Katanya, Sesat Pikir
Saya merasa dihajar berkali-kali dari berbagai arah. Babak belur. Ini bukan
bicara soal keadaan fisik, lebih pada apa yang sudah dipupuk untuk menumbuhkan
arti. Arti memang diciptakan masing-masing, tapi pertanyaan selanjutnya: untuk
apa. Kepercayaan saya digerogoti terus-menerus. Tidak diberi waktu untuk
membalutnya, pun membiarkan lapisan-lapisan terluar memperbaiki dirinya
sendiri.
Pertanyaan-pertanyaan menggerayangi saya. Mengganggu setiap rongga dalam
pikiran. Tanpa kenal tempat, tidak juga dipikirkan waktu untuk hadir.
Terus-menerus, tanpa berhenti, dan saya semakin merasa digerogoti seperti yang
dilakukan rayap: membuat rapuh perlahan-lahan.
Dan, hari ini, pertahanan saya tidak cukup kuat. Saya lunglai. Hampir
menyerah pada sesuatu yang saya pertahankan. Maknanya menipis. Sudah cukup juga
menyumpahserapahkan apa yang ada di luar saya. Toh, setelahnya, bisa apa?
Saya tidak mempermasalahkan kebabakbeluran ini. Jika itu memang harus
terjadi, setidaknya ini patut sebegitu layaknya. Dan, saya kehilangan kemampuan
untuk meyakinkan itu, seramnya, untuk diri saya sendiri. Tanpa berhenti, saya
kemakan omongan orang-orang di sekitar: kenaifan, ketidaktahuan akan area
abu-abu, ketidakpercayaan atas kemungkinan lain yang bisa dipelajari lewat
fiksi, ajakan untuk menerobos penghargaan terhadap perempuan—termasuk diri saya
sendiri—dengan begitu mudahnya, harapan semu terhadap pemimpin yang jelas
melanggar hak asasi manusia, ketidakpekaan sosial, perkosaan, nilai nyawa yang turun drastis, kerusakan sistem
pemerintahan. Berputar terus dan mengulang-ulang. Mengulang-ulang hal yang sama
tanpa bisa dilerai.
Apakah jika menolak itu semua, saya serasa hidup dalam bayangan yang saya
ciptakan sendiri? Begitu ilusif untuk hidup di negara utopis. Bahkan, saya
sempat meragukan bahwa ini semua saya anggap penting karena saya tidak punya
apa-apa lagi yang penting. Dan, untuk mengisi hidup yang seolah-olah bisa
dianggap lebih bermakna, saya comot hal-hal di luar sana dan kemudian
mengangung-agungkannya. Menyantap lahap ketidaksetujuan orang-orang yang bahkan
dalam lingkungan terdekat atas nama ilusi yang entah siapa lagi yang percaya
selain saya.
Ini seperti berperang melawan semua tanpa bekal senjata. Dan, pertanyaan
yang baru saja muncul adalah “apakah perang membutuhkan senjata?” Apakah perang
semata-mata hanya demi kemenangan? Bukankah perang juga bisa untuk perjuangan
itu sendiri?
Dalam pembicaraan sekilas, seseorang pernah mengatakan, “kadang kita
menilai diri kita terlalu tinggi.” Saya berbenah mempertanyakan hal yang sama.
Pun, saya seringnya malah merasa belum apa-apa, bahkan belum siapa-siapa. Saya
bosan dengan pembelaan saya yang tidak beda jauh dengan anak-anak sekolahan
untuk mengisi ulangan PPKn atau PMP. Begitu normatif; seakan tidak berkembang
dengan kesibukan sosial dan juga keadaan yang terus dinamis. Tapi, ini yang
saya percaya. Atau, malah, hanya ini yang saya percaya dan bahkan saya cuma
punya ini. Selainnya, tak ada. Tak ada apa-apa lagi.
Beberapa tahun lalu, ada pula yang bilang kepada saya, “Tapi, tidak
selamanya individu harus menyerah pada kemanusiaan.”
Sudah, sudah. Setidaknya, siang ini, saya ditampar bulat-bulat. Ini soal
diri saya dulu. Dan, hidup saya belum
sebegitunya.
Komentar
Posting Komentar