Surat untuk Bapak


Bapak,

Bapak ingat sewaktu sering mengantarkan saya ke sekolah setiap pagi? Karena keculunan, saya sempat setengah memohon untuk Bapak turun dan bilang keterlambatan saya kepada guru, tapi Bapak menolak. Bapak bilang, “Kalau saya terlambat, saya juga harus menanggung risikonya.”

Waktu itu juga pernah, saya masih duduk bermalas-malasan di kursi, padahal saya sudah bilang akan pergi kencan. Bapak bilang, “Ayo, siap-siap. Lebih baik menunggu daripada ditunggu.” Sekarang, saya selalu bolak-balik lihat jam kalau terlambat, kaki pun ikut goyang-goyang. Oh, apakah ini awal mula saya kerap menunggu pun saya sudah lama tidak kencan?

Bapak ingat sewaktu sering menjemput saya latihan basket yang hampir setiap hari? Bapak selalu masuk pada awalnya dan melihat saya disuruh berlari-larian tanpa henti. Akhirnya, Bapak kerap memilih untuk ada di depan saja. Kemudian, bapak menunggu sendiri sampai saya selesai membasuh dan sedikit bercanda dengan teman-teman. Bapak duduk sembari makan somay atau minum teh botol. Ketika masuk mobil, Bapak pasti tanya, “Kamu selalu secapai ini setiap latihan? Tapi, kamu senang? Bapak sampai ndak kuat lihatnya.” Dan, Bapak tidak pernah melarang saya untuk datang lagi keesokannya.

Bapak ingat datang hampir di setiap penghujung pertandingan basket saya? Bapak bilang, “Bapak nonton kalau kamu sudah di final saja.” Kemudian, saya begitu tidak sabar untuk pulang menagih janji Bapak untuk datang menonton.

Bapak ingat waktu Bapak selalu menanyakan berapa-berapa uang yang saya butuhkan tanpa memberikan lebih? Bapak ingat waktu perlahan-lahan tidak memberikan saya uang lagi sewaktu saya masih di bangku kuliah? Saya ingat dan hampir tidak mengerti. Kemudian, saya mulai putar akal untuk cari uang kecil-kecil demi kebutuhan yang tidak dibutuhkan sebenarnya. Hal-hal kecil yang dilakukan terus-menerus akan menghasilkan makna. Kemudian, saya selalu menaruh penghargaan lebih—pun diam-diam—kepada orang yang bekerja keras. Saya sampai curiga bahwa saya menghindari kemapanan karena kerja keras terlihat berkurang, sekali lagi, terlihat dan bukan berarti memang demikian. Sayangnya, saya sering kepelitek untuk melihat hal yang sama terhadap calon pasangan (padahal baru calon).

Selama ini, Bapak juga tidak pernah berkomentar tentang pasangan saya. Bapak ingat Bapak selalu menunjukkan? Kalau Bapak bilang, “Sudah malam” sewaktu ada pacar saya, itu tandanya pacar saya perlu cari pasangan lain saja kalau hanya mau iseng-iseng. Iseng-iseng kok perlu usaha lebih? Tapi, kalau Bapak sudah menawarkan makan kepada pacar saya, itu sudah masuk zona aman, apalagi kalau Bapak sudah minta tolong. Itu sama seperti tiket terusan di Dunia Fantasi. Padahal, saya sibuk menjelaskan sesudahnya, “Bukan yang ini, ini sahabat beneran, bukan jadi-jadian.” Namanya, salah kasih tiket terusan.

Pada lain waktu, Bapak ingat waktu bilang ke Ibu, “Biar saja kalau anaknya senang.”? Pagi itu, kita bertiga sedang bicara tentang pekerjaan saya yang menghabiskan banyak waktu dan berbanding terbalik dengan penghasilan. Sebelum beranjak dari meja makan, Bapak bilang, “Tempat kerja yang bikin senang itu susah, lebih mudah cari uang.” Kemudian, Bapak juga sempat menanyakan, “Kenapa saya tidak bisa melakukan sesuatu setengah-setengah?” Saya ingin balas tanya ke Bapak, “Oh, bagaimana cara cari uang yang mudah?” tapi itu sepertinya akan mengecewakan Bapak karena menganggap saya salah menangkap nasihat yang dibungkus itu.

