(g)ojek: angkat gelasmu
Saya sudah tidak berada di
Jakarta selama hampir 10 bulan setelah hampir 30 tahun menghabiskan waktu di
kota itu, mungkin Jakarta mengalami perubahan besar-besaran. Ketika saya
meninggalkan Jakarta—dan berjanji untuk kembali, kemacetan membuang banyak waktu,menghabiskan
energi, juga meningkatkan rasa frustasi. Pun, saya pribadi kadang menikmati
kemacetan itu sendiri. Untuk menyiasati keadaan itu, saya kadang memilih ojek
untuk menjadi salah satu andalan saya untuk berpindah dari satu tempat ke
tempat lain.
Di sela-sela kemacetan,
saya dan supir ojek yang nyaris selalu berganti-ganti sering bertukar cerita.
“Saya punya loker sendiri di masjid untuk nyimpen sepatu ama baju bola, Neng.
Istri saya nggak ngebolehin saya main bola. Nggak ada duitnya, katanya,” salah
satu ceritanya. Beberapa hari lalu, saya membaca cerita teman saya yang ditanya
supir ojek langganannya, “Neng, nggak ke kantor? Sakit? Mau bubur?” Saya sempat
bertanya kepada salah satu sahabat saya, “Jadi, siapa sedikit nama yang bisa
kamu sebut yang masuk dalam daftar orang yang paling kamu percaya?” Dia
kemudian menyebutkan nama supir ojeknya di deretan paling atas.
Cerita-cerita semacam itu
membuat saya yakin bahwa ojek bukanlah sekadar transportasi umum yang
menyelamatkan warga Jakarta dari keterburu-buruan, tetapi ada jalinan hubungan
sosial di dalamnya. Hubungan sosial semacam itu nyaris menjadi barang langka;
begitu sederhana, remeh-temeh yang berarti, hingga keterikatan yang begitu
tiba-tiba. Tentu, saya juga tidak menyangkal banyak pengalaman tidak
menyenangkan tentang supir ojek, tetapi adanya gradasi terkait pengalaman
dengan ojek dan juga kebutuhan setali dua tiga uang juga perlu dipotret untuk
melihat ojek dari berbagai sisi. Termasuk gojek, pelayanan yang sedang
dipuja-puja di media sosial.
Cerita-cerita tadi bukan
berarti sirna ketika supir ojek di pangkalan digantikan dengan kehadiran gojek
atas nama teknologi, efisiensi waktu dan uang, kepercayaan, juga keselamatan
supir ojek sendiri yang katanya dapat asuransi kesehatan. Pun demikian, cerita
tentang supir gojek yang dikucilkan oleh supir ojek pangkalan, perlakuan
semena-mena pengguna gojek, dan kekerasan oleh supir ojek pangkalan yang
dialami supir gojek membuat saya bertanya-tanya.
Penggunaan teknologi yang
katanya salah satu hasil modernisasi tentunya bukan tanpa konsekuensi.
Interaksi sosial tentunya berkurang. Semuanya dimulai sejak mencari dan
menunggu supir ojek pangkalan. Menanyakan tujuan, kemudian kadang ia
menanyakannya ulang kepada beberapa teman supir ojek lain yang lebih tahu atau
lebih berminat, juga tawar-menawar harga yang kadang dilakukan di awal. Itu
hanya contoh saja. Tapi, proses itu sudah digantikan teknologi tentunya. Apakah
kita sudah sebegitu menghindari interaksi sosial? Mohon jangan salah sangka
dulu. Saya bukannya antigojek. Saya yakin pada situasi-situasi tertentu, gojek
adalah jawaban yang bisa diandalkan. Tapi, untuk membeli makanan yang sebegitu
diinginkan, apakah itu itungan kita untuk mempertaruhkan interaksi sosial? Apakah
perjalanan ke pangkalan ojek dengan panas yang begitu menyengat menjadi begitu
prioritas? Pangkalan ojek yang jauh dan hanya bisa ditempuh melalui jalan
remang-remang pada malam hari, tentu menjadi salah satu pertimbangan bagi saya
seorang perempuan untuk memilih gojek. Atau, mungkin situasi-situasi lain yang
di luar bayangan saya tapi mungkin terjadi. Sebatas apa toleransi kita terhadap
pemutusan interaksi sosial di kota yang makin minim komunikasi? Bukankah
kepercayaan juga dimulai dari interaksi?
Selanjutnya adalah perkara
lapangan market—seskeptis apa pun saya terhadap makna kata itu. Saya membaca
komentar-komentar yang memojokkan supir ojek pangkalan semacam, “Masa nggak
bisa terima bahwa ada orang lain yang lebih sukses dan dapat banyak customer?” Ada hal yang suka kelupaan,
yaitu akses. Ini bukan perkara rezeki yang katanya dari Yang Maha Kuasa semata.
