Jakarta - Juanda

Selamat siang, Jakarta. Ini kota bukan soal Soekarno-Hatta belaka. Saya enggan berbagi senyum di bandar udara, terlalu nestapa. Itu mengingatkan kita bahwa pertemuan kait-mengait dengan perpisahan. Kita sama-sama suka berada di antaranya; setelah pertemuan dan sebelum perpisahan. Tapi, kenapa kita begitu takut akan perpisahan? Saya teringat bapak teman saya pernah bilang, “Dia yang pergi dan kembali memang bermakna untuk saling-menyaling”. Pun, kita juga sama pengalaman bahwa itu tidak selalu demikian. Karena kembali bukan untuk satu seorang. Lupakan bahwa kita adalah orang yang tergila-gila pada satu.

Ceritakan kembali tentang cara bertahan hidup bertahun-tahun hanya dengan seratus ribu di kantung. Jangan lupakan kegagalan untuk menjadi ahli tata kota yang beralih ke dunia kata yang tak kalah suram semata. Boleh juga beri saya canda tentang cerita kolektif di warung kecil yang membuatmu merasa gagal melakukan bunuh diri kelas. Atau, kisahkan kembali ketika kepercayaan ditelantarkan atas nama pengakuan. Menjual penderitaan mereka untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Saya tahu, kamu akan membela mati-matian bahwa ini bukan soal profit, melainkan berbicara atas nama mereka. Tapi, kamu bukan mereka, Kasih. Jual isu hak asasi demi sesuap nasi dan merasa pahlawan yang tidak basi. Kesorean, Kasih, kesorean.

Debat kusir ini tak akan kunjung selesai, justru getir yang tak lerai. Kamu tak mau mati setelah mengarang, pun ajal sudah menjemput sedari tadi. Ini bukan larangan atau kritik berlebihan, lebih ke penyadaran bahwa kota semakin usang, kata jua tak mensiasati ruang. Apalagi cinta. Tersesat di duka lara. Ada ketika merana. Disangkal ketika berbunga. Setidaknya, saya belajar bertahan hidup dari kepelikanmu. Hidup saya terlalu aman walaupun sudah tidak nyaman.

Lepaskan dulu topimu, Kasih, biar dia potong rambutmu yang sudah memanjang. Kemudian, kita bisa melangkahkan kaki menuju halte Transjakarta. Menantang terik yang semakin bersahabat sebelum berusaha menggapai pegangan yang menggantung terlalu tinggi di dalam bus nanti sembari berdesakan. Sampailah kita nanti di tempat tujuan. Saya lebih girang bertukar akal di terminal. Saling pandang untuk meyakinkan bahwa perjalanan dari Lebak Bulus ke Purabaya lebih masuk akal untuk diulang berulang. Esok paginya, kacamatamu masih tergeletak di meja makan. Kita masih saja berusaha untuk mengundur perpisahan.


Selamat sore, Jakarta. Tanpa daya, kota ini selalu menawarkan harapan yang tak pernah terjadi. Saya di Schipol dan kamu di Juanda. Sementara, kita tidak pernah saling bertemu, apalagi mengenal.

Komentar