Bagaimana dengan soal boneka? Bapak ingat kasih saya kado boneka Donal Duck sewaktu saya di rumah sakit? Pulang kerja, Bapak datang sambil menenteng boneka. Mungkin, itu satu-satunya cara yang Bapak tahu. Pun saya sebenarnya lebih suka Daffy Duck, tapi selama masih bebek, saya memaklumi. Dan, Bapak ingat pernah kasih saya boneka lain? Waktu wisuda, Bapak dan Ibu diam-diam membeli boneka di Balairung. Sewaktu saya datang menghampiri, Bapak dan Ibu kasih saya boneka itu, “Selamat,” kata kalian. Di antara teman-teman yang memegang rangkaian bunga, saya menenteng boneka hadiah dari Bapak dan Ibu dengan bangga.

Bapak ingat bilang ke saya untuk terus sekolah supaya bisa seperti Sri Mulyani? Rapat dengan Sri Mulyani waktu itu begitu berbekas di benak Bapak. Bapak pulang dan menceritakan dia dengan menggebu-gebu. Kemudian, menyelipkan harapan untuk saya menjadi seperti dia.

Bapak ingat ketakutan Bapak sewaktu Debbie pertama kali menginjakkan kaki di rumah? Bapak khawatir dengan badannya yang besar dan juga kenakalan-kenakalannya yang dapat dimaklumi. Bapak pun sampai rela melepas ayam-ayam kesayangan Bapak demi Debbie yang tidak tahu cara mengajak mereka bermain hingga ayam-ayam itu harus meregang nyawa. Kemudian, pada akhirnya, Bapak berakrab dengan ketakutan itu, bahkan tak bisa lepas dari Debbie. Ke mana pun, Bapak ingat Debbie. Kalau saya pulang ke rumah, cerita Bapak ya soal Debbie. Minta saya pulang mendadak, tahunya perkara kenakalan Debbie yang tak sanggup untuk tidak diceritakan secara langsung sambil terbahak-bahak. Sampai Debbie akhirnya tergeletak tak berdaya, Bapak menatapi proses pemakamannya. Pesan saya akan kesedihan Debbie tak digubris oleh Bapak. Dua hari kemudian, Bapak sakit. Saya curiga Bapak mengalami kesedihan mendalam sepeninggal Debbie. Memang, ya, Pak. sesuatu yang baik sering dimulai dengan ketakutan. Ketakutan perlu diakrabkan hingga menjadi hampir tak berjarak dengan kebaikan.

Bapak ingat pernah saya tanya apa yang membuat Bapak yakin untuk menikahi ibu? Bapak bilang, Bapak begitu mudah rindu dengan Ibu. Sehari tidak bertemu, pasti mencarinya. Itu tanda dari kemenggebu-gebuan. “Mungkin, itu yang orang bilang cinta.” Begitu kata Bapak. Saya meresapi perlahan-lahan.

Bapak ingat kritik-kritik tajam dilontarkan kepada saya tanpa nada tinggi, justru dengan tawa berderai sambil mengusap kepala atau punggung? Sejak itu, saya mendapatkan cara yang nyaman untuk menyampaikan kritik kepada saya. Penyebab dan penawar diberikan sekaligus.

Saya tahu dari sekian banyak pertanyaan saya tadi, Bapak lebih banyak tidak ingat. Saya ingat betul waktu Bapak cerita Bapak kehilangan banyak memori selepas operasi yang terakhir. Setidaknya, mencintai ternyata tidak perlu memori, ya, Pak.

Selamat ulang tahun, Bapak. Saya akan melewatkan perayaan ulang tahun Bapak tahun depan. Sampai ketemu dua tahun lagi, Pak. 

Komentar