Kapan Pulang?
“Kapan pulang?” Itu
adalah salah satu sticker favorit
saya dari rangkaian #celahjakarta. Tadinya, itu dibuat atas dasar bayangan saya
dengan pertanyaan lanjutan, pulang ke mana? Bukan bermaksud tragis, justru
bahan tertawaan. Boro-boro berpikir kapannya, ke mana saja belum tentu tahu.
Ada beberapa hal yang jauh terasa lebih menusuk daripada yang tidak terkatakan.
Menusuk yang bisa ditertawakan.
Senjata makan puan. Pertanyaan
itu diberondong oleh beberapa orang ketika saya sedang sakit. Salah satunya,
saya mendapatkannya dari ibu saya, “Kamu nggak mau pulang?” Pesan itu berbalas,
“I’m home, Am. Ini sudah di apt.”
Bagi sebagian orang, ‘pulang’ tidak pernah diartikan berada di satu ruang yang
penuh dengan kesendirian—padahal maknanya tidak sama dengan kesepian. Kemudian,
saya sadar, perbedaan makna itu juga bisa menyakiti orang lain. Namun, saya
tahu betul, banyak hal yang bisa jauh lebih menyakitkan kalau saya tidak berada
dalam ruang yang paling nyaman dalam keadaan sakit. Berada di tempat yang
paling nyaman bagi saya merupakan situasi pendukung yang begitu penting saat
ini.
Saya bukan orang yang
begitu ramah ketika sakit. Berada di ruang yang tidak cukup familiar bisa
memperburuknya. Saya memilih untuk dinyanyikan Jonsi dalam volume kencang
sepanjang 143 menit untuk meninabobokan saya. Atau, beberapa penyanyi lain,
sialannya. Setega apa saya membiarkan orang lain mendengarkan itu yang bisa
merusak tidurnya? Saya juga menghabiskan waktu tidak sebentar untuk memilih
makanan. Setipis apa perasaan saya untuk tidak menghabiskan makanan yang sudah susah-susah
dimasak atau dipesan orang lain hanya karena saya mual atau hanya ingin
menundanya sebentar? Sebebal apa saya yang tidak mau mendengar larangan mereka
untuk membuka laptop untuk membalas
beberapa email, padahal itu hanya
tipu daya saya kepada diri sendiri untuk merasa tetap berguna dalam keadaan
lemah sekalipun? Cuplis. Saya tahu.
Aksi. Itu saja mungkin
yang hanya terlihat. Ditambah, mungkin di salah satu #quoteoftheday dalam
Instagram, bisa dengan mudah ditemukan wejangan-wejangan, semacam hargai
orang-orang yang telah berbuat sesuatu. Akan tetapi, bukankah hal-hal yang
tidak dilakukan perlu dihargai juga? Bukankah usaha untuk menahan untuk
melakukannya sama besar—bahkan kadang lebih besar? Ini mungkin bisa ditarik
untuk contoh dalam kehidupan sehari-hari.
Sangat tidak mudah untuk
menahan diri dari kebiasaan makan cokelat dan camilan bagi orang yang sedang
diet diabetes. Belum tentu gampang untuk tidak marah-marah kepada anak kecil
yang menyobek tulisan tangan yang sudah dibuat berhari-hari karena tahu itu
bukan cara mendidik yang baik. Bisa jadi susah untuk mengirimkan surat penuh
dengan kata-kata manis setelah mendapat hasil kerjaan yang masih perlu direvisi
hanya karena mereka tidak membaca surat elektronik dengan teliti. Mungkin terlalu
sulit untuk menahan rindu yang tidak perlu dikatakan. Banyak hal yang tidak
dilakukan itu sebenarnya jauh lebih sulit, tetapi usaha untuk melakukannya
tidak akan pernah terlihat.
-->
Saya punya tawaran
menarik. Bagaimana jika kita artikan ‘pulang’ sebagai pelukan tanpa ada
kekhawatiran? Saya bisa melakukannya selepas sakit ini. Saya akan pulang dengan
serumpun bunga sedap malam, merayakan hari ibu, dalam keadaan lebih segar,
tanpa ada kekhawatiran. Sementara itu, biarkan kita masing-masing menahan diri
untuk tidak melakukan apa yang sebaiknya tidak dilakukan.
Komentar
Posting Komentar