Trims, Tukang Pos


Dua bulan lalu, kakak saya memberikan pandangan yang sering saya dapatkan ketika saya sedang menulis surat. Dahi sedikit berkerut, menatap tajam agak lama, lalu tak acuh melanjutkan kegiatannya, entah berjalan, mengambil minum, atau memakai jaket. Pandangan itu sudah lama saya dapatkan, pun belakangan itu, sudah tidak ada pertanyaan lagi di ujungnya. Itu saya kira akan menjadi pandangan terakhir yang saya terima. Saya sudah  memutuskan untuk berhenti menulis surat.

Hitungan tahunan, saya kerap menulis surat. Tujuannya sama. Isinya berbeda. Kalau isinya sama, maka sayalah yang pantas untuk dikirimi surat; surat rekomendasi dengan tujuan Rumah Istirahat Pemalas. Ah, kenapa itu tidak saya lakukan sedari dulu? Saya suka pemalas! Apalagi, menjadi malas itu sendiri.

Beberapa bulan sebelumnya, kakak saya mengajukan pertanyaan, “Untuk apa menulis surat yang tak pernah mendapat balasan?” Saya menoleh untuk melihat wajahnya, “Kata siapa ini semua tidak pernah dibalas?” Dia jawab ringan, satu tangannya bertolak pinggang di sebelah saya, satu lagi memegang cangkir yang isinya air putih, “Tidak pernah ada surat selain tagihan yang datang di rumah ini.” Saya terus melihat matanya, “Itu bukan berarti surat saya tidak dibalas, kan? Banyak kemungkinan lain, mungkin kamu tidak melihatnya atau dikirim ke tempat lain atau balasannya tidak berupa surat.” Ia terlihat enggan menanggapi jawaban saya yang sudah tahu akan ambil jatah waktu kencannya dengan pacar kesekiannya.

Ia berjalan ke kursi depan pintu rumah. Pakai sepatu. Setelah terpasang sepatunya dan hendak berdiri, ia memanggil saya yang sudah serius menulis lagi. Tapi, ujung mata saya bisa melihat apa yang dia lakukan. “Dik, salah alamat kali.” Dia membuka pintu dan keluar, tak berharap ada jawaban.

Kakak saya ada benarnya. Surat saya tak pernah berbalas. Namun, kapok juga tak jera. Surat itu terus saya tulis. Terkirim dalam amplop cokelat rapi, berperangko, disertai alamat lengkap. Isinya tulisan tangan semua, tidak ada satu pun yang saya tik. Padahal, bisa jadi, jika saya tik dan mengirimkannya melalui surat elektronik, malah mengurangi usaha si penerima untuk memberikan balasan. Pun, itu kalau ada keinginan untuk membalasnya.

Saya lupa surat pertama saya isinya apa. Begitu pun dengan surat kedua, ketiga, keempat, dan selanjutnya. Saya ini pelupa. Pemalas dan pelupa. Paket komplit untuk dijadikan teman bagi yang suka cerita ngalor-ngidul dan hanya mau didengarkan. Saya tetap menulis surat dengan alamat yang sama. Isinya berbeda. Sampai dua bulan lalu, saya memutuskan tidak menulis surat lagi. Tapi, saya masih suka duduk di ruang makan. Dengan teh yang sudah jauh dari hangat, bekas bapak tadi sore. Seperti tadi malam, saya melakukannya lagi. Dan, saya masih saja mendapat pandangan itu lagi.

Tidak, tidak, ini tidak berakhir dengan saya kelupaan mengirim surat atau terlalu malas untuk mengirimnya hingga tertumpuk rapi di kamar. Bukan, bukan itu juga. Surat ini bukan ditujukan kepada ibu yang sudah tidak ada di rumah karena dia belum hadir dari awal cerita. Ini juga bukan untuk kekasih dan pujaan hati yang tidak menginginkan surat saya hingga tak berbalas dan saya sebegitu mencintainya untuk terus mengiriminya surat. Saya belum merasakan cinta semacam itu. Tidak, surat-surat itu juga tidak saya tulis diam-diam untuk kakak saya yang mungkin diderita penyakit. Dan, saya sendiri juga tidak punya penyakit kronis sehingga harus menulis surat untuk meninggalkan artefak perasaan dan pikiran. Saya cuma suka sakit gigi saja. Itu pun kadang-kadang.

Itu, apalagi. Surat-surat itu juga bukan ditujukan kepada anak yang diam-diam saya miliki dan berharap dia akan membacanya kelak, tapi disembunyikan oleh orang tua asuhnya. Surat-surat itu juga bukan untuk tukang bakmi ayam kesayangan di depan rumah yang hanya mengenal angka dan tidak kenal huruf dan begitu girang mendapatkan surat karena dianggap sebagai petanda keberuntungan tanpa tahu isinya apa. Saya belum punya niat sebaik itu untuk seakan memberikan kabar baik terus kepada orang lain. Bukan juga! Ini juga bukan saya tujukan kepada sahabat lawan jenis yang dua bulan lalu menikah dan menghilang, kemudian saya merasa kandas di tengah jalan.

Saya juga tidak muluk-muluk ingin menjadi seperti Kartini yang mengirimkan surat kepada sahabat-sahabatnya demi harapan dibukukan dan seolah memberikan harapan kepada orang. Harapan apa juga tidak jelas. Tenang saja, ini juga bukan dikirimkan kepada selingkuhan saya yang tentara yang selalu hidupnya selalu dipenuhi ilusi dengan perjuangan atas nama negara. Berharap surat saya berisi motivasi-motivasi untuk tetap bertahan di tempat asing baginya. Tidak, saya tidak punya selingkuhan. Bukan itu akhir cerita surat ini.

Ini sesederhana hanya surat lamaran kerja.

Komentar

Posting Komentar