Dari Den Haag, Untuk Jakarta
Senja kemerah-merahan dari Dorus (pukul 20.22 CEST) |
Saya tidak punya
kepandaian dalam meredam duka nestapa orang lain, jua diri sendiri tentu saja.
Tapi, biarlah luka saya dibicarakan nanti-nanti saja, kalau ada waktu yang
berlebihan. Satu kalimat yang saya keluarkan hanyalah, “Kesenangan orang lain
bukanlah tanggung jawab kita. Berdamailah dengan itu.” Kira-kira, itu adalah
kalimat andalan. Tapi, sekaligus tersadar juga, bukankah itu menimbulkan
ketidakpedulian yang membabi buta? Padahal, setiap hari terasa indah karena
kepedulian yang tidak menjadi rutinitas, kepedulian yang begitu tiba-tiba.
Kejutan di sudut-sudut kota, kekagetan di sela-sela kata. Pun, lagi-lagi, belum
tentu demikian.
Di mana akan kau cari
ketenangan di belantara ketidakpastian? Sampai kapan kau sanggup mengubur
kegelisahan yang membuncah? Bagaimana dengan keresahan yang perlu terus dipupuk
untuk terus bergerak dan tak tertumpuk? Beberapa orang dengan begitu
bijaksananya akan mengusulkan kita untuk bersandar pada alam. Belajar pada
angin, matahari, tanah, sungai yang terus bertahan, pun digerus terus-menerus.
Layaknya kata-kata yang ditawarkan segala sajak. Tapi, apakah kesendirian akan
menepuk pundak seraya berkata, “biarkanlah dirimu disiksa supaya bisa menekuni
budaya yang beradab”? Persetan, kan? Iya, kan?
Mari, menyerahlah
pada jarak, Anak Muda. Satu-satunya yang masih masuk akal adalah menjaga
kesehatan batin. Menganggap ada segala yang tak ada. Meneguk teh hangat dalam
ruang tak bernyawa sambil membayangkan kita duduk berdua di meja. Tak usah
bicara untuk menghapus luka. Biar sedu sedan ini kita yang punya. Pun, belum tentu demikian.
tsakepp! selaluuuu tsakepp si kamu iniii
BalasHapus