Sabatikal

Rindu bukan main. Seorang teman bilang, "Rindu tak mesti diadu." Terbaring lunglai tanpa kedatangan yang tergopoh-gopoh. Ia mendekam di dalam sekam. Tak perlu dipastikan, apalagi ditemukan.

Rindu itu seperti panggilan dari belakang, kataku. Membuat yang dipanggil tersenyum-senyum tanpa menolehkan kepalanya. Terus berjalan. 

Kata ayahku beda lagi. Rindu adalah pertanda dari ketergila-gilaan. Dan, itu menggairahkan. Bersamalah dengan orang yang menggairahkan, begitu pesannya. Tapi, Ayah, rindu ini bukan untuk kebersamaan. Ini semata perayaan akan kesemuan.

Benar, kan? Rindu tak perlu diadu. Temanku menolehkan kepalanya menghadapku. Nantinya malah bisa ada menang atau kalah. Sementara, rindu hanya memunculkan apa yang tidak pernah ada. Mengadunya hanya membuatnya semakin tidak ada.

Benar. Aku jawab tegas, rindu memang hanya sementara. Sisanya juga. Berarti, rindu tak serta-merta penantian.

Dengan senyumnya yang aduhai, ia bilang, rindu hanya untuk yang diam-diam. Siap menerkam.

Yogyakarta, 8 Mei 2014

Komentar