Tetapi, kesempatan semacam itu datang dari akses. Apakah mereka punya akses ke
internet? Apakah mereka punya akses untuk mengelola aplikasi modern itu? Tentu
saja, ini kembali lagi bahwa orang yang lebih “beruntung” adalah orang yang
punya “modal”, mulai dari modal ekonomi, modal manusia (keterampilan,
kepercayaan), juga modal sosial. Dalam hal ini, saya juga sadar bahwa gojek
juga menciptakan ruang baru bagi banyak orang untuk bergabung dan menawarkan
keuntungan, seperti asuransi. Lapangan kerja baru, ceunah.
Saya punya pertanyaan
untuk itu, seberapa banyak gojek bisa menampung orang lain? Tidak, saya tidak
mau angka menjadi jawaban dan dianggap selesai. Angka seringnya membutakan kita
terhadap kedalaman perkara dan juga ketidakadilan yang ditutupi dengan angka
yang mewah-mewah. Statistik? Maaf, saya kurang tertarik, tetapi justru apa yang
ada di balik jumlah yang muncul. Ini adalah “permainan” sistem. Ini menebalkan
juga sistem yang tidak adil. Seakan-akan, kita harus masuk dalam sistem yang
dominan (terdaftar, asuransi, dikendalikan) untuk bisa mendapatkan sesuatu yang
lebih. Bagaimana dengan orang-orang yang hampir selalu berada di luar sistem,
tepatnya terpinggirkan oleh sistem? Mereka akan tetap demikian. Nasib? Oh,
kakak, nasib cenderung ditentukan oleh sistem. Sistem punya siapa? Siapa yang
membentuk sistem dominan? Tanyakan kepada yang berkuasa.
Membiarkan segala
sesuatunya berjalan sesuai sistem yang tidak adil dan menyuruh orang-orang yang
terpinggirkan oleh sistem untuk mencari siasat masing-masing sama saja dengan
menggampar-gampar orang yang bilang bahwa “siapa suruh digampar mau saja?”
Kenapa tidak pernah ada wacana untuk meminta pemanut sistem dominan—termasuk
saya tentu saja—untuk membangun jalan tol sendiri demi mobil-mobil pribadinya?
Orang-orang yang tidak punya akses terhadap sistem dipaksa untuk beradaptasi sendiri
dan orang-orang yang menguasai sistem difasilitasi terus-menerus.
Mungkin, orang yang masih
menyangkal keberadannya dalam sistem dominan akan mengatakan, “Mereka bisa
bekerja lebih keras. Lihat saja mereka di pangkalan, hanya duduk-duduk,
merokok, kadang berjudi.” Apakah kita bisa menilai orang hanya dengan
melihatnya sekilas? Kita tidak pernah tahu apa yang mereka lakukan ketika
mereka tidak ada di depan mata kita. Bisa saja, mereka sudah banting tulang
menjaga orang-orang di rumah atau bekerja di tempat lain yang tidak kalah
menyiksanya dengan bayaran tidak kalah sedikit. Atau, mereka kelelahan setelah
dikejar-kejar kuntilanak, pingsan, dan pas bangun, sang kuntilanak masih
menunggunya dengan senyuman khas yang tak terlupakan. Pun, mereka melakukan
sesuatu yang kita anggap bodoh, apakah ada orang-orang yang tidak mempunyai hak
lebih sedikit untuk bisa menikmati suasana santai atau melakukan hal bodoh? Apa
yang membuat kita merasa lebih pantas untuk menilai kita lebih rasional dalam
mengambil tindakan dan lebih layak untuk bersantai-santai? Semua manusia adalah
manusia yang boleh mengambil keputusan bodoh dan bersantai-santai.
Bagaimana kalau begini:
sepulangnya saya nanti ke Jakarta, kita lanjutkan obrolan soal ini. Mungkin
ditemani sebotol bir dingin seharga Rp17.000, sebungkus rokok seharaga
Rp16.000, sepiring sushi seharga Rp45.000—yang mungkin itungannya per
orang—jangan lupa, kita pesan itu semua pakai gojek untuk menambah rezeki
mereka sambil mencaci maki bedanya dengan ongkos ojek yang beda Rp20.000. Kita juga bisa menyelipkan obrolan soal hak asasi manusia atau persoalan kelas atau juga pasar-pasar yang sedang tren. Sistem?
Ah, kita bisa apa? Tapi, percayalah, semua ini tidak mengurangi keinginan saya
untuk kembali ke Jakarta. Mungkin, ini yang mereka sebut dengan cinta. Tetap
ingin bertahan, pun banyak protes. Oh, iya, nanti kita posting juga foto-foto kita sewaktu ngobrol, ya, dengan #gojek
tentunya. Atau, #bajakjakarta?
Komentar
Posting Komentar