Tukang Kampanye
Dokter gigi adalah tukang kampanye strategis. Pemilihan
kata tukang tentu saja semata
menggunakan rasa bahasa. Ini pilihan dengan penuh kesadaran. Alih-alih
menggunakan kata juru, kata tukang lebih sesuai dengan konteks untuk
cerita ini.
Dalam KBBI, juru diartikan
sebagai ‘orang yang pandai dalam suatu pekerjaan yang memerlukan latihan,
kecakapan, dan kecermatan (keterampilan).’ Padahal, dokter gigi dalam urusan
kampanye hanya berurusan dengan hal yang biasa dilakukan dan itu lebih tepat
menggunakan kata tukang; sesuai
dengan definisinya.*
Jarum suntik anestesi di depan mata. Semakin dekat
terlihat lebih besar. Ilusi optik. Artinya, semakin besar terlihatnya juga
semakin besar rasa takut yang diakibatkannya. Masker terpasang untuk menutupi
mulut sang pemegang suntikan. Itu bukan berarti omongannya tidak jelas
terdengar, pun begitulah harapannya.
Ada jeda untuk menunggu anestesi itu berhasil hingga sebagian
mulut kebal tanpa rasa. Untuk mengisinya, ia berkomentar tentang debat capres
ketiga yang baru saja terjadi dua hari lalu. Komentarnya menukik, saya
menanggapinya dengan—berusaha—tertawa. Tapi, ternyata mulut saya sudah mulai
terasa kebal. Dia bilang, “pertanyaannya apa jawabannya apa”. Dan, dengan
bahasa daerah yang bisa saya pahami, dia melanjutkan, “Kayak gitu kok mau jadi
Presiden. Bagaimana?”
Mungkin untuk menyamakan frekuensi, dia bertanya kepada
saya, “Kamu pilih siapa?” Dua jari saya acungkan, tentu karena mulut saya sudah
tak punya daya. Ini adalah pelajaran berharga untuk diri saya sendiri: berdiri
percaya diri di antara barisan orang yang berbeda pendapat. Bagai satu gula
yang dirongrong semut untuk dihabiskan tanpa sisa. Perumpamaan itu tidak ada
hubungan sama sekali dengan rasa manis.
Operasi dimulai, tapi ocehan tentang capres kubu seberang
tak selesai-selesai. Terus-menerus sampai beberapa kali gerakan mencongkel gigi
diberhentikan untuk memberikan penegasan dengan mata menatap yang membelalak.
Setelahnya, saya memilih menutup mata sepanjang berada di kursi singgasana yang
selalu ada di ruang dokter gigi.
Ocehannya memutarbalikkan fakta. Komentar ejekan yang
tidak berpijak pada substansi dilontarkan. Parahnya, sekali lagi, parahnya,
keberpihakan terhadap masyarakat “kecil” (istilah yang dipinjam langsung dari
ucapannya) dianggap sebagai sesuatu yang sepele. “Kita sebagai kelas menengah
atas bisa saja boikot negara. Mau apa dia dengan negara ini kalau begitu?”
Sungguh, saya yakin, kata kita juga digunakan
karena ketakpahamannya, mungkin yang dimaksud adalah kami.
Saya tidak merasa menjadi bagian dari kelompok tempat ia
berdiri. Pun kalau mengecek sisa uang di dompet saya untuk meneruskan kehidupan
sehari-hari, dia akan segera mengeluarkan saya dari kelompoknya itu. Semua
tabungan saya terkuras habis untuk diberikan kepadanya. Dan, saya rela demi
gigi, bukan demi kampanye sontoloyo. Saya lupa pesan, “Tanpa kampanye, ya.” Bahkan,
untuk mendengar celotehan kampanyenya, saya harus bayar.
Dari semua itu, hal yang paling membuat saya amat
tersiksa adalah ketakberdayaan saya. Dia mengeluarkan segala amunisi tanpa ada
perlawanan apa pun. Senjata saya lengkap, tapi saya tak berdaya. Mulut menganga
ditambah kebas sebelah. Bicara pun tidak bisa.
Tanda tukang kampanye andal adalah keberhasilannya
merajuk orang lain untuk sepihak dengannya. Untuk itu, dia kalah telak. Di
bawah itu, setidaknya, dia berhasil meracau sepuasnya tanpa mendapat tanggapan.
Untuk itu, masih menang, pun tidak telak.
Sesampainya keluar dari ruangan itu, saya menangis
sejadi-jadinyalah. Ketakberdayaan berhasil membuat kekesalan memuncak tanpa
ampun. Dan, di situ saya juga belajar kata mewek.
Ketika menangis sejadi-jadinya, bibir membentuk kata mewek dalam waktu yang cukup lama. Ah, tukang kampanye sialan!
*Bisa dilihat langsung di KBBI, pun dalam jaringan.
Sekali-kali cari makan sendiri, tidak melulu disuapi.
Komentar
Posting Komentar