Bagai geluk tinggal di air.

Bagai geluk tinggal di air.

Setiap hari, kerjanya hanya menunggu. Menunggu bantuan orang lain. Tepatnya, menunggu diselamatkan orang lain. Tanpa teriakan. Tanpa aduhan. Tanpa aba-aba minta pertolongan. Kami curiga, ia bahkan tidak sadar bahwa ia terus-menerus menunggu. Katanya, kalau ditanya ulang, "Saya tidak butuh pertolongan, apalagi kasihan." Mukanya datar. Suaranya juga. Seakan itu bukan hal besar. Sedatar memberi tahu tadi pagi dia minum air putih, kegiatan yang selalu dilakukannya.

Kami tidak melihat tanda-tanda ia melakukan sesuatu yang bisa mengubah keadaannya. Marah pun tidak, apalagi dendam. Kami pernah tanya lagi, apa harapannya. Sebenarnya, kami tanya ini hanya ingin tahu saja apa yang ia inginkan. Ia hanya tersenyum sambil membenarkan posisi rambutnya. "Tidak tahu. Kalau saya jawab tidak ada, pasti saya diberondong pertanyaan lain. Sudahlah, pertanyaan itu sudah saya tanyakan berulang kali juga, tapi tidak nemu jawabannya," ia menuangkan air putih lagi di gelas-gelas kami.

Lewat tingkap, ada cahaya masuk dari lampu di luar. Sisa ruangan gelap. Kami kikuk, tapi ia terasa terbiasa menghabiskan hari dalam kegelapan. Ia melihat mata kami satu-satu seperti menunggu pertanyaan-pertanyaan yang sudah kami ajukan bertubi-tubi. Tidak ada satu pun di antara kami yang mengajukan pertanyaan lain. Saya sendiri tidak sanggup menatap matanya, pura-pura sibuk memainkna gelas yang baru saja dituangkan air.

"Kehidupan saya bukan tanggung jawab kalian. Sama sekali bukan. Bukan tanggung jawab siapa-siapa. Saya memilih untuk tidak menjadi milik siapa-siapa. Itulah mengapa saya merasa ini juga bukan beban yang perlu dipikul orang lain. Saya tidak punya kartu identitas, artinya saya bukan warga negara. Jadi, tidak ada urusan negara dalam hidup saya. Memang, saya tinggal di sini dan harus ikut aturan sini walaupun bukan bagian dari sini. Tapi, ya sudah. Toh, saya masih bisa hidup sampai hari ini. Saya tidak punya keluarga, jadi bukan tanggung jawab siapa-siapa juga. Lagian, apakah kehidupan seseorang merupakan tanggung jawab keluarganya? Hidup adalah milik masing-masing. Bukan keluarga, apalagi keluarga orang lain. Lebih banyak yang kalian perlu pikirkan, keluarga kalian, negara kalian. Jangan buang-buang waktu dan tenaga untuk mampir ke sini. Pulanglah. Bukan maksud saya untuk mengusir, tetapi kalian tidak dapat apa-apa di sini. Hidup saya mudah. Dan, kebanyakan orang memilih untuk menyelesaikan yang mudah-mudah dulu. Saya kerap jadi pilihan pertama untuk disingkirkan."

Salah satu dari kami buka bicara. Betapa banyak keberhasilan terjadi karena solidaritas. Kepedulian adalah salah satu dari kekuatan. Dia berusaha meyakinkan bahwa banyak hal masih bisa dilakukan.
Saya melihat mata mereka berdua bertatapan. "Bukan yang pertama kali omongan seperti itu. Bukan pertama kali juga saya menyanggah. Tapi, setelahnya tidak terjadi apa-apa. Saya tetap harus meneruskan kehidupan saya sendiri. Seberapa lama orang bisa peduli? Tidak panjang, kok, jangkanya. Bukan karena sudah tidak peduli lagi, kadang. Tapi, banyak hal lain juga perlu diperhatikan. Sudahlah, pulang. Ini bukan apa-apa," tanggapannya. Kami mendengar bunyi keroncongan perut. Entah perut siapa. Ia merogoh laci, mengeluarkan ubi dari dalam plastik, kemudian menyuguhkannya di atas plastik di antara gelas-gelas. "Sudah makan?" tanyanya. Masih dalam kegelapan.

"Silakan salahkan negara. Silakan salahkan tuhan. Silakan salahkan orang-orang sekitar. Silakan salahkan semua kejadian yang bertubi-tubi. Tapi, ini hidup saya. Segala usaha Anda membuat saya merasa tak berdaya, membuat saya merasa layak dikasihani, membuat saya seakan hanya menjadi contoh atas ketidakadilan. Tapi, tidak adil menurut siapa? Hidup saya, ya, memang begini. Pertanyaan-pertanyaan kalian justru mengusik apa yang sudah damai. Sesulit-sulitnya keadaan di luar, tapi bagi saya, yang paling sulit justru berdamai dengan diri sendiri. Biarkan saya. Tinggalkan saya. Kalau saya butuh bantuan kalian, saya tahu akan ke mana. Tapi, kali ini, saya belum perlu bantuan, apalagi kasihan." Ia mengambil sebagian ubi yang baru saja disajikan.

"Jadi, mau begini terus sampai mati? Kami bisa melakukan sesuatu supaya banyak orang sadar akan keadaan seperti ini. Ini tidak bisa terjadi kepada orang lain," sebelah saya sudah habis kesabaran sepertinya. "Kata siapa mereka tidak sadar? Buat apa juga disadarkan? Pekerjaan kalian itu saya sebut tukang sadar. Maunya bikin orang lain sadar. Bukankah kedatangan kalian juga merupakan bentuk usaha untuk menyadarkan saya? Apakah buat kalian saya ini kurang sadar? Kesadaran adalah pilihan.  Saya sadar betul memilih ini. Apakah ketidakpahaman akan kesadaran orang lain juga merupakan kesalahan negara, tuhan, atau orang sekitar? Saya cuma punya akal, itu juga tidak luas. Karena kalian merasa punya akal lebih lantas merasa perlu menyadarkan saya supaya hidup saya bisa nyaman seperti kalian? Dari tadi, saya tidak pernah ditanya apa saya nyaman dengan hidup saya atau tidak. Jangan-jangan saya hanya dilihat sebagai seseorang yang perlu diselamatkan, bukan sebagai manusia yang sama saja seperti kalian," nadanya masih datar, wajahnya juga. Tidak ada kemarahan, apalagi dendam.

Hakikatnya seorang manusia adalah bertahan hidup. Jika itu memang cukup, apakah yang lain serba layak dan pantas? "Saya mau istirahat, sudah malam. Bolehkah? Atau, saya masih harus meladeni pertanyaan-pertanyaan lain untuk bisa istirahat dengan tenang?" ia menyingkirkan gelas-gelas kami yang bahkan belum sempat kami minum. Cahaya mengamatinya memindahkan gelas-gelas dan dingklik lewat tingkap. Masih gelap. "Sebentar lagi, lampur jalan mati. Kita akan kegelapan. Pulanglah sebelum terlalu gelap, nanti tidak bisa lihat apa-apa," ia mengusap-usap pundak saya.

Kami undur diri. Ia melanjutkan hidupnya. Mungkin bukan digeluti penantian seperti dugaan kami. Ia bisa jadi hanya menjalani apa yang bisa dijalani. Hidup.

Komentar