Diskon Kesehatan pada Hari Ibu
Apakah sudah dimulai
perdebatan ritual setiap 22 Desember? Sebagian orang—dengan alasan
masing-masing—sibuk merayakan Hari Ibu dan sebagian orang lainnya lebih memilih
memperingati hari ini sebagai hari gerakan perempuan—juga dengan alasannya
sendiri. Sudah mulai? Sudah mulai atau belum, kita bisa jadi kalah cepat. Ada
pihak yang sudah merayakannya terlebih dahulu sejak seminggu lalu; pun pakai
atas nama Hari Ibu.
Sejak 13 Desember sampai
akhir bulan ini, salah satu rumah sakit swasta mempersembahkan penawaran
menarik bagi para ibu Indonesia agar tetap sehat dan aktif. Kata-kata itu saya
ambil langsung dari brosurnya. Perhatikan kata mempersembahkan yang seakan-akan sudah diatur dan dipikirkan
sedemikian rupa. Ada beberapa kata kunci yang akan dibahas lebih lanjut: ibu dan sehat. Sekarang, kita lanjut dulu untuk melihat penawarannya
berupa diskon 10% jika mengambil paket hemat. Paket hemat yang dimaksud adalah pap’s smear, mammography, bone
densitometry, dan USG payudara. Jika mau ambil semuanya, para ibu CUKUP
mengeluarkan uang sejumlah Rp1.500.000 kurang Rp1.000. Namun, jika mau ambil
dua minggu ke depan, masih ada kesempatan untuk berkurang lagi harganya kurang
lebih Rp150.000. Tawaran menarik?
Tapi, ingat, ini khusus
ibu-ibu. Ibu-ibu dalam konteks ini diartikan perempuan yang sudah melahirkan
anak. Bisa jadi, ini tidak berlaku bagi perempuan yang tidak memenuhi kategori
itu. Dua tahun lalu, saya pernah pergi ke salah satu rumah sakit, memang bukan
di rumah sakit yang sama, untuk mendapatkan pelayanan serupa dengan harga yang
sama mahalnya bagi kelas menengah yang sekali sakit parah langsung miskin.
“Sudah menikah?” tanya susternya. Saya jawab belum sambil curiga bahwa ia sudah
kongsian dengan ibu saya atau keluarga besar saya atau hmm… juga sebagian teman saya. “Kalau belum menikah, kamu nggak perlu melakukan tes ini. Ini
sakit, lho,” jawab dia. Tadinya, saya
mau mendebat tentang sakit milik masing-masing dan tingkat kekebalannya juga
berbeda bagi setiap perempuan. Ah, tapi, itu bukan intinya. Dia bahkan tidak
menanyakan saya aktif melakukan hubungan seksual atau tidak yang justru jadi
pertanyaan yang jauh lebih penting daripada status pernikahan. Saya tidak mau
bahas perkara heterosexual marriage
normativity, itu sudah dibahas seadanya di bit.ly/heterosexualmarriagenormativity.
Padahal, berhubungan seksual pun bukan seutuhnya benar menjadi satu-satunya
faktor penyebab kanker serviks. Nol koma sekian pun artinya masih ada
kemungkinan dan sedikit bukan berarti tidak ada. Ini saya dapat dari detikhealth[1].
Mungkin kita sebaiknya tidak terlalu tergila-gila sama angka. Ketidakadilan
suka menyelip di angka-angka rendah. Oke, sampai sini, saya perlu mengingatkan
bahwa ini berangkat dari asumsi bahwa semua pelayanan itu memang diperlukan
perempuan dan meminggirkan sementara debat lain seberapa perlunya atau seberapa
di bawah kontrol teknologinya tubuh-tubuh perempuan ini.
