Biasa
Saya memilih tempat duduk
di samping kaca tembus pandang yang samping tangga dari bawah. Selain saya
hanya diperbolehkan duduk di meja dengan dua bangku, saya ingat betul meja ini
adalah tempat pertemuan terakhir kami. Pelayan tidak langsung berlalu, dia menunggu
tepat di sebelah meja. Untuk membiarkannya terus bekerja, saya memesan satu
botol bir. Atau, jangan-jangan, waktu itu, sebaiknya saya membiarkannya lebih
lama di situ biar dia bisa istirahat barang sebentar. Ah, tapi tidak juga,
bahkan menunggu pun baginya bukanlah istirahat, melainkan bagian dari
pekerjaannya. Bisa jadi, dia malah menikmati menunggu itu? Apa pun, pada
malam-malam di jam puncak keramaian, dia memang diharapkan tanpa istirahat.
Usaha saya untuk menyelamatkannya dari kekejaman malah mungkin bisa dianggap
kekejaman lain. Baik, saya tidak merasa bersalah tentang keputusan saya malam
itu untuk langsung memesan satu botol bir.
Sepeninggalan pelayan itu,
saya membakar rokok, lalu mengambil telepon pintar dari kantong jaket saya.
Rokok saya taruh di asbak, pesan pun mulai diketik, “Saya sudah sampai. Atas.
Tempat biasa.” Biasa? Saya sendiri tidak yakin dengan istilah “biasa”, saya
baru kedua kalinya duduk di tempat itu. Hapus “biasa”. Dia pasti bisa melihat
ketika naik tangga. Kemudian, akhirnya, saya memutuskan untuk menghapus semua
pesan. Tidak perlu konfirmasi rasanya. Kami adalah dua orang yang jauh lebih
sering menepati janji daripada membatalkannya, apalagi detik-detik terakhir.
Dan, dia rasanya tahu bagaimana cara mencari saya di tempat yang tidak sebesar
lapangan futsal.
***
“Kamu. Iya, selalu kamu.
Selama ini memang selalu kamu. Dan, saya sudah menantikan waktu ini sejak lama,
tapi saya kira ini tidak pernah terjadi. Dan, ketika ini terjadi, rasanya aneh
betul. Saya mendadak meragukan segala yang selama ini selalu saya yakinkan
kepada diri saya sendiri.”
“Seperti apa? Saya bisa
coba membantu untuk meyakinkan daripada kamu melakukannya dengan diri kamu
sendiri.”
“Seperti apa? Banyak hal!
Pertanyaan kamu tadi datangnya dari mana? Kamu menanyakan ini dalam situasi
seperti apa? Apa yang terjadi setelah ini?”
Saya tersenyum melihat dia
gelagapan. “Mau mulai dari mana?”
“Tapi, ini tidak
seharusnya begini. Kamu tidak pernah membiarkan saya membantu kamu. Sama
sekali. Saya menganggap itu sebagai tanda bahwa saya tidak punya peran besar
dalam hidup kamu. Dan, saya sudah selesai untuk berdamai dengan diri saya untuk
menerima keadaan itu. Tapi, sekarang, saya malah merasa seperti ditusuk
mendadak. Ini seperti dikejutkan seekor singa siap menerkam yang saya kira
sudah mati.”
Saya tidak bisa berhenti
tersenyum. Tangannya bergerak bebas untuk mengekspresikan omongannya. Ini hanya
terjadi ketika dia berada dalam keadaan terlalu. Dalam keadaan biasa, orang di
depan saya akan terlihat begitu tenang dan pendiam. Sesekali, dahinya terlihat
berkerut di sela omongannya. Beberapa helai rambutnya jatuh semaunya menutupi
mata kanannya. Dia dua kali menyelipkan rambutnya di kuping selama bicara.
“Seru, kan? Hidup memang
penuh dengan kejutan. Kali ini, kejutannya dari saya.”
Saya tidak akan lupa
tatapannya setelah itu. Dia melihat saya, begitu dalam. Saya biasanya akan
mengelak, namun dalam situasi ini, saya memilih untuk membalas tatapannya,
tanpa menantang. Membiarkannya menerawang melalui mata saya, dia pernah bilang
dia bisa melakukannya. Mencari intuisi melalui tatapan tajam. Saya tidak
melepas sama sekali tatapannya; salah satu cara untuk meyakinkannya juga.
***
“Tapi, mereka lupa bahwa
sebesar-besarnya mereka mau mengangkat isu minoritas, mereka tidak mewakili
bagian dari minoritas itu sendiri. Dan, itu jauh lebih ironis. Seakan-akan
usaha perempuan dan keluarganya dan juga kelompok terkait dalam film itu untuk
membentuk identitas sejak lahir hanya dipandang sebelah mata. Kemudian, dia
datang sebagai seseorang yang mewakili kaum dominan seolah-olah sebagai
penyelamat dan mempunyai kekuasaan untuk melakukan suatu hal yang jauh lebih
baik. Apakah itu namanya menebalkan anggapan bahwa untuk memperjuangkan sesuatu
membutuhkan “uluran tangan” dari mereka? Sekaligus menebalkan dominasi mereka?”
“Tapi, siapa yang dimaksud
dengan mereka? Apakah mereka semua sama? Atau, apakah si minoritas ini juga
sama? Kita tidak bisa main-main dengan menyamaratakan siapa “kita” dan siapa “mereka”.”
“Saya harap kamu juga
tidak main-main dengan pertanyaan kamu. Itu adalah hal yang penting, setidaknya
bagi saya.”
Saya tersesat dengan
responsnya. Saya kehilangan arah untuk menyantolnya di topik yang mana,
pembicaraan kami sudah melalang buana.
***
Saya tidak akan lupa
tatapannya setelah itu. Dia melihat saya, begitu dalam. Saya biasanya akan
mengelak, namun dalam situasi ini, saya memilih untuk membalas tatapannya,
tanpa menantang. Membiarkannya menerawang melalui mata saya, dia pernah bilang
dia bisa melakukannya. Mencari intuisi melalui tatapan tajam. Saya tidak
melepas sama sekali tatapannya; salah satu cara untuk meyakinkannya juga.
Dia menutupnya dengan
senyuman. Menarik bagian leher kaus putihnya yang turun ke pundak dan
memperlihatkan tali bra berwarna hitam. Menggulung rambutnya. Saya bisa
menjelaskan dengan detil bagaimana dia memutar-mutar rambutnya, menggulungnya
sedemikian rupa, dan mengikatnya dengan karet hitam, seperti yang biasa dia
lakukan. Leher jenjangnya terlihat lebih jelas.
Seberapa banyak biasa yang
kami punya? Segala serba biasa. Banyak pula yang bisa jadi biasa. Ini hari
biasa. Hanya beberapa orang yang bisa membubuhkan luar dalam setiapnya.
***
Pelayan tadi datang
memberikan bon yang kami minta. Dia tersenyum, mengajak kami berbicara tentang
hal yang tidak terasa seperti remeh temeh. Entah itu menjadi bagian dari
pekerjaannya atau dia sedang berusaha mencari hiburan untuk dirinya sendiri
dengan melakukan pembicaraan dengan orang lain atau ada alasan lain.
Komentar
Posting Komentar