Pemandangan Kota Begitu Magis
Ada
sesuatu yang magis dalam pembicaraan di mobil. Orang kerap menunjukkan dirinya
dalam jeda pembicaraan. Berbicara—yang awalnya dimaksudkan—asal untuk mengisi
kekosongan justru menjadi penukik bagi dirinya sendiri.
Kami
kerap bicara tentang kerusakan sistem dengan carut-marut. Menuding orang-orang
yang hidup tanpa mencari arti. Pun saya tidak setuju, arti ada dalam
masing-masing. Macam seni, bagi saya yang tidak paham sama sekali, begitu
personal. Dan, ketika menyentuh kehidupan pribadi, tidak ada salah maupun
benar; hanya ada antara.
Kemudian,
kami juga bicara bagaimana semua begitu saling berkesinambungan. Satu bidang
akan bersentuhan dengan bidang lain hingga membentuk satu jaring rumit yang
saling berkelindan. Menjalani kehidupan dengan menuai arti bagi kami
masing-masing. Dan, di ujung pembicaraan itu, kami diam-diam sepakat bahwa ada
arti dalam keseharian kami. Apa yang dilakukannya begitu penting dan saya juga
mendapat pengakuan keseharian saya begitu penting. Pun, tidak terlepas juga
bahwa tidak semua hal mesti menjadi penting.
Sayangnya,
saya suka keceplosan. Dengan modal pengalaman yang minim, sering menganggap
wacana-wacana besar yang orang tuliskan atau ungkapkan serta-merta adalah sikapnya.
Padahal, kadang—atau mungkin seringnya—itu “hanya”-lah kemampuannya untuk
memotret keadaan.
Dalam
perjalanan di dalam mobil itu, saya menemukan tindakan-tindakan kecil (pun
kalau harus menilai itu sebagai sesuatu yang kecil) dari perkataannya tidak
sesuai dengan wacana besar yang digelontorkan. Pembicaraan bernas menjadi
kosong melompong. Tidak meresap dalam tindakan. Saya kecewa luar biasa. Ini
bukan marah karena—menurut teman saya—marah hanyalah perpanjangan tangan untuk
pamer ego, walaupun awalnya demikian. Setelah berproses, saya kecewa.
Ini
bisa jadi saya ampuni ketika berasal dari orang yang memang tidak bicara besar.
Jika ini memang berasal dari orang yang tidak percaya adanya profesionalisme
ala Karlina Supelli, bisa apa lagi selain “ya sudahlah”? Jika ini memang
berasal dari orang yang memutarbalikkan feminisme sedemikian rupa (merendahkan
posisi perempuan dalam kehidupan atas nama feminisme dan mengatakan “perempuan
ya memang begitu, laki-laki ya memang begitu”), ini tidak akan jadi persoalan
besar. Namun, ini berasal dari orang yang punya kesadaran. Tapi, apa yang bisa
diharapkan?
Berharap
tiap bidang melakukan kerja kerasnya masing-masing tanpa mau berkolaborasi
dengan sistem berkelindan tadi yang sudah rusak? Kerusakan di satu bidang
dianggap kegagalan atas kerja keras orang-orang di bidang itu saja. Selama
kerja keras sudah dilakukan di bidang lain, kemudian begitu permisif atas
ketaklukkannya akan kerusakan dalam bidang lain.
Hampir.
Saya nyaris kehilangan harapan akan keadaan yang jauh lebih baik; nyaris
kelupaan akan keyakinan terhadap sesuatu yang jauh lebih besar. Dan, seorang teman
mengingatkan saya bahwa hidup saya begitu aman; belum ada benturan berarti
untuk mengguncang kepercayaan. Betul memang, itu akan terjadi. Tapi, ini
mungkin malah jadi tamparan tajam. Pekerjaan rumah yang tersisa makin banyak.
Kerja keras selama ini belum membuahkan hasil apa-apa. Tak perlu lah bicara
tentang publik yang entah mewakili kelas mana atau genre mana. Ini belum sampai
mana-mana. Kejar-kejaran dengan kerusakan sistem dalam pemerintahan ini masih terus
berlangsung, bahkan mungkin tertinggal. Pasukan semakin berkurang. Dulu kawan,
ternyata lawan.
Ini
bukan harapan berlebihan akan kehidupan sebagai santa. Luce Irigaray jadi
pegangan saya, dia pernah bilang begini: kesalahan dalam mempraktikkan ideologi
dalam kehidupan sehari-hari itu biasa terjadi, itu adalah proses dari kesadaran
atas perlawanan dari budaya yang rusak. Maka, hinalah saya yang dikecam sok
mulia dan naif. Karena itu adalah keresahan saya. Saya memilih resah daripada
nyaman dalam kesemuan.
Bapak
teman saya benar. Perkataan adalah cermin akan kehidupan yang sebaiknya dijaga
betul atas nama kepercayaan. Dan, setelah cermin itu terlihat, saya merasa
kehilangan alasan untuk berbicara besar-besar lagi dengan orang-orang yang jiwanya
tidak terasuki dengan wacananya sendiri, apalagi dengan penuh kesadaran.
Ada
sesuatu yang magis dalam perjalanan di mobil. Pemandangan akan kehidupan kota
sehari-hari menjadi tanya yang seperti menghantui. Apakah iya kita hanya hidup
untuk diri sendiri dan menyerah pada sistem yang membuatnya demikian? Itu membangunkan
tidur yang memang sudah tidak lelap lagi. Pikiran-pikiran justru menjadi
penukik bagi diri sendiri.
Komentar
Posting Komentar