Penjaga Rahasia
Penjaga
rahasia. Sebutan itulah yang sering saya berikan ketika ditanya apa yang saya lakukan
sehari-hari. Kerjanya menjaga rahasia orang demi mengamini
keputusan-keputusan—yang seringnya tidak mudah bagi—orang lain. “Saya hanya
beri tahu kamu. Saya sendirian. Tolong saya,” begitu mereka kerap menjelaskan
duduk perkara atas nama hidup yang diyakini lebih baik, sebut saja keluarga
bahagia, rumah tangga sentosa, karier berlanjut—tanpa harus melejit, kehidupan
kembali seperti semula. Dan, saya tahu betul setiap orang pantas mendapatkan
kehidupan yang layak. Tentu saja, bukan untuk saya, tetapi untuk kehidupan
mereka. Persetan dengan hidup saya.
Kepedulian,
kata saya, adalah sesuatu yang membuat saya bertahan menjalani semuanya dalam
diam. Tapi, apakah diam saya merupakan bagian dari kepedulian? Apakah diam saya
justru melenakan saya dalam kehidupan yang aman-aman saja? Apakah dengan
kepedulian, kemudian semua sudah selesai tanpa ada lagi yang perlu dilerai?
Diam justru bisa jadi melanggengkan semua yang tersembunyi dalam roda yang
terus berputar sampai lupa bahwa ada persoalan yang perlu dipreteli satu per
satu di dalamnya. Bertindak bukan berarti membeberkan apa-apa yang menjadi
rahasia personal. Bukankah peduli hanya satu titik tolak untuk berbuat sesuatu?
Apakah cukup hanya dengan peduli? Penguluran
waktu untuk berbuat sesuatu yang digalang ribuan alasan—kalau tidak mau
dibilang ketakutan—apakah berasal dari keberuntungan saya?
Keberuntungan
saya dalam hidup malah memanjakan. Ketika tidak ada sesuatu yang mendesak, itu
akan menjadi persoalan belakangan. Ketika hidup dan mati tidak di hadapan saya, saya
bisa memikirkannya sambil lalu. Ketika receh bukanlah sisa yang hanya saya punya,
kemiskinan dan pembantingan tulang bisa jadi diskusi sambil makan di
warung-warung berkelas. Ketika perceraian belum di depan mata, cinta bisa
dibecandai sambil merokok di dipan. Ketika isolasi hanya dilihat di televisi
atau dibaca dalam artikel, saya bisa membicarakannya di media sosial sambil
memojokkan kenalan—atau mungkin orang yang tak dikenal—yang tidak senilai
dengan saya. Ketika banyak hal terjadi langsung di depan mata, saya bisa dengan
mudah meminta orang menanggapinya dengan lebih bijak. Sementara itu, apa yang saya
lakukan? Tidak ada. Hanya menjaga rahasia orang dan membiarkan jarak itu terus
menganga. Apa yang membedakan saya dengan produk belian internet yang
menjadikan kepedulian sebagai jaja-jajaan?
Desakan yang
diselimuti dengan keterbatasan bisa jadi faktor terbesar untuk melampaui
peduli. Pilihan akses membuat saya masih merasa bisa melakukan banyak hal
selain yang menguras tenaga dan waktu. Kepemilikan atas kapital finansial,
kapital manusia, dan kapital sosial membiarkan saya merasa cukup
berbincang-bincang di kelas awang-awang. Apakah harus mengalami dan membunuh keberuntungan
untuk bisa mengerahkan segalanya? Apakah perlu berdiri di kursi yang siap
ditendang dengan tali menggantung di leher untuk kemudian bisa bangkit dari
balik layar sekian jam dari jumlah hidup saya dan tidak sekadar menjaga rahasia
orang? Keterbatasan memang bisa membuat orang bergerak lebih progresif. Tidak
ada lagi ketakutan yang lebih akan kehilangan lain karena sudah tidak apa-apa
lagi. Tidak ada pilihan lain selain menyelamatkan diri dari kesengsaraan. Tapi,
apakah saya sebegitu butuhnya akan kesengsaraan?
Keberuntungan
hidup saya membuat saya menelan ilusi. Kepedulian jadi barang dagangan yang
seakan-akan membuat hidup saya terasa lebih baik. Padahal, saya hanya bagian
dari barang dagangan sesuatu yang lebih besar: keluarga, organisasi,
perusahaan, pertemanan. Dan, mereka dengan sebegitu cerdasnya menjadikan itu
seakan berangkat dari keinginan saya sendiri dan—lebih parahnya—saya percaya
akan hal itu. It becomes my agency. Embedded. Ketika tidak ada ikatan
apa-apa dengan apa pun dan siapa pun, apakah saya akan tetap melakukan hal yang
sama terus-menerus?
Saya tidak
main-main ketika bilang persetan dengan hidup saya. Karena pada akhirnya, kalau
terus begini, kepedulian saya hanyalah omong kosong yang tidak menghasilkan
apa-apa. Namun, saya memang benar penjaga rahasia ulung. Apalagi, rahasia hidup
saya sendiri bahwa semua hanya omong kosong belaka.
Komentar
Posting Komentar