Rumah Dua Tingkat

Semenjak saya datang di Jakarta, saya selalu menanyakan kesempatan untuk bertemu dengannya. Pun kami sama-sama sedang dalam keterburu-buruan tanpa jeda, tapi saya akan melakukan usaha lebih untuk berada di depannya. Mungkin, saya berani bilang bagaimana pun caranya. Saya tahu risiko yang terpapar, juga sekalian ketenangan yang akan didapat. Namun, bagi dia, rasanya banyak hal jauh lebih penting. Banyak kepentingan berdesakan tanpa mempertimbangkan keterbatasan waktu yang kami punya. Juga, tentu saja, kemungkinan-kemungkinan lain.

Kamis malam, saya sedang bergegas mengarah ke Menteng. Keluar pintu rumah, saya mendapat pesan singkat dari dia. “Aha, malam ini kosong dadakan. Hanya malam ini. Bagaimana?” Pun dia memberikan pertanyaan di ujung, rasanya itu demokrasi asal-asalan karena tidak ada pilihan lain juga yang bisa diberikan. Ini juga tanpa usaha berlebih dari dia untuk memang menyediakan waktunya buat saya. Tentu saja, dengan segala rasa bersalah, saya izin undur diri dari rapat. Pilihannya begini: rapat menyesatkan mental dan pertemuan menambal luka. Jelas, saya pilh yang kedua.

Saya menunggunya di tepi Taman Menteng, saya kadung berada di daerah sana. Dia menghampiri saya dengan motornya. Memberikan satu helm kepada saya dan saya pasrah dibawa ke mana pun olehnya.

Kami tiba di satu tempat yang asing bagi saya. Sebuah rumah dua tingkat yang begitu amentalista, juga menimbulkan rasa yang tenang. Ada beberapa motor diparkir di halaman depannya. Ada banyak sandal menumpuk di depan pintunya. Banyak orang di ruang tamu, sibuk melakukan sesuatu secara bersama-sama yang entah apa. Tidak ada yang menyambutnya secara berlebihan, sekadar halo. Mereka terlihat biasa berada di sana. Dia menarik saya menaiki tangga yang sudah ada di samping dan bisa diakses dari halaman depannya. Langkahnya terburu-buru. Saya mengikutinya saja, tanpa diperkenalkan dengan orang-orang yang ada di sana.

Tangga itu mengarah pada sebuah petak di atas rumah dengan tiang jemuran yang kosong. Ada satu bangku panjang di sana. Dan, dia menggandeng tangan saya untuk duduk di bangku itu.

“Hari ini kita menanti,” dia sama sekali tidak menatap mata saya sedari pertemuan tadi.

“Menanti apa, Bang?” saya pura-pura tidak terkejut dengan segala kejadian yang begitu tiba-tiba dan terburu-buru.

“Cahaya,” matanya masih mencari di langit. Saya ikutan memandang langit. Ikut mencari cahaya. 

Entahlah, apakah ini malam pencarian atau penantian.

Komentar