Kata kunci selanjutnya:
sehat. Kesehatan reproduksi dan seksualitas masih jadi isu hangat sekaligus
tabu. Maka itu, masih banyak kampanye dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran, ceunah. Saya ingat pernah berkumpul
dengan beberapa teman yang baru saja kenal dan kami bicara tentang pengalaman
menstruasi dan mimpi basah pertama. Sebagian dari kami tidak pernah berbagi
cerita itu sebelumnya. Ada yang sudah pernah diberi tahu orangtuanya tentang
menstruasi sebelum mengalaminya sendiri, ada yang dimarahi orangtuanya ketika
menstruasi, ada yang menangis sendirian di kamar mandi ketika ada darah keluar
pertama kalinya karena ia mengira sakit keras, dan ada juga yang mimpi
berhubungan seksual dengan dinosaurus pada mimpi basah pertamanya.
Ternyata, kesadaran akan
kesehatan reproduksi dan seksualitas tidak cukup. Kalau sudah sadar, lantas
bagaimana kita mengantisipasi penyakit atau menjaganya? Seperti brosur di rumah
sakit di atas, tentu saja kita perlu uang. Bukan yang sedikit pula, jumlahnya
sangat lumayan untuk urusan rumah tangga. Tapi, tidak seberapa juga jika
dibandingkan biaya perawatan sakit keras. Perempuan didorong untuk masuk ke
dunia pekerjaan untuk berdaya dengan mempunyai penghasilan sendiri. Namun,
jumlah uang yang dikeluarkan demi perawatan kesehatannya pun juga tinggi. Inilah
kekhawatiran Nancy Fraser[2]
(2012) terkait bagaimana feminisme bisa berjalan beriringan secara berbahaya
dengan neoliberalisme. Seakan-akan ada pemberdayaan, tetapi dipersembahkan pada
pemilik modal besar nantinya. Belum lagi, pemanfaatan Hari Ibu untuk memberikan
diskon untuk kesehatan perempuan menunjukkan bagaimana ia berdiri di atas
kepedulian untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Selain Fraser, Amrita
Chhachhi[3]
juga menyebutkan bagaimana feminisme dan neoliberalisme bisa menjadi “dangerous liaison” melalui tawaran sale pada hari perempuan internasional. Sama
saja bukan logikanya dengan diskon pada Hari Ibu? Lebih parah, ini seakan-akan
lebih baik: demi kesehatan perempuan sendiri. Perempuan dilihat sebagai calon
konsumen sekaligus calon klien yang potensial. Apa pun calon potensial itu,
keduanya sama-sama bisa menyumbangkan keuntungan.
Saya enggan menyudahi
tulisan ini tanpa ada setitik cahaya. Oh, cahaya. Nyatanya, kita memang andal
dalam mencari celah menghadapi tantangan. Saya melihat banyak peluang untuk
mendapatkan paps smear gratis,
misalnya di PKBI, juga ada beberapa layanan BPJS yang menyediakan layanan tanpa
biaya. Entah dengan persyaratannya; apakah bisa untuk semua perempuan atau
hanya untuk ibu-ibu atau hanya untuk perempuan yang sudah menikah? Namun, itu
hanya paps smear, layanan lainnya
belum tentu. Setidaknya, ada cahaya, ya.
-->
[1] Diambil dari https://health.detik.com/read/2014/06/18/160011/2611916/775/perlukah-papsmear-dilakukan-bagi-wanita-yang-masih-perawan
yang diakses pada 21 Desember 2016. Nanti-nanti, kalau tidak lupa, saya bisa
carikan sumber yang lebih akademis daripada tautan berita daring; khusus bagi
orang-orang yang tergila-gila dengan sumber akademis.
[2] Fraser, Nancy. “Feminism,
Capitalism, and the Cunning of History: An Introduction” in New Left Review 56 (2012) p. 97—115.
[3] Diambil dari http://www.thedailystar.net/op-ed/politics/unexpected-lesson-neoliberalism-76880
yang diakses pada 12 April 2015 dan dibaca kembali pada 21 Desember 2016.
Komentar
Posting Komentar