Surat Samudra #7
Kepada Samudra,
Kamu ada tanpa hadir.
Di ujung Zadar, kamu menemuiku dengan damai sekaligus menyengat. Seorang bapak tua tetiba menopangkan tubuhnya di lantai. Beliau kapok dengan keadaan tanpa mau menyerah. Pasangannya membiarkannya dan kamu menyenggol lenganku. "Ingat siapa?" tanyamu berbisik dengan senyum menggoda. Aku membuang muka, menolak untuk menjawab sesuatu yang sudah kami ketahui. Kamu berhasil membuatku merasa egois atas nama segala keduniawian.
Tapi, kamu tahu, aku memang tak pernah meninggalkanmu sepenuhnya. Makanya, di pucuk Plitvice pun, kamu masih ada. Tak perlu ke laut, katamu. Jika banyak hal memang berujung di Samudra, aku menemuimu dari cikal-bakal. Di tiap aliran air terjun yang menggoda untuk melepaskan apa yang tadinya aku anggap penting. Resah boleh saja, juga tak lupa bahwa perlu damai untuk menerima. Sejoli-dua joli renta berlomba mendaki, saling memberikan tangan untuk menguatkan. "Ingat siapa?" persis seperti di Zadar, kamu juga menyikut lenganku.
Begini, Samudra, mari kita berterus terang. Saya memang selalu mengingatnya. Luntang-lantung dalam pikiran atas ketakberdayaannya. Tapi, ingatkah kau, Samudra? Ia juga pernah sekuat karang, sederas aliran air terjun tertinggi, semesra arjuna pada zamannya. Kelemahannya bukan sedari semula dan terimalah keadaan itu. Ia baik-baik pada saatnya, kini.
Dan, mungkin sekarang kita bisa bicara tentang hubungan kita. Aku memang pernah dengan sengaja pergi menjauh, bukan untuk meninggalkanmu, tetapi untuk merasakan kerinduan. Untuk merasakan pencarian kembali, juga bahkan dicari. Aku ingin merasa begitu diinginkan olehmu, Samudra. Bukan untuk kembali berbaur kepadamu, tetapi sekadar dicari. Apakah harus aku yang selalu mencarimu?
Samudra, aku telah bertualang. Dan, aku tahu tidak semua mesti dicari pada tempatnya. Kamu ada di mana-mana. Kamu ada tanpa hadir. Sekali-kali, bolehlah kau panggil aku ketika memang sedang ada. Biarkan aku merasakanmu yang begitu dekat.
Atau, apakah kau terlalu ingin membuktikan kesalahanku? Selalu bilang kau tak hadir, tetapi kerap menulis surat kepadamu. Apakah aku bisa jatuh cinta pada sesuatu yang tak pernah hadir?
Atau, apakah aku yang terlalu ingin membuktikan kesalahanmu? Apakah aku terlalu angkuh untuk menjadi atheis?
Ada, lah, Samudra. Ada. Ada tanpa kematian.
Samudra, semoga kamu bisa membaca kata-kata.
Salam manis.
Pendamba
Kamu ada tanpa hadir.
Di ujung Zadar, kamu menemuiku dengan damai sekaligus menyengat. Seorang bapak tua tetiba menopangkan tubuhnya di lantai. Beliau kapok dengan keadaan tanpa mau menyerah. Pasangannya membiarkannya dan kamu menyenggol lenganku. "Ingat siapa?" tanyamu berbisik dengan senyum menggoda. Aku membuang muka, menolak untuk menjawab sesuatu yang sudah kami ketahui. Kamu berhasil membuatku merasa egois atas nama segala keduniawian.
Tapi, kamu tahu, aku memang tak pernah meninggalkanmu sepenuhnya. Makanya, di pucuk Plitvice pun, kamu masih ada. Tak perlu ke laut, katamu. Jika banyak hal memang berujung di Samudra, aku menemuimu dari cikal-bakal. Di tiap aliran air terjun yang menggoda untuk melepaskan apa yang tadinya aku anggap penting. Resah boleh saja, juga tak lupa bahwa perlu damai untuk menerima. Sejoli-dua joli renta berlomba mendaki, saling memberikan tangan untuk menguatkan. "Ingat siapa?" persis seperti di Zadar, kamu juga menyikut lenganku.
Begini, Samudra, mari kita berterus terang. Saya memang selalu mengingatnya. Luntang-lantung dalam pikiran atas ketakberdayaannya. Tapi, ingatkah kau, Samudra? Ia juga pernah sekuat karang, sederas aliran air terjun tertinggi, semesra arjuna pada zamannya. Kelemahannya bukan sedari semula dan terimalah keadaan itu. Ia baik-baik pada saatnya, kini.
Dan, mungkin sekarang kita bisa bicara tentang hubungan kita. Aku memang pernah dengan sengaja pergi menjauh, bukan untuk meninggalkanmu, tetapi untuk merasakan kerinduan. Untuk merasakan pencarian kembali, juga bahkan dicari. Aku ingin merasa begitu diinginkan olehmu, Samudra. Bukan untuk kembali berbaur kepadamu, tetapi sekadar dicari. Apakah harus aku yang selalu mencarimu?
Samudra, aku telah bertualang. Dan, aku tahu tidak semua mesti dicari pada tempatnya. Kamu ada di mana-mana. Kamu ada tanpa hadir. Sekali-kali, bolehlah kau panggil aku ketika memang sedang ada. Biarkan aku merasakanmu yang begitu dekat.
Atau, apakah kau terlalu ingin membuktikan kesalahanku? Selalu bilang kau tak hadir, tetapi kerap menulis surat kepadamu. Apakah aku bisa jatuh cinta pada sesuatu yang tak pernah hadir?
Atau, apakah aku yang terlalu ingin membuktikan kesalahanmu? Apakah aku terlalu angkuh untuk menjadi atheis?
Ada, lah, Samudra. Ada. Ada tanpa kematian.
Samudra, semoga kamu bisa membaca kata-kata.
Salam manis.
Pendamba
Komentar
Posting Komentar