mutualisme

Hari ini seorang teman setengah memaksa minta bertemu pada larut malam. Saya duduk di meja itu sambil memesan kopi. Padahal, sebelumnya, saya sudah berjanji tidak akan meminum kopi lagi karena sudah dua gelas. Namun, jam-jam ini pun harus dilalui bersama kopi. Dengan mata lelah dan badan yang hampir tak bertenaga, saya tunggu dia yang katanya sudah dekat.

Sesampainya, temanku itu langsung memesan satu botol bir ukuran kecil. Matanya sembab, tapi justru menunjukkan wataknya yang begitu keras. Keras itu selalu kuartikan sebagai berani, bukan sebagai pemberontak tanpa toleran yang sering kali diinterpretasikan orang. Keras itu kuanggap sebagai kekuatan.

Aku sudah memutuskan sejak awal ajakan. Aku hanya bersedia sebagai pendengar. Rasanya, otakku sudah tak sanggup untuk menelaah ceritanya lebih lanjut, apa pun itu. Jadi, kudengarkan saja ia berceloteh.

Setelah kurangkum, ternyata dia merasa diperdaya oleh kekasihnya. Dia bilang, tidak terjadi simbiosis mutualisme dalam hubungan mereka. Salah satunya melakukan yang lebih daripada lainnya. Aku tertegun. Namun, aku tak sanggup mengurainya. Apalagi, segala emosi berserakan di meja itu. Bukan berarti emosi itu tidak baik. Buatku, emosi juga tak kalah dengan logika. Bahkan, kadang, emosi justru memegang peranan yang paling penting. Emosi justru bisa menyelesaikan masalah. Emosi sering kali berada di atas logika dan memberikan dampak positif. Sayang saja, semau orang sudah beranggapan bahwa emosi itu tidak sebaik logika.

Menurutku, simbiosis mutualisme itu adalah pemahaman yang menunjukkan pihak masing-masing mengalami keuntungan. Kalau salah satu pihak tidak merasa untung, salah siapa? Pada kasus tumbuh-tumbuhan, mungkin tumbuhan yang diuntungkan dapat dipersalahkan. Namun, pada kasus antarmanusia, menurut saya justru pihak yang merasa dirugikan yang perlu refleksi lebih lanjut, tanpa menyalahkan.

Manusia dapat berasa dan berpikir. Hubungan antarmanusia pun tentu saja selalu mencari keuntungan. Ketika tidak menemukan keuntungan apa pun, saya yakin pihak itu tidak akan kembali dan memisahkan diri jauh-jauh. Ketika merasa tidak diuntungkan, berarti pihak itu kurang mengolah hubungan sedemikian rupa karena tidak bisa mengais keuntungan.

Sebut saja hubungan orang tua dengan anak yang katanya tanpa pamrih apa pun. Apakah orang tua tidak punya harapan? Jika tidak sesuai harapan, bukannya mereka selalu menegur anaknya? Justru peran mereka menjaga sikap dan perilaku anaknya agar tetap pada jalur yang menurutnya masih benar. Menurut mereka, bukan menurut anak mereka. Ketika anaknya dibiarkan memilih jalan hidupnya, bukankah tetap ada harapan di sana? Dan, bukankah harapan merupakan bagian dari keuntungan? Itu adalah hubungan orang tua dan anak, apalagi hubungan antara dua insan dengan posisi tawar yang sebegitu terbukanya. Tentu saja, keuntungan ada di amna-mana dalam hubungan itu.

Hubungan dengan siapa pun adalah hubungan yang dianggap licik karena selalu mencari keuntungan. Padahal, dasar sistem manusia bersosialisasi adalah sistem keuntungan itu sendiri. Ketika mereka merasa diperdaya, artinya mereka lupa akan keuntungan mereka. Kemudian, mereka menjadi begitu marah karena tidak bisa menemukan keuntungan. Padahal, mereka sebenarnya yang kehilangan jejak untuk mencari untung.

Sayangnya, saya tidak bisa bicara mengurainya pada malam tadi. Setelah komposisi energi dalam dirinya mulai seimbang, ia baru bisa menerima omongan dari pihak lain. Kusimpan tulisan ini baik-baik jika nanti ada waktunya. Namun, malam ini meninggalkan pertanyaan. Kemudian, apakah arti ikhlas setelahnya?

Saya pulang dengan mata terjaga tanpa disertai kekuatan dalam tubuh. Mata ini sudah ditinggal lelah oleh organ tubuh lainnya. Maka itu, saya meminta kooperasi tangan sebentar untuk menyematkan kata pada pikiran.

Komentar