. Dari parkiran, tempat itu terlihat sepi. Waktu saya masuk, saya hanya lihat ada dua meja yang terisi dan jaraknya berdekatan. Salah satu meja itu diisi oleh Mas Ahmad dan istrinya. Ia melambaikan tangannya ketika saya masuk.
Saya melempar senyum ke meja itu dan berjalan mendekatinya. Kemudian, saya melihat meja sebelahnya. Ada Ben, bapaknya, ibunya, dan satu perempuan yang saya pernah lihat. Ternyata mereka makan malam di situ. Saya menghampiri meja itu terlebih dahulu. Saya memberi salam. Di situlah saya terdiam. Berusaha tidak menghilangkan senyum. Perempuan itu bukan kakaknya. Saya tidak pernah melihat perempuan itu. Namun, mereka terlihat sangat akrab berempat.
Saya berjalan dengan penuh tanda tanya ke meja Mas Ahmad. Mas Ahmad langsung mengeluarkan surat yang masih tertutup rapat. Saya buka pelan-pelan, padahal pikiran saya masih bertanya-bertanya tentang perempuan di sebelah meja itu.
"Bagaimana?" tanya istri Mas Ahmad tak sabar. "Diterima. Berangkat dua minggu lagi," dengan wajah bahagia yang saya buat-buat karena pada saat itu saya ingat siapa perempuan itu. Perempuan itu adalah kekasih Ben sebelum saya yang hanya mengisi kehidupannya selama tiga bulan.
Saya bilang terima kasih kepada Mas Ahmad dan istrinya. Kemudian, saya pergi ke rumah Ben yang masih kosong dan memberikan surat yang baru saya terima kepada pembantunya. Ben berusaha menelepon saya, tetapi tidak pernah saya angkat. Saya hancur.
Komentar
Posting Komentar